Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Jumat, 08 Januari 2010

FORMAT DAN FORMATISASI TEKS KAJIAN ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS MAKKIY - MADANIY DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGAJARAN

Oleh: Deden Syarif Hidayat

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an hanya bisa dipahami secara mendalam setelah memandang berbagai seginya (Hadits). Dengan kata lain, Al-Qur’an menjadi wahyu yang harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya adalah memahami Al-Qur’an sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Sebagai teks bahasa, Al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bila Al-Qur’an sebagai bahasa, maka di dalamnya mesti terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain.
Teks pada dasarnya merupakan produk budaya. Teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun. Akan tetapi, bahwa teks merupakan budaya dalam konteks Al-Qur’an merupakan fase pembentukan dan kematangan, yaitu teks di mana teks setelah itu berubah menjadi teks yang hegemonik yang menjadi acuan dan landasan bagi teks-teks lain.
Perbedaan antara dua fase sejarah teks adalah perbedaan antara teks yang mempengaruhi dan mengubah budaya. Dengan demikian, dalam memahami Al-Qur’an harus disadari bahwa bahasa Al-Qur’an dibentuk dalam realitas budaya sehingga dapat menjadi solusi segala permasalahan masyarakat. Lalu sesuai dengan fungsi idealnya, yaitu rahmatan lil ’alamin dengan tidak mengenal ruang dan waktu.
Mengingat pembentukkan teks yang tidak terlepas dari konteksnya, dalam menafsir Al-Qur’an, analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab konsep ”wahyu” itu tidak akan dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan adanya hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Sesorang tidak mungkin memahami hanya dengan mengenal teks di luar realitas. Oleh karena itu, asbabunnuzul menjadi sangat penting digunakan untuk memahami suatu kondisi. Selain asbabunnuzul, untuk menentukan periodisasi ayat dan surat Al-Qur’an inilah kajian tentang Makkiy dan Madaniy menemukan momentumnya.
Perbedaan Makkiy dan madaniy dalam teks merupakan perbedaan antara dua fase penting yang memiliki andil dalam membentuk teks, baik tataran isi ataupun struktur. Dengan mempelajarinya kita akan memahami tahapan-tahapan sejarah pensyari’atan sebagaimana Allah mendahulukan ajaran-ajaran aqidah pada periode Makkah dan kemudian mengajarkan hukum-hukum dan syari’at-syari’at praksis pada periode Madinah.

B. PENGERTIAN DAN BATASAN MAKKIY DAN MADANIY
a. Pengertian Makkiy - Madaniy
Ada beberapa definisi tentang Makkiy dan Madaniy yang diberikan ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk mengklasifikasikan Makkiy dan Madaniy sebuah surat atau ayat. Secara garis besar perbedaan itu dapat dikategorisasikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1. Kategori tempat (makani); berarti Makkiy adalah surat atau ayat yang diturunkan di kota Makkah dan sekitarnya. Sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya.
2. Kategori waktu (zamani)’ berarti Makkiy adalah ayat atau surat yang turun sebelum hijrah (periode Makkah), sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang turun setelah amsa hijrah (periode Madinah)
3. Kategori obyek pewahyuan (mukhattab); berarti Makkiy adalah ayat-atau surat yang turunkan dengan mnyinggung orang-orang Makkah, sedang Madaniy adalah ayat-atau surat yang menginggung penduduk Madinah.
Menurut kebanyakan ulama, kategori yang kedua inilah agaknya yang lebih kuat. Kategori berdasarkan tempat dan obyek pewahyuan kurang hisa memuaskan karena tidak nisda diterapkan secara penuh pada seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, berbeda dengan kategori berdasarkan pada waktu yang mudah diaplikasikan untuk seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat Mekkah atau Madinah dapat diketahui dengan dua cara:
1. Naqly: Yaitu melalui informasi riwayat yang menjelaskan secara gamblang tentang penurunan ayat-ayat itu.
2. Qiyasi: Yaitu melalui proses-proses analogis, sesuai dengan karakter-karakter khusus yang ada pada ayat-ayat Mekkah atau Madinah.
Menurut Ibnu Zaid , kriteria klasifikasi, pada satu sisi, seharusnya didasarkan pada realitas, dan pada sisi lain didasarkan pada teks. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berkaitan dengan gerak realitas. Sementara didasarkan pada teks, apabila ditinjau dari kandungan dan strukturnya. Hal ini karena gerak teks dalam realitas berpengaruh di dalam pembentukkan teks dengan kedua sisinya; isi dan struktur.
Apabila kita perhatikan gerak realitas, maka kita harus menyadari bahwa peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat. Apabila fase dakwah Makkah nyaris terbatas pada batas-batas indzar/ tugas member peringatan, belum sapai menyentuh batas-batas risalah, kecuali hanya sedikit maka perpindahan ke Madinah mengubah wahyu menjadi risalah. Yang membedakan antara indzar dan risalah adalah bahwa indzar berkaitan dengan pergulatan (perubahan) konsep-konsep lama pada taraf kognitif dan terkit dengan seruan menuju konsep-konsep baru. Dengan demikian, indzar menggerakan kesadaran bahwa ada kerusakan dalam realitas, dan oleh karena itu harus diadakan perubahan.
Sementara risalah bertujuan membangun ideology masyarakat baru. Transformasi ini tidaklah mungkin terjadi secara tiba-tiba. Fase kedua ini dimulai secra nyata ketika Nabim –setelah sebagian orang muslim hijrah ke Habasyah- mengadakan pembicaraan dengan para utusan yang dating ke Makkah pada musim haji. Kemudian, beliau dibai’at oleh penduduk Yastrib (madinah) bahwa mereka akan membelanya sebagaimana mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri setelah mereka menerima Islam. Peristiw ini sebagai petanda terjadinya perubahan baru dalam sejarah dakwah, dan berarti juga perubahab dalam gerak teks.
Dari sudut pandang inilah Abu Zaid memandang bahwa criteria klasifikasi yang didasarkan pada realitas ini harus didasarkan pada asas pembedan antara dua fase ini. Dengan demikian Abu Zaid memilih kategorisasi berdasarkan pada zamaniy. Namun dengan keterbatasan –dan pasti tidak ada-, data naqliy dalam penentuan Makkiy dan Madaniy itu (yang bersifat ijtihadiyyah), maka para ulama membuat beberapa criteria yang berkaitan dengan kandungan teks (struktur dan isi) itu, sebagaimana akan dibahas di bawah ini.

b. Ciri-ciri Khas Makkiy-Madany
Para ulama telah meneliti surah-surah Makkiy dan Madaniy; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

Ketentuan Makkiy dan Ciri Khas Temanya
Menurut Qaththan , Karakteristik Makkiy berdasarkan struktur/ketentuan dan isi/temanya adalah sebagai berikut:
1. Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makkiy.
2. Setiap surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makkiy. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
3. Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makkiy, kecuali Surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiy.
4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.
5. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.
6. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makkiy, kecuali surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surah Ra’d masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.

Ketentuan Madaniy dan Ciri Khas Temanya
1. Setaip surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madaniy.
2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madaniy, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makkiy.
3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madaniy.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi cirri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Namun juga, seluruh karakteristik/criteria ini tidak exhaustis (lengkap dan sempurna), sebagaimana yang disadari ulama kuno. Semua itu hanyalah karakteristik yang menonjol saja. Demikian pula, criteria “isi” juga tidak pasti entry point ala fiqhiyyah mengasumsikan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tajam yang dapat dibuktikan dalam membedakan antara yang Makkiy dan Madaniy. Untuk itu, criteria waktu harus tetap dioertimbangkan secara berbarengan dengan criteria teks tu sendiri, baik dari segi isi maupun strukturnya.

c. Kronologis Surat-surat Makiyah dan Madaniy
Sudah semenjak lama upaya penyusunan ayat-ayat Al-Quran oleh para ulama berdasarkan kronologi nuzulnya, sehingga disimpulkan bahwa surat-surat Al-Quran, baik yang termasuk Makiyah maupun Madaniy dengan merujuk kepada al-Naisaburi, dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase awal (al-marhalah al-ibtidaiyyah), fase pertengahan (al-marhalah al-mutasithah) dan fase akhir (al-marhalah al-khitamiyyah).
Dalam diskursus kronologi Makiyah dan Madaniy ini, sebenarnya tidak terlalu sulit jika si peneliti selalu merujuk kepada sumber dan riwayat yang valid (shahih). Untuk menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Madaniy, misalnya relatif lebih mudah ketimbang menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Makiyah. Alasannya, Islam dapat berkembang pesat di sana dan para pemerhati Al-Quran mulai dari para pembaca, penghapal dan penulis serta penyalin Al-Quran semakin concern untuk meneliti dan mengamalkan ajaran yang dikandungnya.
Berbeda dengan fase Makiyah, karena hanya sekelompok kecil saja orang-orang yang beriman, maka banyak dari mereka yang tidak termasuk orang-orang yang pertama menganut Islam (al-sabiqun al-awwalun) yang kesulitan mengetahui fase-fase dinuzulkan wahyu. Namun, masalah yang dianggap paling sulit adalah berhadapan dengan surat-surat yang masih diperselisihkan, termasuk surat-surat Makiyah atau surat-surat Madaniy. Bahkan, para ulama klasik seperti Ibn ‘Abbas, Qatadah dan Muhammad Ibn Basir masih berbeda pendapat dalam masalah penanggalan beberapa surat.

Fase-fase dari Surat-surat Makiyah
1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)
Pada fase ini, surat-surat Al-Quran yang telah disepakati dinuzulkan di Mekah, diantaranya surat al-‘Alaq, surat al-Muddatsir, surat al-Takwir, surat al-A’lay, surat al-Layl, surat al-Insyirah, surat al-‘Adiyyat, surat al-Takatsur dan surat al-Najm.
Surat al-‘Alaq, misalnya, merupakan surat Al-Quran yang pertama dinuzulkan. Surat ini mempunyai relevansi signifikan dengan pertemuan Nabi Muhammad dan Jibril di Gua Hira ketika beliau menerima wahyu pertama kali. Di awal surat dijelaskan tentang keharusan Nabi Muhammad berkomunikasi dengan Allah, mengingat beliau seorang yang ummi.
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kedudukan orang berilmu. Orang-orang yang dapat menguasai ilmu pengetahuan maka ia akan mengetahui rahasia alam semesta yang bermanfaat bagi kebahagiaan hidupnya. Untuk itulah, Allah memerintahkan manusia untuk belajar.
Adapun surat al-Muddtsir dinuzulkan sesudah terjadi fatrah wahyu yang berisi seruan agar Nabi meninggalkan tempat tidurnya dan bersiap menjalankan tugas sebagai Rasul Allah. Disamping itu Nabi Muhammad diperintahkan untuk mensucikan dari perbuatan-perbuatan syirik dan dosa serta diperintahkan untuk senantiasa dalam kesabaran ketika ditimpakan ujian dan ikhlas dalam beramal.
2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat ‘Abasa, surat al-Qariah, surat al-Tin, surat al-Qiyamah, surat al-Murasalat, surat al-Balad dan surat al-Hijr.
Surat al-Tin, misalnya, menggambarkan hakekat fitrah manusia dalam keadaan baik dan dalam keadaan menyimpang. Allah telah memuliakan manusia dengan seperangkat kemampuannya yang terdiri dari jasmani dan rohani. Namun, karena manusia lupa akan fitrahnya, maka akhirnya ia menyimpang dari ajaran Allah.
3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Dukhan, surat al-Zukhruf, surat al-Shaffat, surat al-Sajdah, surat Ibrahim, surat al-Kahf, dan surat al-Dzariyyat.
Surat al-Shaffat, misalnya, mengemukakan beberapa hal yang bermacam-macam secara beruntun yang ada relevansinya antara satu dengan yang lainnya, yang semuanya menunjuk kearah pembinaan aqidah Islam yang bersih dari syirik.
Setelah Allah bersumpah dengan para malaikat yang berbaris dilangit menghadap Allah, maka Dia menegaskan bahwa Allah itu Esa, baik zat-Nya maupun Af’al-Nya. Disamping itu, surat ini berisi juga bantahan keras terhadap sangkaan orang-orang Arab bahwa antara Allah dan jin ada hubungan kerabat, karena, menurut anggapan mereka, Allah mengawini jin perempuan kemudian melahirkan para malaikat. Para malaikat menurut mereka adalah puteri-puteri Allah. Untuk penjelasan selanjutnya dapat dilihat dalam Al-Quran surat bersangkutan.

Fase-fase dari Surat Madaniy
1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Baqarah, surat al-Anfal, surat Ali ‘Imran, surat al-Ahzab, surat al-Mumtahannah, surat al-Nisa dan surat al-Hadid.
2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat Muhammad, surat al-Zukhruf, surat al-Thalaq, surat al-Hasyr, surat al-Nur, surat al-Munafiqun, dan surat al-Mujadalah dan surat al-Hujrat.
3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Tahrim, surat al-Zukhruf, surat al-Jum’ah, surat al-Maidah, surat al-Tawbah dan surat al-Nashr.
Dari sekian banyak surat-surat Al-Quran yang termasuk Madaniy, ada beberapa surat lagi yang masih diperselisihkan untuk dikategorikan sebagai surat Madaniy. Jumlah surat-surat itu tersebut ada 12 surat, diantaranya surat al-Fatihah, surat al-Ra’d, surat al-Rahman, surat al-Shaf, surat al-Taghabun, surat al-Tahfif, surat al-Qadr, surat al-Bayyinah, surat al-Zalzalah, surat al-Ikhlash, surat al-falaq, dan surat al-Nas.
Salah satu analisis isi yang termasuk dalam kategori Madaniy adalah suat al-Anfal. Surat ini telah memuat pokok-pokok masalah yang terdapat pada sebagian besar surat-surat Madaniy dalam ketiga fase diatas, yaitu: (a) hukum-hukum syariat yang mengatur ibadah dan muamalah; (b) hukum-hukum syariat mengenai halal dan haram; (c) hukum-hukum syariat yang mengatur kehidupan pribadi, keluaga dan masyarakat (negara); (d) prinsip-prinsip syariat Islam yang mengatur pemerintahan, politik dan sosial ekonomi; (e) hukum damai dan hukum perang; (f) peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam peperangan; dan sebagainya.
Diskursus al-Makiy dan al-Madaniy ini banyak diamati pula oleh para sarjana Barat, terutama kaum orientalis (al-mustasyriq) yang concern terhadap ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, Gustav Weil, Theodor Noldeke, William Muir, Hubert Grimme dan lain-lain.

d. Kedudukan dan Kegunaan al-Makkiy wal-Madaniy
Lepas dari perbedaan pendapat para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an tentang status ilmu al-makkiy wal-madaniy apakah dia sebagai ilmu sima’i atau ilmu ijtihadi, yang pasti ilmu ini memiliki kedudukan penting dan strategis serta sekaligus mempunyai nilai guna yang sangat berarti dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu al-makkiy wal-madaniy mempunyai kedudukan yang signifikan bagi mufassir, paling sedikit sebagai ilmu penopang/pendukung atau ilmu bantu. Bahkan, bagi mufassirin yang mengikuti keberadaan konsep nasakh mansukh dalam al-Qur’an, hampir dapat dipastikan harus menjadikan ilmu al-makkiy wal-madaniy sebagai salah satu perangkat bagi mereka. Sebab, seperti diketahui umum, diantara prasyarat nasikh-mansukh ialah bahwa ayat mansukhah (yang di nasakh) harus diturunkan lebih dulu dari pada ayat yang me-nasakh (nasikhakh). Demikian pula ketika dihubungkan dengan penafsiran ayat-ayat ‘am dengan ayat-ayat khash dan lain-lain yang sejenis.
Itulah sebabnya mengapa ada diantara ulama tafsir yang memandang eksistensi ilmu al-makkiy wal-madaniy jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan ilmu sebab nuzul misalnya. Di antara alasannya, kata mereka, mengingat ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul. Ilmu al-makkiy wal-madaniy, ujar Subhi as-Shalih, jauh lebih luas dan bersifat menyeluruh dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul yang bersifat partikel (juz’i).
Alasan lain yang juga layak dikemukakan ialah bahwa penggolongan ilmu asbabin-nuzul kedalam ilmu-ilmu riwayat yang dengan demikian maka sifatnya menjadi terbatas; sedangkan ilmu al-makkiy wal-madaniy bisa juga digolongkan kedalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi di samping ada juga yang lebih tepat digolongkan ke dalam lingkungan ilmu-ilmu sima’i (riwayat).
Berkenaan dengan kelebihan ilmu al-makkiy wal-madaniy, Abu Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi misalnya mengungkapkan demikian: “Di antara tanda dari kebesaran ilmu-ilmu al-Qur’an ialah ilmu tentang turunnya, ilmu tentang berbagai seginya, serta ilmu tentang tertib turunnya di Makkah pada saat permulaan, pertengahan dan penghabisan; demikian pula ketika di Madinah pada saat permulaan, pertengahan dan masa-masa akhirnya…” yang mengisyaratkan keluasan ruang lingkup jangkauan ilmu al-makkiy wal-madaniy.
Adapun mengenai faedah (kegunaan) mempelajari ilmu al-makkiy wal-madaniy, terdapat rumusan yang bervariasi di kalangan ahli-ahli ilmu al-Qur’an. Yang terpenting daripadanya ialah:
1. Ilmu al-makkiy wal-madaniy sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi klasifikasi berbagai periwayatan, pembenaran teks-teks (an-mushush) dan pembelaan terhadap penelusuran kebenaran sejarah. Itulah sebabnya mengapa dalam banyak atau bahkan hampir dalam keseluruhannya ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih dibutuhkan daripada ilmu asbabin-nuzul yang pernah dijelaskan sebelum ini.
2. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seorang mufassir dan atau yang lainnya dapat mengenali dan sekaligus menelusuri jejak (napak tilas) rangkaian fase-fase dakwah Islamiyah dari awal hingga akhir dan sekaligus akan memperoleh inspirasi dalam memunculkan cara-cara yang prima dalam membangun sistem berfikir keislaman.
3. Dengan mengenali ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang mampu menghayati proses turunnya al-Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat, dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu serta dari kelompok sosial yang satu kepada kelompok sosial yang lain. Ilmu al-makkiy wal-madaniy laksana cuplikan miniatur dan lorong-lorong potret al-Qur’an yang proses turunnya seakan-akan baru saja kita saksikan.
4. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, kita dapat mengetahui pensyari’atan hukum Islam (tasyri’ul-islami) dan perkembangannya yang bijaksana serta bersifat umum. Dengan demikian, kita dapat meningkakan keyakinan akan penyebaran Islam termasuk hukum yang ada di dalamnya – yang demikian bijaksana dalam mendidik umat manusia baik secara perorangan maupun kolektif.
5. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang dapat mengetahui sejarah perjalanan Nabi Muhammad Saw dari celah-celah ayat-ayat al-Qur’an. Turunnya al-Qur’an yang demikian rapi, teratur dan dilakukan secara bertahap namun juga tuntas dapat dijadikan landasan dalam menapak tilas sejauh perjalanan dan sepak terjang perjuangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
6. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, umat Islam dapat meningkatkan keyakinan akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian (originalitas) al-Qur’an; mengingat betapa besar perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an sejak di masa-masa awal penurunannya sampai perkembangan berikutnya; dan sejak dari masalah-masalah besar sampai dengan masalah-masalah yang sekecil-kecilnya. Pendeknya, apa pun yang berhubungan dengan al-Qur’an, mereka bahas dengan tidak henti-hentinya.
7. Bagi para ulama yang menerima konsep nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, ilmu al-makkiy wal-madaniy dianggap memiliki peran penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja teori tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam al-Qur’an ada juga ulama yang mengingkarinya.
8. Ilmu al-makkiy wal-madaniy dapat menghindarkan atau sekurang-kurangnya memperkecil (meminimalisir) seseorang dari kemungkinan salah dalam menafsirkan al-Qur’an.
Kegunaan kedelapan inilah agaknya yang paling urgen dari keberadaan ilmu al-makkiy wal-madaniy, dalam kancah penafsiran al-Qur’an. Betapa banyak orang yang kurang tepat atau malahan salah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hanya karena tidak mengetahui ilmu al-makkiy wal-madaniy. Sebagai ilustrasi, tidak jarang orang mengesankan Islam dan umatnya sebagai orang atau ajaran yang berpenampilan lembut dan bahkan lembek hanya karena mengacu kepada ayat; Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai (pembawa) rahmat bagi semua orang. (Al-Anbiya’ (21):107).
Bahwa Nabi Muhammad Saw pembawa rahmat, sehingga dengan demikian beliau demikian santun kepada siapapun termasuk kepada musuh, itu tidak perlu diragukan lagi. Dan penafsiran ini betul adanya. Tetapi tidak berarti sikap santun dan kasih sayang yang dimiliki serta diajarkan Nabi kepada umatnya itu tanpa batas sehingga mengesankan umat Islam identik dengan lembek dan loyo ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya. Selain karena ayat diatas (al-Anbiya (21):107) tergolong kedalam kelompok surat dan ayat makkiyah, juga terlalu banyak ayat yang terpaksa mewajibkan umat Islam bersikap tegas dan jika perlu bahkan harus konfrontatif melalui peperangan sekalipun. Perhatikan misalnya ayat 216 surat al-Baqarah (2) dan sejumlah ayat senada lainnya baik dalam surat al-Baqarah maupun surat-surat lainnya.
Jika kelompok surat makkiyah dan surat madaniy ini disampaikan secara benar, adil dan berimbang bahkan saling melengkapi, maka niscaya ghirah umat Islam terhadap agamanya pada satu misi akan tetap continue dan lestari; sebaliknya, pada sisi yang lain juga tidak akan lahir orang-orang ekstrim yang tidak memberi tempat dan kebebasan bagi orang-orang yang berlainan agama. Di sinilah antara lain terletak arti penting dari kemampuan seseorang mufassir menguasai ilmu al-makkiy walmadaniy dalam menafsirkan al-Quran.
Atas dasar ini maka penafsiran al-Qur’an yang bersifat holistik itu sangat perlu memperhatikan keserasian dan keselarasan antara ayat yang satu dengan ayat lain, baik di dalam surat yang berbeda dan lebih-lebih dalam surat yang sama. Guna mewujudkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara serasi dan selaras ini sudah tentu seseorang memerlukan pengetahuan tentang ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok surat dan ayat makkiyah serta mengetahui surat dan ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok madaniy.

C. IMPLIKASI ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS KAJIAN MAKKIY - MADANIY DALAM PENGAJARAN
Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga, umat Islam sangat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respon manusia; tetapi, diatas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat turunnya Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu, tempat, ataupun pentahapannya.
Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode pengajaran-dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas’ud r.a.:“Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.“
Syari’at diturunkan secara bertahap mengandung pengertian bahwa syari’at itu bersifat realistis, mengarahkan dan membantu manusia secar bertahap dan sedikit demi sedikit untuk melepaskan diri dari kejahiliyahan dan adat istiadat yang telah mengakar, dan untuk menjadikan Islam dan nilai-nilai moral tinggi sebagai karakter utama. Semangat ini tepat sekali diterapkan pada setiap proses pendidikan. Pendidikan dan pengajaran harus dilakukan bertahap dan disertai dengan metode dan pola pengajaran yang sesuai dengan kondisi objeknya.
Dalam teori dakwah, tingkatan peradaban masyarakat biasanya menjadikan pokok pangkal penentuan strategi dakwah. Artinya masalah tingkat peradaban suatu masyarakat dijadikan perhatian yang pertama kali sebelum meperhatikan hal-hal yang lain.
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannnya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Surat-surat dalam Al-Qur’an, baik yang termasuk Makiyyah maupun Madaniyyah memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi topik pembicaraannya, susunan kalimat-kalimatnya maupun isi yang kandung masing-masing surat tersebut. Ciri-ciri khas tersebut telah memberikan ilustrasi tentang berbagai langkah bijaksana yang telah direkayasa Allah dalam rangka implementasi dakwah. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataannya, bahwa metode dakwah bagi penduduk Mekkah berbeda dengan metode dakwah untuk penduduk Madinah.
Sehubungan dengan sasaran (khithab) dakwah Nabi ini, maka Ahmad ‘Adil Kamal dalam bukunya, ulum Al-Qur’an, menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad berada di Mekkah, beliau menghadapi kaum Musyrikun dan kaum Pagan serta orang-orang pengingkar agama yang senantiasa militan terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, isi kandungan Al-Qur’an, pada umumnya, berisi mengetuk hati mereka, bahkan bernada keras dan tegas untuk menunjukkan kebodohan mereka.
Berbeda dengan di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi empat golongan besar, yaitu al-Muhajirun (kaum pendatang), al-Anshar (kaum pribumi), Yahudi dan Munafiqun. Pada umumnya ayat-ayat itu berisi penegasan tentang ajaran-ajaran Allah sebagaimana yang telah diperolehnya. Dari kenyataan yang dihadapi Nabi ini, maka tidak heran jika ayat-ayat Makiyyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Mengenai kondisi sosio-historis Makkiy dan Madaniy ini, Al-Qaththan pun menjelaskan bahwa pada zaman jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan:
“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?” (Ash-Shaffat [37]:16)
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (A-Jasiyah [45]:24).
Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makkiy juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka yang ada didalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam Qur’an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.
Demikianlah, akan kita lihat Qur’an Surah Makkiy itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam Surah Qari’ah, Gasyiah dan Waqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyah pada permulaan Surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Qur’an Surah Makkiy.
Setelah terbentuk jemaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta aqidahnya telah diuji dalam berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi – maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar-bangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan Ahli Kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Qur’an yang Madaniy.

Rabu, 06 Januari 2010

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM

Oleh: Deden Syarif Hidayat


A. PENDAHULUAN
Membicarakan kembali perkembangan pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam menarik untuk dicermati. Perkembangan ini sangat berpengaruh kepada tatanan peradaban pemikiran dan gerakan umat Islam yang senantiasa fluktuatif. Sehingga timbullah semacam pergeseran-pergeseran pemikiran dan gerakan di dunia Islam. Dari rentetan sejarah, kita mengenal beberapa fase perkembangan maju-mundurnya umat Islam. Nasution membagi sejarah Islam secara garis besar kepada tiga periode besar; klasik, pertengahan, dan modern.
Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman keemasan dan dibagi kepada dua fase. Pertama; fase ekspansi, integarasi, dan puncak kemajuan (650-1250 M). Di zaman inilah daerah-daerah meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncaknya ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non-agama, dan kebudayaan Islam. kedua; fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa ini kebutuhan umat Islam, dalam bidang politik mulai pecah, kekusaan khalifah menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di tahun 258 M. Khalifah, sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang.
Periode pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi kepada dua fase. Pertama; fase kemunduran (1250-1500 M), ditandai dengan desentralisasi dan disintegrasi yang kian bertambah, kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab, dan pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu . Kedua; fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M), yaitu kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Zaman kemajuan ditandai dengan kejayaan-kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Kemajuannya lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang sekali. Di zaman kemunduran, Kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Syafawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedang daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja india.
Periode Modern (1800-seterusnya) merupakan zaman kebangkitan Islam. Periode ini ditandai dengan semaraknya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Selanjutnya akan dikupas pada pembahasan selanjutnya; mulai dari awal kemunculannya, tokoh-tokoh dan daerah yang mempeloporinya, dasar-dasar-dasar pemikirannya, dan perkembangannya pada masa sekarang ini.
Untuk mengantarkan catatan ini, perlu kiranya difahami terlebih dahulu sebuah asumsi yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyyah tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban kultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu perubahan. Apalagi, dilihat dari pandangan ajaran Islam sendiri perubahan adalah sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasimanusia dan alam raya scara keseluruhan. Inilah yang memungkinkan dalam aktualisasinya, Islam selalu melakukan pembaruan-pembaruan. Jika pembaharuan difahami sebagai aktualisasi Islam baik dalam pemikiran maupun dalam perkembangan sosial, maka sesungguhnya ia telah hadir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri.

B. LAHIRNYA PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM
Jika dirunut dari sejarah, munculnya pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Sadjali menyebut tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran (politik) Islam kontemporer, yang mutlak muncul pada waktu menjelang akhir abad XIX M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau poenjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Pada abad XVIII kekuasaan, wibawa, dan kemakmuran tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India berangsur mundur dan menurun, yang disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas masing-masing pemerintah pusat dan munculnya penguasa-penguasa semi otonom di berbagai daerah dan provinsi negara-negara tersebut, disertai dengan dislokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa, atau karena kalah perang, serta kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat, terutama para penguasa.
Selain itu, gerakan modern itu pun lahir dari pertemuan Islam dengan peradaban Barat yang sedang berlangsung . Sebab, baik faktor sejarah maupun geografis menunjukkan bahwa Islam dan barat senantiasa berhubungan erat, baik berupa hubungan persentuhan maupun konflik antar kedua peradaban.
Pengaruh Barat adalah gerakan dahsyat yang terjadi dalam proses transformasi modern dunia Timur . Kalangan muslim tertentu menganggap bahwa pengaruh Barat atau Eropa atas dunia Islam bermula dengan pecahnya perang Salib. Hingga taraf tertentu, pandangan ini dapat dibenarkan. Akan tetapi, pengaruh modern utama baru muncul setelah ekspansi Eropa melintasi samudera yang dimulai pada abad ke-15 dan didorong oleh faktor-faktor yang berbeda. Bagi dunia Islam, pengaruh Barat secara efektif bermula pada 1498 ketika Vasco Da Gama membuka jalan laut ke india melalui Tanjung Pengharapan, dan mulai melakukan perniagaan ke Afrika Timur, Anak Benua India, India Timur (Asia Tenggara, termasuk Indonesia), dan Timur Jauh . Perniagaan ini mengawali keterlibatan politik. Pertama-tama dilakukan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, kemudian bala tentara Eropa dikirim untuk melindungi pos-pos perniagaan, lalu campur tangan lebih jauh dilakukan, dan akhirnya merebaklah kolonialisme di berbagai kawasan. Salah satu akibat penting proses ini adalah kebanyakan bagian dunia Islam tergabung ke dalam sistem ekonomi global (Eropa atau Barat). Pada akhirnya hal tersebut, dalam kasus-kasus tertentu, bermakna bahwa kaum muslimin berfungsi sebagai penyandang bahan mentah untuk Eropa dan menerima barang-barang pabrik sebagai imbalannya.
Selanjutnya, Boisard menggambarkan bahwa dalam bidang sejarah politik, nasib Islam semenjak abad ke-16 ditentukan oleh sikap-sikap Eropa. Orang-orang Portugis dan Belanda telah membelokkannya dengan memakai jalan-jalan maritim baru. Inggris dan Prancis memasuki daerah-daerah Islam. Rusia memotong daerah-daerah Timur dari badannya. Di daerah Balkan, pada jalan menuju ke Asia dan tempat-tempat infiltrasi di Afrika, imperialisme Eropa berhadapan muka dengan Islam, dengan menundukkannya atau mengepungnya. Lalu, kehidupan beragama menderita karena keadaan tersebut. Jiwa keagamaan formalis yang condong kepada kefanatikkan dan, kehidupan mistik yang tidak sehat kemudian menyuburkan takhayul dan mencekik sifat original Islam yang kreatif. Orang lebih mengutamakan unsur-unsur kebudayaan tradisional lebih daripada mengadakan riset khususnya yang bersifat ilmiah. Iman menjadi terdesak dalam ortodoksi sempit yang dapat menjaga nilai-nilai agama tidak ternoda, akan tetapi ortodoksi ternyata kurang mampu untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dapat membawa Islam kepada zaman kemajuan yang aktif. Maka pandangan Islam tentang dunia menjadi sempit. Islam jatuh dalam stagnasi yang sangat tenang, sehingga serbuan-serbuan Barat pada abad ke-19 membawanya kepada keadaan morat-marit.
Sementara itu, sejak abad XIX M, dunia Islam harus mengakui bahwa dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi, negara-negara Barat lebih unggul daripada dunia Islam. Dan kalau dunia Islam ingin bangun kembali, harus belajar dari Barat. Jatuhnya Mesir dengan kedatangan Napoleon Bonaparte (Perancis) di lembah sungai Nil menginsafkan dunia Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka=pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Dengan ini, memaksa umat Islam untuk menentukan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa.
Penjajahan menimbulkan rasa harga diri yang diremehkan lalu menjelma menjadi usaha untuk kebangkitan keagamaan, kebudayaan dan politik. Suatu usaha yang diberi semangat oleh kenyataan bahwa ia menghadapi bentrokkan dengan kepentingan kaum penjajah dari Eropa. Dengan melakukan usaha-usaha anti kolonial, bangsa Arab muncul kembali dalam sejarah Islam.
Namun, di antara umat Islam memang berbeda pandangan dalam menyikapi Barat, ada yang menolak mentah-mentah pemikiran Barat, ada yang akomodatif dalam pengertian menyeleksi pemikiran Barat yang dapat diterima di lingkungan umat Islam, dan ada yang sama sekali menerima seutuhnya pemikiran Barat itu. Al-Jabiri membagi pandangan umat Islam terhadap modernitas Barat menjadi tiga kelompok, yaitu modernis (ashraniyyun, hadatsiyun), tradisionalis atau salafi, dan kaum elektis (tadzabdzub).
Yang pertama menganjurkan adopsi modernitas Barat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai model yang secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban modern untuk masa kini dan masa depan. Sikap kaum salafi sebaliknya berupaya mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang terakhir (kaum elektik) berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik, baik yang terdapat dalam model Barat modern maupun dalam Islam masa lau, serta mempersatukan diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut.

C. PEMIKIRAN DAN GERAKAN PRA-MODERN DI DUNIA ISLAM
Geliat pemikiran dan gerakan modern sudah dimulai pada periode pertengahan, sebagaimana dipetakan oleh Nasution. Ada tiga fenomena menarik yang terjadi sebagaimana di bawah ini.
Kerajaan Usmani (Turki)
Di abad ketujuh belas kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Diantaranya adalah kekelahan dalam upaya penguasaan Wina pada tahun 1683, dan perjanjian Carlowitz yang ditandatangani tahun 1699, membuat kerajaan Usmani terpaksa menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia dan Azov kepada Rusia.
Kekalahan-kekalahan serupa ini mendorong Raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan Eropa terutama kemajuan di Perancis, baik dalam hal pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi Perancis. Demikian pula dalam hal kemiliteran dan non-militer. Tersebutlah Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M) yang pertama menghasilkan pembukaan percetakan di Istambul, yang mencetak buku-buku yang sangat beragam termasuk tentnag kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan sebagainya. Ibrahim pun pandai mengarang berbagai buku cabang ilmu pengetahuan. Pada masa itupun dibentuklah suatu badan penterjemah untuk menerjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Turki.
Namun usaha ini tidak membuahkan hasil yang signifikan karena beberapa faktor. Diantaranya adalah munculnya sultan-sultan yang lemah, dan keuangan negara yang kian melemah sehingga belanja yang diperlukan untuk pembaharuan jauh dari cukup. Selain itu terdapat penentangan keras dari beberapa golongan yang terkenal di masyarakat. Diantaranya adalah Yeniseri (tentara baru) dan kaum ulama tradisional, terutama terkait ide demokrasi.
India
Diawali dengan pecahnya perang saudara pada kerajaan Mughal, lalu timbullah gerakan (Hindu) yang ingin memisahkan diri dari kerajaan. Demikian pula dimulainya upaya pihak inggris untuk memperbesar usaha demi memperoleh daerah-daerah kekuasaan. Dari sinilah munculnya kesadaran para pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam. Salah satunya adalah Syah Waliullah (1703-1762 M).
Beliau memandang bahwa diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Kemudian besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat jelata membuat umat Islam lemah, apalagi pajak yang terima tidak dipergunakan untuk kepentingan rakyatnya tetapi untuk membelanjai hidup mewah dari kaum bangsawan pengangguran. Untuk itu beliau berpendapat bahwa sistem pemerintahan pada zaman khulafa ar-Rasyidin perlu dihidupkan kembali.
Selain itu, kelemahan umat Islam disebabkab oleh perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam, sehingga perlu didamaikan. Juga, masuknya adat-istiadat dan ajaran-ajaran yang bukan Islam ke dalam keyakinan umat Islam, sehingga harus dibersihkan dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Demikian pula dengan taklid. Ia melihat bahwa masyarakat bersifat dinamis. Penafsiran yang sesuai untuk suatu zaman belum tentu sesuai dengan zaman sesudahnya. Oleh sebab itu, ia menentang taklid dan menganjurkan pengadaan ijtihad. Ia membedakan antara Islam universal dan Islam lokal. Dan berpegang kepada ajaran-ajaran yang universal-lah yang membuat Islam bersifat dinamis. Pada masa inipun dibuka kran penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia agar dapat difahami kandungan ayatnya.
Arabia
Pada saat itu, di Arabia timbul pula satu aliran, yaitu aliran Wahabiah yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad kesembilanbelas. Pembinanya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejd di Arabia. Pemikiran yang dicetuskannya untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di kerajaan Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian faham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ketigabelas memang tersebar luas di dunia Islam. Diantaranya adalah pemujaan atau naik di kuburan para wali, memohon di atas kuburannya, atau memuja dan memohon kepada bebatuan dan sebagainya. Menurut faham Abdul Wahhab, keyakinan seperti ini merupakan syirik atau politeisme.
Gerakan Wahhabi dikelompokkan sebagai pembaharuan revivalis pra-modern yang dipandang sebagai denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemerosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya. Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah sangat berpengaruh terhadap orang-orang yang berusaha membangkitkan kembali Islam pada zaman modern. Walaupun, tidak sepenuhnya duplikat dari pemikiran ibnu Taimiyah.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahhab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilabelas adalah:
1. Hanya Al-Qur’an dan hadits lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
Dalam aspek idealnya, dalam perlawanannya terhadap kerancuan monoteisme yang timbul karena masuknya ibadah-ibadah animistik dan ajaran ajaran panteistik, faham wahhabi berhasil menampilkan gagasan pembaharuan, yang sedikit demi sedikit tersebar ke seluruh dunia Islam. Selanjutnya, faham wahhabi ini bergeser oleh karena aspek teokratik revolusionernya. Ia menampilkan sebuah model pergolakan menentang pemerintah Islam ”murtad”, dan modelnya itu secara lebih hebat diikuti di negara-negara lain pada saat pemerintah-pemerintahnya semakin jatuh ke dalam pengaruh dan kekuasaan bangsa-bangsa Eropa.
Demikian gejolak awal pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam. Menurut Nasution dan Azra , pada intinya semua gerakan pembaharuan pra-modernis memperlihatkan ciri-ciri umum berikut ini:
1. Suatu keprihatinan yang mendalam dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim;
2. Suatu himbauan untuk kembali ke Islam orsinil, menanggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas madzhab-madzhab humum tradisional, dan berusaha melaksanakan ijtihad, yaitu merenuingkan kembali bagi dirinya sendiri makna pesan orsinil itu;
3. Suatu himbauan untuk membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang kodrat takdir yang dihasilkan agama rakyat, tetapi juga secara material disumbangkan oleh teologi asy’ariyah yang pengaruhnya ada di mana-mana;
4. Suatu himbauan untuk melaksanakan pembaharuan Revivalis ini melalui mkekuatan bersenjata (jihad) jika perlu.

D. DASAR-DASAR PEMiKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM
Kekecewaan terhadap dunia Barat melahirkan perubahan sikap yang cukup berarti bagi dunia Islam secara keseluruhan. Ketika pertama kali kaum muslimin mulai bereaksi terhadap dominasi Barat, selama zaman kolonial, timbul dua kecenderungan yang berbeda. Di beberapa kalangan terdapat keinginan untuk menyerap semua yang dianggap baik dari Barat, termasuk gagasan-gagasan politisnya, tatanan ekonominya, system pemdidikan, dan teknologinya, sambil tetap memelihara dan melestarikan Islam terutama dalam bentuk ritual dan kaidah-kaidah perilaku personal. Demikian juga ada yang bersikap bahwa gagasan-gagasan dan tradisi utama Barat memang telah dimiliki oleh Islam. Demokrasi, sains, sosalisme, dan penalaran merupakan bagian dar Islam. Oleh karena itu peniruan dari Barat tidak perlu dipermasalahkan Sehingga ada kecenderungan dari para intelektual Islam untuk mengambil kembali peradaban Islam yang dulu pernah berjaya yang telah diambil oleh Barat.
Inilah yang kemudian dikembangkan oleh Muhammad Abduh. Ia menegaskan bahwa akal budi dan rasionalitas yang dikenal dalam tradisi intelektual Barat sangat dihargai dalam Islam. Yang dibutuhkan adalah penafsiran mengenai Islam yang sesuai dengan gagasan dan cara hidup yang berasal dari Barat. Dengan begitu, umat Islam dapat bersaing melampaui gagasan-gagasan yang timbul dari Barat.
Bagaimanapun, respons umat Islam terhadap peradaban Barat menghasilkan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaharuan. Sejak kahir abad ke-19 setelah wafatnya Jamaluddin Al-Afghani, pada masa giat-giatnya Muhammad Abduh melancarkan gerakan reformasinya, pemikiran Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu:
Pertama, pemikiran yang cenderung kepada mobilisasi rohani dan reformasi keagamaan. Caranya, dengan menerangkan agama Islam sejelas-jelasnya dan berusaha menjadikan Islam sebagai dasar pendidikan Nasional. Jalan yang dipempuh yakni perbaikan Al-Azhar dan menghidupkan kembali buku-buku lama. Yang mawakili arah pemikiran ini justru sekolah salafiyyah yang menerbitkan majalah Al-Manar setelah meninggalnya Muhammad Abduh.
Kedua, pemikiran yang cenderung kepda mobilisasi persaaan Nasional pada jiwa generasi muda. Caranya melalui pers, perkumpulan umum, dan pendirian universitas Mesir yang diusahakan oleh Mustafa Kamil.
Dari lingkungan universitas itu, dan dari arah politik Nasional yang dianggap sama dengan arah reformasi keagamaan, karena sama-sama menentang imperialisme, lahirlah kelompok pembaharuan atu yang lebih tepat disebut pemikiran Islam yang kebarat-Baratan (westernized). Inilah mungkin yang dimaksudkan oleh Budi Hardiman bahwa modernisasi adalah westernisasi.
Gerakan-gerakan pembaharuan di lingkungan umat Islam, terutama sebelum abad ke-20, jika diamati memiliki kesamaan-kesamaan dasar, yakni:
Pertama, gerakan-gerakan itu datang dari masyarakat Islam dan terutama didorong oleh ajaran-ajaran Islam sendiri, jadi bukan karena sentuhan dan desakan Barat seperti dimengerti oleh sementara orang.
Kedua, gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas muslim dalam pergumulan social di dunia konkrit. Sufisme dianggap sebagai sebab terbesar mengapa masyarakat Islam menjadi mandeg, beku, statis, dan kehilangan kreatifitas.
Ketiga, hampir semua gerakan pembaharuan menekankan mutlak perlunya rekonstruksi sosio-moral dan sosio-etnik masyarakat Islam, agar sesuai atau paling tidak lebih mendekati Islam ideal. Islam histories, yakni Islam dalam praktik, harus ditransformasi menjadi Islam ideal.
Keempat, semua gerakan pembaharuan Islam mengobarkan semangat ijtihad, yaitu menggunakan akal fikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kelima, pada umumnya gerakan-gerakan pembaharuan itu juga menggarisbawahi pentingnya jihad untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.
Untuk pengkajian yang lebih mendalam, kita coba mendeskripsikan lebih lanjut perkembangan dan gerakan modern di tiga wilayah sentral pemikiran dan gerakan, yaitu Mesir, Turki, dan India-Pakistan.

E. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI MESIR
Sebagaimana telah disebutkan bahwa masuknya kekuasaan Perancis dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke lembah sungai Nil telah memaksa umat Islam untuk menetapkan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa. Kedatangan Bonaparte ke Mesir selain untuk kepentingan penguasaan atas negara Perancis, Mesir dianggap perlu untuk memasarkan produk perindustrian Perancis. Di samping itu, ekspedisipun dilakukan untuk keperluan ilmiah. Sehingga didirikanlah lembaga ilmiah yang dikenal dengan nama Institut de ’egypte.
Disamping kemajuan materi, Napoleon membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Perancis, diantaranya adalah sistem pemerintahan republik yang dalamnya kepoala negara dipilih ntuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dan dapat dijatuhkan oleh parlemen. Selain itu, tersosialisasikanlah ide persamaan dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam pemerintahan, dan ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang perancis merupakan suatu bangsa dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukus. Disini, dibedakan mana umat dengan bangsa.
Dengan begitu, bagaimanapun ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka. Dari situ muncullah pemikiran dan gerakan pembaharuan yang dimulai dari tokoh-tokoh utamanya, diantaranya adalah Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Dan Muhammad Rasyid Ridha, serta murid dan pengikut Muhammad Abduh lainnya.
Tahtawi berpandangan bahwa pemerintah yang baik lah yang dapat memajukan ekonomi. Dan salah satu jalan untuk kesejahteraan ialah berpegang teguh kepada agama dan budi pekerti yang baik. Mengenai fatalisme, ia mencela orang Paris karena mereka tidak percaya pada qadla dan qadar, padahal yang benar menurutnya adalah orang harus percaya pada qadla dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu ia harus berusaha.
Dalam bidang pendidikan, Tahtawi sebagai salah satu syaikh Al-Azhar membuka alkademi bahasa-bahasa dan menterjemahkan konstitusi dan hukum perdata Perancis ke dalam bahasa Arab. Barangkali ia juga yang pertama kali mmenyatakan bahwa kaum muslimin mesti mempelajari semua sains-sains moder, karena orang Eropa telah mengembangkannya sesudah meminjam dari kaum muslimin sendiri.
Di samping itu muncul Jamaluddin Al-Afghani yang membawakan inspirasi dan dan program populer gerakan pan-Islamisme dengan menegaskan kembali landasan-landasan umat Islam dalam pengertian Nasionalisme. Dalam pengertian yang luas, pan-Islamisme adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Ia menyerang lembaga-lembaga yang ada, megnajurkan kembali kepada persaudaraan Islam orisinil serta melontarkan kritik pedas terhadap materialisme Barat dan apatis dari kaum Muslimin. Menurutnya, persatuan ideologi dan politik Dunia Islam adalah satu-satunya benteng yang dapat bertahan melawan imperialisme Eropa.
Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Untuk itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka. Jadi kemunduran umat Islam disebabkan umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam.
Murid Al-Afghani yang paling menonjol adalah Muhammad Abduh yang mendasarkan pemiukirannya atas dua postulat pokok, yaitu pertama peran agama yang nperlu secara muthlak bagi mkehidupan manusia dan sebagai terusannya, keistimewaan yang tiodak dapat disangkal lagi tentang wahyu Al-Qur’an. Dan kedua perlunya menggunakan dan mengasimilasikan bagian yang terbaik dalam pengetahuan Barat. Karena Islam sesuai dengan akal, maka Islam tak akan mengahadapi konflik dengan kemajuan. Akan tetapi penggunaan akal dalam paparannya secara menyeluruh berada dalam tradisi Islam, bukan dari sumbangsih para pemikir Barat.
Dua hal yang menjadi prinsip pemikiran Abduh, pertama, pembebasan kaum muslimin dari akidah kaum jabariah; dan kedua, memunculkan peran akal dalam kehidupan manusia. Konsekuansinya, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya lah yang akan memunculkan dinamika umat Islam kembali. Paham jumud dapat diganti dengan paham dinamika. Sebab, paham jumud dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Untuk itu, pintu ijtihad harus dibuka.
Dalam hubungannya dengan masalaha ijtihad ini, ia lebih mempertegas pandangan Abdul Wahhab bahwa umat Islam tidak hanya cukup kembali kepada ajaran-ajaran asli itu, tetapi perlu ada penyesuaian itu adalah melalui intepretasi baru, dan hanya dilakukan melalui ijtihad, sekaligus pemberantasan terhadap sikap taklid dengan jalan kembali kepada Islam yang sudah dimurnikan itu, yang sanggup mengasimilasi kemajuan dari luar, dan menegakkan keadilan sosial dari dalam. Karena itu Muhammad Abduh dianggap oleh generasi sesudahnya sebagai pembaharu agama.
Namun disadari bahwa pasca Abduh ini selanjutnya melahirkan dua golongan, yaitu pertama, mujaddid merdeka yang menghendaki kemajuan secara evolutif dari Islam. Artinya, ia condong kepada perubahan-perubahan yang sehat, tetapi tetap mempertahankan perimbangan tradisi Islam. Mereka menganggap Islam sebagai kekuatan moral yang hidup, yang memberikan kekuatan batin kepada mereka. Di samping itu, kedua, ada golongan yang sangat dipengaruhi oleh Barat. Mereka menerima segala yang datang dari barat, sehingga mereka terlepas dari kebanggaan sejarah spiritual dan kebudayaan bangsanya sendiri.
Selanjutnya, murid dari Muhammad Abduh yang paling terdekat dan termasuk golongan pertama adalah Rasyid Ridha. Ia mengulangi ide-ide Abduh dalam menafsirkan agama atas sumber-sumbernya yang asli, akan tetapi memberikan pengaruh besar dari Al-Afghani, ia mencoba memberikan dimensi politik bahkan pan-Islamisme untuk memperbaharui Dunia Islam. Ia berpendirian untuk mendirikan khilafat baru yang dapat memainkan peran efektif dalam urusan spiritual dan mterial masyarakat muslim. Walaupun ia seorang yang berpegang keras kepada hukum, tetapi ia tidak membatasi diri untuk kembali kepsada peraturan-peraturan tradisional. Ia membedakan humum suci yang tidak berubah dan bersifat abadi, mengatur kehidupan pribadi dan hukum yang mengatur bidang politik dan yuridis, yang dapat dirubah, karena konsep keadilan sosial dan kebaikan masyarakat berkembang menurut waktu. Ia sebagaimana gurunya Abduh, mengakui faidahnya ide modern dan menganjurkan untuk memakainya. Namun ia melampau Abduh dengan menerjunkan diri dalam kegiatan politik.
Selain itu, Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlunya ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mat pelajaran berikut; teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kedokteran, bahasa asing, dan ilmu mengatur rumah tangga, di samping ilmu-ilmu madrsah biasanya.



F. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI TURKI
Pembaharuan di Kerajaan Turki Usmani abad ke-19, sama halnya dengan pembaharuan di Mesir, juga dipelopori oleh raja. Kalau di Mesir Muhammad Ali Pasya lah raja yang mempelopori pembaharuan, di Kerajaan Turki Usmani Raja yang emmpelopori pembaharuan adalah Sultan Mahmud II. Ia dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama.
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudianh mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di kerajaan Usmani adaalah perubahan dalam bidang pendidikan. Madrasah yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di kerajaan Usmani yang hanya mengajarkan pelajaran agama, dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19. Maka dilakukanlah perubahan kurikulum dengan penambahan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya. Setelah itu dibentuklah sekolah-sekolah umum dilengkapi dengan buku-buku yang beragam. Selain itu, Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswanya ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di kerajaan Usmani. Masih dalam hal keilmuan, buku-buku dalam bahasa Turki mengenai ide-ide modern Barat bermunculan melalui upaya penerjemahan serta penerbitan majalah yang berisikan ide-ide modern.
Pembaharuan-pembaharuan ini menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. pembaharuan lanjutan pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah tanzimat yang artinya mengatur, menyusun, dan memperbaiki, dan di zaman itu memang banyak diadakan peraturan dan undangh-undang.
Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya lalu Mustafa Sami. Lalu dilanjutkan oleh Usmani Muda, Tiga aliran Pembaharuan, Islam, dan Nasionalis, Mustefa Kemal.


G. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI INDIA-PAKISTAN
Sebagaimana telah dibahas, ide-ide pembaharuan di India ini awal mula dicetuskan oleh Syah Waliyullah di abad ke-18 yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1623 M) yang kemudian berpengaruh kepada Sayyid Ahmad Syahid (1786 M). Ide-ide pembaharuannya muncul dari pantauannya terhadap kemunduran umat islam di India yang lagi-lagi agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur dengan faham dan praktik yang berasal dari Persia dan India. Ia berpendapat bahwa pertama kali yang harus dibersihkan adalah tauhid. Gerakan mujahidin yang dijadikan sayap pergerakan Sayyid Ahmad Syahid ini dipandang oleh sebagian penulis Barat sebagai gerakan Wahabiah India. Perbedaannya terdapat pada sikap mereka terhadap sufi. Sebagaimana dikatahui, Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedang Mujahidin banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran sufi India. Syah waliyullah sendiri tidak menentang tasawwuf dan dapat menyetujui tasawwuf yang bersifat modern. Sehingga penulis-penulis Islam India-Pakistan menolak penyebutan gerakan wahabiah India itu.
Aliran reformis India nampak orisinil. Sebagaimana bangsa Arab, umat Islam India menghendaki reinterpretasi rasionalis tentang dogma-dogma, karena reinterpretasi tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau Hadits. Pada umumnya, orag-orang India bersikap kurang tradisionalis dari pengarang-pengarang Arab. Sir Sayyid Ahmad Khan menganjurkan dimasukkannya kemajuan-kemajuan ilmiah serta menerima lembaga-lembaga Barat dalam Islam modern. Untuk keperluan tersebut, ia mendirikan universitas yang akan menjadi tempat untuk mengajarkan pikiran Barat yang terbaik dalam suasana Islam.
Pengarang kedua adalah Amir Ali yang mengembangkan ajarannya atas dasar riwayat hidup Nabi Muhammad yang ditulisnya dengan nada apologetik; dalam karangannya itu, ia menceritakan bagaimana Nabi Muhammad berhasil memberantas kekacauan di Arabia dan membuka perspektif kepada kemajuan bagi umat manusia, dengan bersandar kepada akal. Menurut Amir Ali, kehidupan Muhammad menunjukkan bukti yang nyata tentang kemampuan Islam untuk adaptasi dengan zaman modern. Walaupun ia adalah seorang pengikit aliran Syi’ah, tetapi ia berhasil sangat baik, juga di negara-negara Arab. Tentu saja hanya sedikit sekali pembaca yang menyetujui pendapatnya bahwa Al_Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad.
Akhirnya Muhammad Iqbal merupakan penulis yang paling terkenal tentang gerakan reformasi di India, berkat pengetahuannya yang luas serta daya tarik sya’ir-sya’irnya. Karena yakin bahwa Islam memiliki keluwesan yang tak terbatas, ia menganjurkan untuk meninjau kembali keseluruhan sistem islam tanpa memutuskan hubungan dengan peninggalan masa lalu. Ia menuntut dibentuknya ”demokrasi spiritual dengan aspirasi Islam” dengan mengadakan konsensus masyarakat dan usaha pemikiran perorangan. Bertentangan dengan Rasyid Ridha, ia menolak mendierikan khilafat kemabali dengan mengatakan bahwa Islam adalah kesetiaan kepada Tuhan dan hukumnyadan bukan suatu petunjuk politik untuk mendirikan pemerintahan. Dengan mengasosiasikan doktrin dalan lembaga-lembaga Islam tradisional yang kadang-kadang ia tafsirkan secara ellegoris (kiasan) dengan rasionalisme Barat, prinsip=prinsip yuridis dan pengetahuan teknik. Iqbal berpendapat bahwa reform dapat m,enghasilkan suatu kompromi tanpa bentrokkan.

Daftar Pustaka
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Bandung: PT Bulan Bintang, 1992)
Jaih Mubarak, Sejarah Perdaban Islam (Bandung: CV. Pustaka Islamika. 2008).
Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005).
Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-PRESS, 1993).
Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (Jakrata: 1966).William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997).
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1980).
Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam.
H.A.R. Gibb, Hlm. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996).
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisus, 2003).
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka. 2000)

PEMIKIRAN TAFSIR ANWAR AL-TANZIL WA ASRAR AL-TA’WIL KARYA AL-BAIDLAWIY

Oleh: Deden Syarif Hidayat

A. PENDAHULUAN
Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidlawiy dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat). Populeritas kitab Tafsir Al-Baidlawiy di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir Al-Baidlawiy ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin) sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata (Al-Shina’iyyat al-Lafdhiyyah). Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut
Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali komentar (hasyiyah) dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir Al-Baidlawy itu “hanya” sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.

B. SETTING HISTORIS-BIOGRAFIS AL-BAIDLAWIY
Kitab tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil ini dikarang oleh Qadhiyul Qudhat Anshiruddin Abdullah bin Amuhammad ‘Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Nama lengkapnya Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Beliau berasal dari sebuah kota di Persia , tepatnya di daerah Syiraz, Iran selatan. Di sanalah mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai bersentuhan dengan ulmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra kepada ilmu-ilmu syara’ dan hukum. Selain itu, menurut Qadli Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat Qadli (hakim agung) di Syiraz.
Al-Baidlawiy hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Mungkin, karena pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, syaikh Muhammad Al-Khata’I yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan Al-Baidlawiy mengundurkan diri dari jabatan hakim agung.
Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim agung, Al-Baidlawiy mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarh Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarh Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushl fiqh), Syarh Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarh Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir).

C. SEPUTAR KITAB TAFSIR ANWAR AL-TAMNZIL WA ASRAR AL-TA’WIL

1. SEJARAH PENULISAN
Kitab tafsir Al-Baidlawiy dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi:
“Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil”.
Al-Baidlawiy menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi Al-Baidlawiy, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’I, ulama yang menyarankan Al-Baidlawiy untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan Al-Baidlawiy karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya.
Beberapa penilaian terhadap tafsir Al-Baidlawiy menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (disarikan dalam hal I’rab, ma’ani dan bayan), Mafatih Al-Ghayb karya Fakhruddin Al-Razit (disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy (disarikan dalam hal asal-usul kata).
Terlepas dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, Al-Baidlawiy mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan dalam sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Perta,a, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum Al-Baidlawiy. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh Al-Baidlawiy. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin KA’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zayd bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, Al-Baidlawiy mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali.
Sementara dari para mufassir pendahulunya, Al-Baidlawiy tidak menyebutkan nama mufassir yang telah ada sebelumnya. Alih-alih menyebut nama mufassir dan kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy hanya menyebut nama-nama teolog semisal Abu Hasan Al-Asy’ari (2 kali), Al-Jubba’i (1 kali) dan nama-nama kelompok seperti Al-Barahim (1 kali), Al-Khawarij (5 kali), Mujbirah (1 kali), Mujassimah (1 kali), Mu’attilah (2 kali) dan Mu’tazilah (35 kali).
Menurut Jean Smith, Al-Baidlawiy melakukan hal demikian karena memang sudah merupakan praktik yang umum sat itu, yakni abad ketujuh, dimana sistem skolastik sudah berdiri dengan kokoh, bahwa seseorang bisa mengadopsi materi atau pendapat orang lain dalam karyanya, bahkan untuk mengutipnya secara verbal.
Seakan mengantisipasi kemungkinan keberatan-keberatan yang muncul kemudian, Al-Baidlawiy sendiri menyatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa beliau memang berupaya untuk mensarikan pandangan-pandangan ulama sebelumnya. Namun demikian, beliau juga mengakui bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbath yang beliau lakukan sendiri.

2. BENTUK DAN CORAK PENAFSIRAN AL-BAIDLAWIY
Tafsir karangan Al-Baidlawy ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi (yang terpuji) sekaligus. Artinya bahwa Al-Baidlawiy tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir mafatih al-ghaib dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir Al-Raghib Al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-kasysyaf karya Al-Zamakhsariy, Al-Baidlawiy dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadl, tarakib, dan nakt al-balaghah. Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlussunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir mafatih al-ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Raziy.
Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis Al-Kasysyaf ini. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlussunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, Al-Baidlawiy mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlussunnah, Mu’tazilah, dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlussunnah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Baidlawiy sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini dukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran Al-Baidlawiy memang cenderung kepada madzhab yang yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, Al-Baidlawiy memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan Al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini Al-Baidlawiy terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin al-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ {10}
”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidlawiy menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang yang menguap menjadi ether kemudian menyala....
`Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari ”hanya: dua jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkaty dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini.
Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalajiy, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir Al-Baidlawiy ini.

3. METODOLOGI YANG DIGUNAKAN
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al_Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Al-Baidlawiy memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang cemerlang.
Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan Al-Baidlawiy adalah menjelaskan tempat turunnya surat (makkiy atau madaniy) dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, Al-Baidlawiy menjelaskan makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadit-hadits nabi maupun qira’ah.
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain (atau sering disebut dengan ”hubungan internal”) merupakan bagian penting dalam tafsir Al-Baidlawiy. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an. Penggunaan ”hubungan internal” (miunasabah) ini tampak sangat kentara dalam tafsir Al-Baidlawiy.
Di akhir hampir setiap surat, Al-Baidlawiy menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca srat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsari dalam tafsirnya. Namun sayang, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan, dla’if, atau maudlu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudlu’ menurut kesepakatan ulama hadits. Walaupun begitu adanya, Al-Baidlawiy memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf , hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyyat yang menjadi ”bagian penting’ dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir Al-Baidlawiy diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, Al-Baidlawiy menyebutkannya dengan menggunakan istilah ”ruwiya” (diriwayatkan) atau ”qila” (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa Al-Baidlawiy mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyyat tersebu yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22}
Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”.
Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadl makatsa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, Al-Baidlawiy mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebuih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, Al-Baidlawiy menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, emnjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidlawiy untuk menguraikan maknanya. Dari sini sangat nampak bahwa Al-Baidlawiy memang sangat menguasai beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawaih, Al-Khalil, Al-Mubarrad, Tsa’lab dan lain-lain.
Dalam hal qira’at, Al-Baidlawiy tidak hanya menggunakan tujuh qira’at yang sering dianggap sebagai al-qiraat al=masyhurah (mutawatir), yaitu bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada tujuh imam; Ibnu Amir, Ibnu Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi, dan Al-Kisa’i, tetapi juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qira’ah yang lain, seperti Ya’qub Al-Hadlrami, Abu Bakar, dan lain-lain yang masuk dalam kategori syadzdzah.
D. BEBERAPA KOMENTAR TERHADAP TAFSIR AL-BAIDLAWIY
Kitab tafsir Al-Baidlawiy jelas memperoleh perhatian tersendiri dari umat Islam, juga di dunia Barat. Hal ini, antara lain, terbukti dengan begitu banyaknya hasyiyah yang meberikan catatan dan komentar terhadap tafsir tersebut. Sebagaimana dikemukakan di awal, penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Sebuah perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan ke dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut.
Terlepas dari banyaknya hasyiyah tersebut, kitab tafsir tersebut memperoleh tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuiji, sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif. Berikut ini akan dikemukakan tanggapan yang bermunculan di sekitar tafsir karya Al-Baidlawiy tersebut.
Kebanyakan komentar terhadap tafsir ini beranggapan bahwa Al-Baidlawiy merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khusunya Al-Kasysyaf. Haji Khalifah dalam kitabnya kasyf al-dhunun memberikan komentar bahwa ”Kitab tafsirnya ini merupakan kitab yang sangat penting, kaya akan penjelasan. Di tempat lain ia menyatakan, ”Kitab ini merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan baik oleh para pemuka agama dan ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut.
Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini :meliputi rangkuman pendapat banyak imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit.... Berbeda dengan tanggapan Yusuf Rahman yang menulis tentang ”unsur hermeneutika tafsir Al-Baidlawiy menyatakan bahwa sikap Al-Baidlawiy yang tidak menyebutkan sumber dalam penafsiran yang dilakukan itu ”membuat kita menuduhnya sebagai seorang ’plagiat’”.
Sedangkan Quraisy Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy merupakan salah satu tafsir yang ”cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal”.
Namun pada akhirnya langkah baiknya kita kemukakan tanggapan Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa kita tafsir Al-Baidlawiy ini merupakan ”salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah SWT, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya’.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
Arsyif Multaqa Ilmu Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987..
Nashruddin Al-Baidlawiy, Tafsir Al-Baidlawiy. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.

SISTEM PERBUDAKAN DALAM ISLAM Sebuah Kajian Sosiologis Historis

Oleh: Deden Syarif Hidayat

PENDAHULUAN
Dalam diskursus tentang Al-Qur’an secara keilmuan, pembahasan tentang Perbudakan termasuk kepada kelompok sosio-historis (B). Karena ayat-ayat yang membicarakan tentang perbudakan tersebut mencakup dalam ranah kemasyarakatan. Pada kesempatan ini akan dibahas bagaimana secara sosio-historis perbudakan muncul dan berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Bagaimana latar belakang dan kondisi sosio-historis turunnya ayat-ayat tentang perbudakan. Sehingga akan menimbulkan pembahasan yang lebih luas dilihat dari pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap keterkaitan antara kemunculan ayat-ayat perbudakan dan relevansinya dengan konteks kekinian dalam struktur masyarakat Islam. Lebih lagi, apakah Islam mengakui atau melegitimasi adanya sistem perbudakan dan bagaimana realitas yang rerjadi di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Ayat-ayat perbudakan, sebagaimana ayat-ayat yang lain, dari segi turun dan keberadaannya adalah empirik (E). yaitu dalil yang dilatarbelakangi oleh turunnya ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang perbudakan yang dikaitkan dengan budaya masyarakat setempat. Tetapi dari segi isi, ayat-ayat perbudakan membawa misi filosofis. Semua isi itu disebut dalil normatif (D).

PERBUDAKAN DALAM LINTAS SEJARAH
Sejak kapan mulai adanya budak dan sistem perbudakan, tidak ada satu keterangan pun yang dapat memastikannya. Yang jelas usia perbudakan mungkin sudah se-tua umur peradaban manusia itu sendiri. Bahkan di masa Nabi Yusuf As., hukum yang diberlakukan bagi pencuri ialah dengan jalan memperbudaknya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam QS Yusuf ayat : 75
            
Mereka menjawab: "Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, Maka dia sendirilah balasannya (tebusannya)". Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang zalim.
Perbudakan merupakan hal yang umum pada masyarakat pra-Islam, Timur Tengah dan Afrika serta Asia, adalah lembaga yang diterima dalam Islam seperti Yahudi dan Kristen yang merupakan lanjutan yang telah lama dianut oleh rumpun Semit Kuno, dan yang legalitasnya diakui oleh Perjanjian Lama, namun Islam memperbaiki kondisi para budak di tengah-tengah realitas social praktik perbudakan.
Ketika Islam datang, perbudakan telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia. Bahkan ia merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial yang terus berkembang tanpa ada seorang pun berfikir untuk merombaknya. System ini berlanjut pada masa Dinasti-Dinasti Islam pasca kekhalifahan. Pada masa dinasti Umaiyah, masyarakat di seluruh kerajaan terbagi kepada empat kelas social. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristocrat Arab; kelas mu’allaf, yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga, secara teoritis, Negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga Muslim; anggota-anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen, dan Saba’ yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam; terakhir kelas yang paling rendah adalah golongan budak.
Demikian pula, gejala perbudakan harus diakui pernah marak di masa Dinasti Abbasiyah. Posisi teratas dalam tingkatan social ditempati oleh khilafah dan keluarganya, para pejabat pemerintahan, keturunan Bani Hasyim dan orang di sekitar mereka. Kelompok terakhir meliputi para prajurit dan pengawal istana, sahabat dekat, para mawla, dan pembantu. Para pembantu itu hamper semua adalah budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non-muslim, baik yang ditawan pada masa perang atau dibeli pada masa damai. Gagasan maraknya praktik perbudakan bias dilihat dari tingginya jumlah budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana Muqtadir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki Yunani dan Sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang senuanya diajak tidur menemaninya. Pada suatu kesempatan, Al-Mutawakkil menerima hadiah sebanyak 100 budak dari salahsatu jenderalnya.
Demikian maraknya perbudakan di kalangan kerajaan saat itu. Namun begitu, pada masa Abbasiyah ini, banyak diantara budak-budak ini yang memiliki posisi strategis dalam kerajaan. Dinasti Abbasiyah memperkenalkan lembaga prajurut budak (Mamluk), yang menjadi unsur penting banyak kerajaan Muslim; kerajaan budak mulai menempati posisi penting di militer, menjadi Jenderal dan gubernur propinsi yang kuat. Termasuk setelah itu, terjadi pada masa dinasti-dinasti Timur. Diceritakan bahwa salah seorang budak Turki disukai dan dihargai oleh kerajaan Samaniyah, serta dianugrahi pos penting dalam pemerintahan, dia adalah Alptigin, yang memulai karirnya sebagai pengawal.
Lalu bagaimana sebenarnya Al-Qur’an memandang system perbudakan ini? Dan bagaimana cara-cara penghapusan yang ditawarkan Islam?

PERBUDAKAN DALAM AL-QUR’AN
Makna budak secara bahasa menunjukkan seseorang yang menjadi abdi, hamba, jongos atau orang yang dibeli untuk dijadikan budak. Sedangkan perbudakan mengacu pada sistem sosial di suatu masa dimana segolongan manusia merampas kepentingan golongan manusia lain. Dalam memandang masalah budak dan perbudakan, maka Islam melihat ada dua permasalahan penting yang harus dipecahkan. Yang pertama adalah menyangkut budak itu sendiri, sebagai mahluk yang menjadi barang perniagaan, selalu direndahkan harkat dan martabatnya, tidak merdeka dan diperjual belikan. Sedang permasalahan kedua menyangkut sistem perbudakan, yaitu menyangkut penyebab timbulnya perbudakan dan bagaimana Islam berupaya menghapuskan dan mengaturnya.
Dengan syariatnya yang mulia, Islam hadir untuk melepaskan budak dan sistem perbudakan. Syariat Islam datang dengan misi membebaskan para budak (Ar Roqiq/fakk raqabah) dan memperlakukannya secara terhormat dan manusiawi. Islam memandang para budak dari sisi bahwa mereka itu adalah manusia juga yang sama dengan manusia merdeka lainnya. Terutama pada fitrah insaniyah-nya. Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya. Islam datang dengan menyatakan:
 ••           •      •    
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
                          •       •
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,( Al-Nisa: 36)
                        
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. ( QS. Al-Nahl: 71)
Dalam kasus perbudakan, mengikuti pendekatan Fazlur Rahman, yang dibidik oleh Al-Qur’an sebagai sarana ideal moralnya adalah pemerdekaan budak. Al-Qur’an memang mengakui hukum praktik perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan sebagai solusi yang bersifat segera dan sementara. Pada saat itu, tidak ada alternative lain untuk meniadakan praktik yang telah berurat-berakar dalam struktur masyarakat Arab, masyarakat penerima Al-Qur’an pertama. Pelarangan secara mendadak tentu saja akan menimbulkan masalah baru, sementara masalah lama tetap tidak selesai. Cara seperti ini tidak akan menuai keberhasilan. Nampaknya memang Al-Quran Al-Karim sendiri dalam menangani masalah perbudakan tidak menggunakan sistem pengharaman secara eksplisit. Misalnya "budak itu haram dan jangan ikut-ikutan punya budak". Kita tidak mendapatkan nash yang berbunyi demikian. Jadi persoalannya ada dalam cara dan pendekatan menghapus system perbudakan.
Al-Qur’an perlahan menciptakan lingkungan yang bebas dari perbudakan. Dan penghapusan perbudakan ini dirasa berat melihat kepada kondisi yang telah berurat akar tadi.
       
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang ditentukan menurut kondisi sang budak, maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu. Tuannya tidak boleh menolaknya, seperti ditegaskan Al-Qur’an:
    •                     •                    •      
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (QS. Al-Nur: 33)
Dalam ayat ini, menurut Rahman , kita lagi-lagi dihadapkan pada situasi di mana logika yang jelas dari sikap Al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah. Kalimat “jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”, bila dipahami dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri dan berdikari, dan karenanya mungkin lebih baik ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapi sebaliknya, seorang budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta pemerdekaan dirinya dengan menebus segala syaratnya, maka tuannya harus memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an, pembahasan tentang perbudakan ini, bukan untuk melegalkan atau bahkan mempertahankan atau melestrarikan, namun justru untuk menghapuskan. Islam mengupayakan pembebasan yang sebenarnya bagi para budak, dari dalam dan dari luar. Dari dalam dengan jalan menyadarkan para budak, dari kedalaman sanubarinya, melalui keyakinannya bahwa ni'mat kebebasan itu sangatlah tinggi dan menggalakkan mereka agar mendapatkan kemerdekaan, sekalipun dengan pengorbanan yang berat dan mahal. Dari luar syariat Islam mengupayakan berbagai jalan untuk membebaskan budak, seperti yang tercermin dalam beberapa sarana berikut:
1. Memerdekakan budak karena mengharap Ridha Allah SWT dan mengharapkan surga-Nya.
Cara ini adalah pembebasan budak dari pihak tuannya atau pemilik budak yang mengharapkan pahala dan ganjaran di sisi Allah SWT dan terbebas dari api neraka. Dalam hal ini Islam sangat menggalakkan dan mendorong (targhib) para tuan agar memerdekakan budaknya. Sebagaimana firman-Nya:
       
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)
Di dalam nash-nash hadist Nabawi banyak kita dapati hadits yang menjelaskan keutamaan memerdekakan budak dan menggalakkan pembebasannya, diantaranya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أعتق نسمة مسلمة أو مؤمنة وقى الله بكل عضو منها عضوا منه من النار
“Dari Ali R.a, Rosulullah SAW bersabda: Siapa saja memerdekakan seorang budak mukmin maka Allah menjanjikan akan membebaskan dengan setiap anggota tubuh budak itu, setiap anggota tubuhnya dari api neraka". (HR Abu Dawud dan Nasa'i)
Juga sabda Rosul ini:
عن البراء أن أعرابيا قال لرسول الله علمني عملا يدخلني الجنة؟ قال: أعتق النسمة وفك الرقبة. قال: أوليستا بواحدة؟ قال: لا إن عتق الرقبة أن تفرد بعتقها، وفك الرقبة أن تعين في عتقها
"Dari al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Ada seseorang Arab Badui datang kepada Rosulullah SAW seraya berkata: Wahai Rosulullah, ajarilah aku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam sorga! Lalu Rosulullah SAW bersabda: "Merdekakanlah hamba sahaya dan lepaskanlah budak dari perbudakan". Orang Arab Badui itu bertanya: "Wahai Rosulullah tidakkah keduanya sama? "Rosulullah SAW menjawab: "Tidak, yang pertama berarti kamu sendiri yang memerdekakannya, sedangkan yang kedua berarti kamu membantu dalam memerdekakannya". (HR Imam Ahmad)
Hasil seruan syariat ini berdampak bagi kaum muslimin pada masa Rasul. Para sahabat bergegas memerdekakan para budak dengan ikhlas mengharap ridla dari Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan dengan memerdekakan beberapa budak yang berada di tangannya, kemudian teladan ini diikuti oleh para Sahabat. Abu Bakar ra telah menginfaqkan sejumlah hartanya untuk memerdekakan para budak dari tangan bangsawan Quraisy di Mekkah. Dan banyak sahabat lainnya yang berbuat serupa. Belum pernah ada dalam sejarah bangsa-bangsa terdahulu, terjadinya pembebasan budak secara besar-besaran, seperti di masa Islam.
2. Memerdekakan budak dengan kafarat
Kafarat merupakan sarana yang paling penting dalam memerdekakan budak. Al-Qur'an di dalam berbagai kesempatan menetapkan bahwa "memerdekakan budak" sebagai kafarat (penghapus) bagi beberapa pelangggaran syari'at dan dosa-dosa eksidental yang dilakukan oleh seorang muslim. Padahal pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam realitas kehidupannya sehari-hari sudah barang tentu tidak sedikit. Ini berarti Islam bersungguh-sungguh dalam memerdekakan budak sebanyak mungkin di dalam masyarakat Islam.
Diantara sarana pembebasan dengan kafarat sebagaimana disebutkan Al-Qur'an:
a. Orang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja) maka kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak dan membayar diyat kepada keluarganya.
b. Orang yang membunuh seorang dari kaum kafir yang sedang dalam perjanjian damai antara mereka dan kaum muslimin. Kafaratnya adalah memerdekakan budak.

     •      •                                                      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa : 92)
Suatu saat Al-Harts bin Yazid bin Nabisyah dari Bani ‘Amir bin Luaymenyiksa Iyasy bin Abi Rabi’ah bersama Abu Jahl. Kemudian dia keluar menuju Nabi SAW, dan bertemu dengan Iyasy. Lalu ia menghunuskan pedangnya, sedangkan ia mengira bahwa Iyasy itu orang kafir. Kemudian ia mendatangi Nabi dan menceritakan kejadian itu. Sehingga turunlah ayat tersebut.
c. Orang yang melanggar sumpah, maka kafarat-nya adalah diantaranya memerdekakan budak.
                                                  
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Al-Maidah: 89)


d. Orang yang men-zhihar istrinya kemudian bertaubat maka kafaratnya adalah memerdekakan budak.
                       
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Al-Mujadalah: 3
e. Orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja (tanpa udzur syar'i) maka kafaratnya memerdekakan seorang budak; sebagaimana disebutkan oleh hadist Rasul ini :
"Dari Abu Hurairoh berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkata: "Wah...Celaka aku ya Rosulullah. Lalu Nabi menanyakan: "Apa yang membuatmu celaka? Laki-laki itu menjawab: "Aku telah 'mengumpuli' istriku di bulan Ramadlan." Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Apakah ada padamu budak yang bisa engkau merdekakan?. "Dia menjawab: Tidak ada ya Rasul. Rosul bertanya lagi: "Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan penuh secara simultan? "Dia pun menjawab: "Aku tidak mampu ya Rosul:. Lalu Rosul pun bertanya: "Apakah kamu mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang?" Lagi-lagi lelaki itu menjawab tidak mampu. Akhirnya Rasul mengambil beberapa buah kurma dan menyuruh lelaki itu untuk menyedekahkannya kepada fakir miskin. lelaki itu kemudian berkata: "Adakah keluarga yang lebih fakir dariku di wilayah sini? "Maka Rosulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya, lalu kemudian berkata pada lelaki itu: "Pergilah engkau dan berikanlah kurma itu pada keluargamu."
3. Memerdekakan budak dengan Mukatabah.
Mukatabah ialah memberikan kemerdekaan bagi budak bila ia menuntutnya sendiri dengan imbalan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua pihak (tuan dan budak nya) dan akan ditunaikan oleh pihak budak secara berangsur; bila ia telah menunaikannya maka merdekalah sang budak tersebut.
    •                     •                    •       
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. QS An Nur : 33
Dalam ayat ini, salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.

وروى النسائي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ثلاثة كلهم حق على الله عز وجل عونهم المجاهد في سبيل الله والناكح الذي يريد العفاف والمكاتب الذي يريد الأداء).
Al-Nasa’I meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Ada tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah; yaitu orang yang berjuang di jalan Allah, ornag yang menikah karena ingin kesucian, dan orang yang membuat perjanjian untuk ditepati.
4. Memerdekakan dengan memberikan Zakat sebagai bagian dari mustahik zakat.
Bahkan dalam pembagian harta zakat, budak termasuk yang berhak mendapatkannya. Harta itu dapat digunakannnya untuk menebus dirinya dari perbudakan.
                        
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Taubah: 60.
5. Dengan menikahi budak.
                                                  
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Al-Nisa: 2-3
            •  •                            •     
          •                                                       
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Nisa: 24-25.
Imam Al-Suyuthi menceritakan bahwa Al-Thabrani telah meriwayatkan sebuah hadit dari Ibnu Abbas berkaitan dengan hadits ini, dia berkata: ayat ini turun pada saat perang Hunain dimana kaum muslimin mendapatkan tawanan wanita yang memiliki suami. Ketika mereka bermaksud menikahi wanita itu, mereka menjawab bahwa mereka memiliki suami. Lalu ditanyakanlah persoalan tersebut kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini (Al-Nisa:24).
Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu tentang wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi (muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam wanita yang dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali budak-budak yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka tafsiran ayat "illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah "Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi, walaupun masih dalam status punya suami.
Dalam banyak penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami namun dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan atau dijual oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan dan suaminya tidak tertahan, maka oleh sebagian ulama dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula, jika seorang budak wanita dijual oleh tuannya, sementara suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis pula terceraikan dari suami tersebut. Dengan demikian, jika seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini, jangan ragu (boleh) karena tidak lagi berstatus bersuami.
Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah, justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut. Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka". Artinya, konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan: "Fa mimmaa malakat aemaanukum min fatayaatikumul mu'minaat". Oleh departemen agama secara lugas dan transparan diterjemahkan: "ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah jelas, bahwa jika tak mampu menikahi wanita merdeka (biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga kehormatan lelaki tersebut, tidaklah apa-apa menikahi (mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan karena tidak mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh menggauli budak tanpa nikah.
PENUTUP
Kasus perbudakan sebenarnya tidak didukung oleh Al-Qur’an. Kesan seolah-olah Al-Qur’an melaglkan praktik perbudakan tidak lain hanyalah untuk menyesuaikan dengan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Arab saat itu. Islam datang bukan dalam ruang hampa. Islam datang di tengah berbagai budaya dan tradisi yang telah mengakar di lingkungan suku-suku yang fanatik. Tidak mungkin begitu datang, Islam langsung meruntuhkan segala tradisi yang dianut oleh masyarakat. Bila itu dilakukan, justru akan bertentangan dengan semangat penegakan moral dan peradaban yang dicanangkan Al-Qur’an sendiri. Caranya dikikis secara perlahan hingga dimungkinkan hilang sama sekali.
Maka segala bentuk perbudakan dalam kisah kehidupan hari ini pun harus dihapuskan. Karena tidak dipungkiri terjadi kasus-kasus perbudakan gaya baru, baik itu tertuju kepada perseorangan, bangsa, ataupun negara. Segala yang sifatnya mengekang, mengeksploitasi, dan menjajah, dapat dikategorikan sebagai perbudakan gaya baru.