tag:blogger.com,1999:blog-88685409917277902722023-11-15T05:09:45.107-08:00LASKAR BUDAYA DAN PEMIKIRANdesyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-62526952609980242162010-01-08T03:55:00.000-08:002010-01-08T03:59:42.735-08:00FORMAT DAN FORMATISASI TEKS KAJIAN ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS MAKKIY - MADANIY DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGAJARANOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Al-Qur’an hanya bisa dipahami secara mendalam setelah memandang berbagai seginya (Hadits). Dengan kata lain, Al-Qur’an menjadi wahyu yang harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya adalah memahami Al-Qur’an sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Sebagai teks bahasa, Al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bila Al-Qur’an sebagai bahasa, maka di dalamnya mesti terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain. <br />Teks pada dasarnya merupakan produk budaya. Teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun. Akan tetapi, bahwa teks merupakan budaya dalam konteks Al-Qur’an merupakan fase pembentukan dan kematangan, yaitu teks di mana teks setelah itu berubah menjadi teks yang hegemonik yang menjadi acuan dan landasan bagi teks-teks lain.<br />Perbedaan antara dua fase sejarah teks adalah perbedaan antara teks yang mempengaruhi dan mengubah budaya. Dengan demikian, dalam memahami Al-Qur’an harus disadari bahwa bahasa Al-Qur’an dibentuk dalam realitas budaya sehingga dapat menjadi solusi segala permasalahan masyarakat. Lalu sesuai dengan fungsi idealnya, yaitu rahmatan lil ’alamin dengan tidak mengenal ruang dan waktu.<br />Mengingat pembentukkan teks yang tidak terlepas dari konteksnya, dalam menafsir Al-Qur’an, analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab konsep ”wahyu” itu tidak akan dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan adanya hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Sesorang tidak mungkin memahami hanya dengan mengenal teks di luar realitas. Oleh karena itu, asbabunnuzul menjadi sangat penting digunakan untuk memahami suatu kondisi. Selain asbabunnuzul, untuk menentukan periodisasi ayat dan surat Al-Qur’an inilah kajian tentang Makkiy dan Madaniy menemukan momentumnya.<br />Perbedaan Makkiy dan madaniy dalam teks merupakan perbedaan antara dua fase penting yang memiliki andil dalam membentuk teks, baik tataran isi ataupun struktur. Dengan mempelajarinya kita akan memahami tahapan-tahapan sejarah pensyari’atan sebagaimana Allah mendahulukan ajaran-ajaran aqidah pada periode Makkah dan kemudian mengajarkan hukum-hukum dan syari’at-syari’at praksis pada periode Madinah.<br /><br />B. PENGERTIAN DAN BATASAN MAKKIY DAN MADANIY<br />a. Pengertian Makkiy - Madaniy<br />Ada beberapa definisi tentang Makkiy dan Madaniy yang diberikan ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk mengklasifikasikan Makkiy dan Madaniy sebuah surat atau ayat. Secara garis besar perbedaan itu dapat dikategorisasikan kepada tiga kelompok, yaitu:<br />1. Kategori tempat (makani); berarti Makkiy adalah surat atau ayat yang diturunkan di kota Makkah dan sekitarnya. Sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya.<br />2. Kategori waktu (zamani)’ berarti Makkiy adalah ayat atau surat yang turun sebelum hijrah (periode Makkah), sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang turun setelah amsa hijrah (periode Madinah)<br />3. Kategori obyek pewahyuan (mukhattab); berarti Makkiy adalah ayat-atau surat yang turunkan dengan mnyinggung orang-orang Makkah, sedang Madaniy adalah ayat-atau surat yang menginggung penduduk Madinah. <br />Menurut kebanyakan ulama, kategori yang kedua inilah agaknya yang lebih kuat. Kategori berdasarkan tempat dan obyek pewahyuan kurang hisa memuaskan karena tidak nisda diterapkan secara penuh pada seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, berbeda dengan kategori berdasarkan pada waktu yang mudah diaplikasikan untuk seluruh ayat-ayat Al-Qur’an. <br /> Adapun ayat-ayat Mekkah atau Madinah dapat diketahui dengan dua cara:<br />1. Naqly: Yaitu melalui informasi riwayat yang menjelaskan secara gamblang tentang penurunan ayat-ayat itu.<br />2. Qiyasi: Yaitu melalui proses-proses analogis, sesuai dengan karakter-karakter khusus yang ada pada ayat-ayat Mekkah atau Madinah. <br />Menurut Ibnu Zaid , kriteria klasifikasi, pada satu sisi, seharusnya didasarkan pada realitas, dan pada sisi lain didasarkan pada teks. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berkaitan dengan gerak realitas. Sementara didasarkan pada teks, apabila ditinjau dari kandungan dan strukturnya. Hal ini karena gerak teks dalam realitas berpengaruh di dalam pembentukkan teks dengan kedua sisinya; isi dan struktur.<br />Apabila kita perhatikan gerak realitas, maka kita harus menyadari bahwa peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat. Apabila fase dakwah Makkah nyaris terbatas pada batas-batas indzar/ tugas member peringatan, belum sapai menyentuh batas-batas risalah, kecuali hanya sedikit maka perpindahan ke Madinah mengubah wahyu menjadi risalah. Yang membedakan antara indzar dan risalah adalah bahwa indzar berkaitan dengan pergulatan (perubahan) konsep-konsep lama pada taraf kognitif dan terkit dengan seruan menuju konsep-konsep baru. Dengan demikian, indzar menggerakan kesadaran bahwa ada kerusakan dalam realitas, dan oleh karena itu harus diadakan perubahan. <br />Sementara risalah bertujuan membangun ideology masyarakat baru. Transformasi ini tidaklah mungkin terjadi secara tiba-tiba. Fase kedua ini dimulai secra nyata ketika Nabim –setelah sebagian orang muslim hijrah ke Habasyah- mengadakan pembicaraan dengan para utusan yang dating ke Makkah pada musim haji. Kemudian, beliau dibai’at oleh penduduk Yastrib (madinah) bahwa mereka akan membelanya sebagaimana mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri setelah mereka menerima Islam. Peristiw ini sebagai petanda terjadinya perubahan baru dalam sejarah dakwah, dan berarti juga perubahab dalam gerak teks.<br />Dari sudut pandang inilah Abu Zaid memandang bahwa criteria klasifikasi yang didasarkan pada realitas ini harus didasarkan pada asas pembedan antara dua fase ini. Dengan demikian Abu Zaid memilih kategorisasi berdasarkan pada zamaniy. Namun dengan keterbatasan –dan pasti tidak ada-, data naqliy dalam penentuan Makkiy dan Madaniy itu (yang bersifat ijtihadiyyah), maka para ulama membuat beberapa criteria yang berkaitan dengan kandungan teks (struktur dan isi) itu, sebagaimana akan dibahas di bawah ini.<br /><br />b. Ciri-ciri Khas Makkiy-Madany<br /> Para ulama telah meneliti surah-surah Makkiy dan Madaniy; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.<br /><br />Ketentuan Makkiy dan Ciri Khas Temanya<br /> Menurut Qaththan , Karakteristik Makkiy berdasarkan struktur/ketentuan dan isi/temanya adalah sebagai berikut:<br />1. Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makkiy.<br />2. Setiap surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makkiy. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.<br />3. Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makkiy, kecuali Surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiy.<br />4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.<br />5. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.<br />6. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makkiy, kecuali surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surah Ra’d masih diperselisihkan.<br />Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:<br />1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.<br />2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.<br />3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.<br />4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.<br /><br />Ketentuan Madaniy dan Ciri Khas Temanya<br />1. Setaip surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madaniy.<br />2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madaniy, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makkiy.<br />3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madaniy.<br />Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi cirri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:<br />1. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.<br />2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.<br />3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.<br />4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.<br />Namun juga, seluruh karakteristik/criteria ini tidak exhaustis (lengkap dan sempurna), sebagaimana yang disadari ulama kuno. Semua itu hanyalah karakteristik yang menonjol saja. Demikian pula, criteria “isi” juga tidak pasti entry point ala fiqhiyyah mengasumsikan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tajam yang dapat dibuktikan dalam membedakan antara yang Makkiy dan Madaniy. Untuk itu, criteria waktu harus tetap dioertimbangkan secara berbarengan dengan criteria teks tu sendiri, baik dari segi isi maupun strukturnya. <br /><br />c. Kronologis Surat-surat Makiyah dan Madaniy<br /> Sudah semenjak lama upaya penyusunan ayat-ayat Al-Quran oleh para ulama berdasarkan kronologi nuzulnya, sehingga disimpulkan bahwa surat-surat Al-Quran, baik yang termasuk Makiyah maupun Madaniy dengan merujuk kepada al-Naisaburi, dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase awal (al-marhalah al-ibtidaiyyah), fase pertengahan (al-marhalah al-mutasithah) dan fase akhir (al-marhalah al-khitamiyyah). <br /> Dalam diskursus kronologi Makiyah dan Madaniy ini, sebenarnya tidak terlalu sulit jika si peneliti selalu merujuk kepada sumber dan riwayat yang valid (shahih). Untuk menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Madaniy, misalnya relatif lebih mudah ketimbang menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Makiyah. Alasannya, Islam dapat berkembang pesat di sana dan para pemerhati Al-Quran mulai dari para pembaca, penghapal dan penulis serta penyalin Al-Quran semakin concern untuk meneliti dan mengamalkan ajaran yang dikandungnya.<br /> Berbeda dengan fase Makiyah, karena hanya sekelompok kecil saja orang-orang yang beriman, maka banyak dari mereka yang tidak termasuk orang-orang yang pertama menganut Islam (al-sabiqun al-awwalun) yang kesulitan mengetahui fase-fase dinuzulkan wahyu. Namun, masalah yang dianggap paling sulit adalah berhadapan dengan surat-surat yang masih diperselisihkan, termasuk surat-surat Makiyah atau surat-surat Madaniy. Bahkan, para ulama klasik seperti Ibn ‘Abbas, Qatadah dan Muhammad Ibn Basir masih berbeda pendapat dalam masalah penanggalan beberapa surat.<br /><br />Fase-fase dari Surat-surat Makiyah<br />1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)<br />Pada fase ini, surat-surat Al-Quran yang telah disepakati dinuzulkan di Mekah, diantaranya surat al-‘Alaq, surat al-Muddatsir, surat al-Takwir, surat al-A’lay, surat al-Layl, surat al-Insyirah, surat al-‘Adiyyat, surat al-Takatsur dan surat al-Najm.<br /> Surat al-‘Alaq, misalnya, merupakan surat Al-Quran yang pertama dinuzulkan. Surat ini mempunyai relevansi signifikan dengan pertemuan Nabi Muhammad dan Jibril di Gua Hira ketika beliau menerima wahyu pertama kali. Di awal surat dijelaskan tentang keharusan Nabi Muhammad berkomunikasi dengan Allah, mengingat beliau seorang yang ummi.<br /> Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kedudukan orang berilmu. Orang-orang yang dapat menguasai ilmu pengetahuan maka ia akan mengetahui rahasia alam semesta yang bermanfaat bagi kebahagiaan hidupnya. Untuk itulah, Allah memerintahkan manusia untuk belajar.<br /> Adapun surat al-Muddtsir dinuzulkan sesudah terjadi fatrah wahyu yang berisi seruan agar Nabi meninggalkan tempat tidurnya dan bersiap menjalankan tugas sebagai Rasul Allah. Disamping itu Nabi Muhammad diperintahkan untuk mensucikan dari perbuatan-perbuatan syirik dan dosa serta diperintahkan untuk senantiasa dalam kesabaran ketika ditimpakan ujian dan ikhlas dalam beramal.<br />2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)<br />Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat ‘Abasa, surat al-Qariah, surat al-Tin, surat al-Qiyamah, surat al-Murasalat, surat al-Balad dan surat al-Hijr.<br /> Surat al-Tin, misalnya, menggambarkan hakekat fitrah manusia dalam keadaan baik dan dalam keadaan menyimpang. Allah telah memuliakan manusia dengan seperangkat kemampuannya yang terdiri dari jasmani dan rohani. Namun, karena manusia lupa akan fitrahnya, maka akhirnya ia menyimpang dari ajaran Allah.<br />3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)<br />Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Dukhan, surat al-Zukhruf, surat al-Shaffat, surat al-Sajdah, surat Ibrahim, surat al-Kahf, dan surat al-Dzariyyat.<br /> Surat al-Shaffat, misalnya, mengemukakan beberapa hal yang bermacam-macam secara beruntun yang ada relevansinya antara satu dengan yang lainnya, yang semuanya menunjuk kearah pembinaan aqidah Islam yang bersih dari syirik.<br /> Setelah Allah bersumpah dengan para malaikat yang berbaris dilangit menghadap Allah, maka Dia menegaskan bahwa Allah itu Esa, baik zat-Nya maupun Af’al-Nya. Disamping itu, surat ini berisi juga bantahan keras terhadap sangkaan orang-orang Arab bahwa antara Allah dan jin ada hubungan kerabat, karena, menurut anggapan mereka, Allah mengawini jin perempuan kemudian melahirkan para malaikat. Para malaikat menurut mereka adalah puteri-puteri Allah. Untuk penjelasan selanjutnya dapat dilihat dalam Al-Quran surat bersangkutan.<br /><br />Fase-fase dari Surat Madaniy<br />1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)<br />Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Baqarah, surat al-Anfal, surat Ali ‘Imran, surat al-Ahzab, surat al-Mumtahannah, surat al-Nisa dan surat al-Hadid.<br />2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)<br />Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat Muhammad, surat al-Zukhruf, surat al-Thalaq, surat al-Hasyr, surat al-Nur, surat al-Munafiqun, dan surat al-Mujadalah dan surat al-Hujrat.<br />3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)<br />Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Tahrim, surat al-Zukhruf, surat al-Jum’ah, surat al-Maidah, surat al-Tawbah dan surat al-Nashr.<br />Dari sekian banyak surat-surat Al-Quran yang termasuk Madaniy, ada beberapa surat lagi yang masih diperselisihkan untuk dikategorikan sebagai surat Madaniy. Jumlah surat-surat itu tersebut ada 12 surat, diantaranya surat al-Fatihah, surat al-Ra’d, surat al-Rahman, surat al-Shaf, surat al-Taghabun, surat al-Tahfif, surat al-Qadr, surat al-Bayyinah, surat al-Zalzalah, surat al-Ikhlash, surat al-falaq, dan surat al-Nas.<br /> Salah satu analisis isi yang termasuk dalam kategori Madaniy adalah suat al-Anfal. Surat ini telah memuat pokok-pokok masalah yang terdapat pada sebagian besar surat-surat Madaniy dalam ketiga fase diatas, yaitu: (a) hukum-hukum syariat yang mengatur ibadah dan muamalah; (b) hukum-hukum syariat mengenai halal dan haram; (c) hukum-hukum syariat yang mengatur kehidupan pribadi, keluaga dan masyarakat (negara); (d) prinsip-prinsip syariat Islam yang mengatur pemerintahan, politik dan sosial ekonomi; (e) hukum damai dan hukum perang; (f) peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam peperangan; dan sebagainya. <br /> Diskursus al-Makiy dan al-Madaniy ini banyak diamati pula oleh para sarjana Barat, terutama kaum orientalis (al-mustasyriq) yang concern terhadap ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, Gustav Weil, Theodor Noldeke, William Muir, Hubert Grimme dan lain-lain.<br /><br />d. Kedudukan dan Kegunaan al-Makkiy wal-Madaniy<br /> Lepas dari perbedaan pendapat para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an tentang status ilmu al-makkiy wal-madaniy apakah dia sebagai ilmu sima’i atau ilmu ijtihadi, yang pasti ilmu ini memiliki kedudukan penting dan strategis serta sekaligus mempunyai nilai guna yang sangat berarti dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu al-makkiy wal-madaniy mempunyai kedudukan yang signifikan bagi mufassir, paling sedikit sebagai ilmu penopang/pendukung atau ilmu bantu. Bahkan, bagi mufassirin yang mengikuti keberadaan konsep nasakh mansukh dalam al-Qur’an, hampir dapat dipastikan harus menjadikan ilmu al-makkiy wal-madaniy sebagai salah satu perangkat bagi mereka. Sebab, seperti diketahui umum, diantara prasyarat nasikh-mansukh ialah bahwa ayat mansukhah (yang di nasakh) harus diturunkan lebih dulu dari pada ayat yang me-nasakh (nasikhakh). Demikian pula ketika dihubungkan dengan penafsiran ayat-ayat ‘am dengan ayat-ayat khash dan lain-lain yang sejenis.<br /> Itulah sebabnya mengapa ada diantara ulama tafsir yang memandang eksistensi ilmu al-makkiy wal-madaniy jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan ilmu sebab nuzul misalnya. Di antara alasannya, kata mereka, mengingat ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul. Ilmu al-makkiy wal-madaniy, ujar Subhi as-Shalih, jauh lebih luas dan bersifat menyeluruh dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul yang bersifat partikel (juz’i).<br /> Alasan lain yang juga layak dikemukakan ialah bahwa penggolongan ilmu asbabin-nuzul kedalam ilmu-ilmu riwayat yang dengan demikian maka sifatnya menjadi terbatas; sedangkan ilmu al-makkiy wal-madaniy bisa juga digolongkan kedalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi di samping ada juga yang lebih tepat digolongkan ke dalam lingkungan ilmu-ilmu sima’i (riwayat).<br /> Berkenaan dengan kelebihan ilmu al-makkiy wal-madaniy, Abu Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi misalnya mengungkapkan demikian: “Di antara tanda dari kebesaran ilmu-ilmu al-Qur’an ialah ilmu tentang turunnya, ilmu tentang berbagai seginya, serta ilmu tentang tertib turunnya di Makkah pada saat permulaan, pertengahan dan penghabisan; demikian pula ketika di Madinah pada saat permulaan, pertengahan dan masa-masa akhirnya…” yang mengisyaratkan keluasan ruang lingkup jangkauan ilmu al-makkiy wal-madaniy.<br /> Adapun mengenai faedah (kegunaan) mempelajari ilmu al-makkiy wal-madaniy, terdapat rumusan yang bervariasi di kalangan ahli-ahli ilmu al-Qur’an. Yang terpenting daripadanya ialah:<br />1. Ilmu al-makkiy wal-madaniy sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi klasifikasi berbagai periwayatan, pembenaran teks-teks (an-mushush) dan pembelaan terhadap penelusuran kebenaran sejarah. Itulah sebabnya mengapa dalam banyak atau bahkan hampir dalam keseluruhannya ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih dibutuhkan daripada ilmu asbabin-nuzul yang pernah dijelaskan sebelum ini.<br />2. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seorang mufassir dan atau yang lainnya dapat mengenali dan sekaligus menelusuri jejak (napak tilas) rangkaian fase-fase dakwah Islamiyah dari awal hingga akhir dan sekaligus akan memperoleh inspirasi dalam memunculkan cara-cara yang prima dalam membangun sistem berfikir keislaman.<br />3. Dengan mengenali ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang mampu menghayati proses turunnya al-Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat, dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu serta dari kelompok sosial yang satu kepada kelompok sosial yang lain. Ilmu al-makkiy wal-madaniy laksana cuplikan miniatur dan lorong-lorong potret al-Qur’an yang proses turunnya seakan-akan baru saja kita saksikan.<br />4. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, kita dapat mengetahui pensyari’atan hukum Islam (tasyri’ul-islami) dan perkembangannya yang bijaksana serta bersifat umum. Dengan demikian, kita dapat meningkakan keyakinan akan penyebaran Islam termasuk hukum yang ada di dalamnya – yang demikian bijaksana dalam mendidik umat manusia baik secara perorangan maupun kolektif.<br />5. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang dapat mengetahui sejarah perjalanan Nabi Muhammad Saw dari celah-celah ayat-ayat al-Qur’an. Turunnya al-Qur’an yang demikian rapi, teratur dan dilakukan secara bertahap namun juga tuntas dapat dijadikan landasan dalam menapak tilas sejauh perjalanan dan sepak terjang perjuangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.<br />6. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, umat Islam dapat meningkatkan keyakinan akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian (originalitas) al-Qur’an; mengingat betapa besar perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an sejak di masa-masa awal penurunannya sampai perkembangan berikutnya; dan sejak dari masalah-masalah besar sampai dengan masalah-masalah yang sekecil-kecilnya. Pendeknya, apa pun yang berhubungan dengan al-Qur’an, mereka bahas dengan tidak henti-hentinya.<br />7. Bagi para ulama yang menerima konsep nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, ilmu al-makkiy wal-madaniy dianggap memiliki peran penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja teori tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam al-Qur’an ada juga ulama yang mengingkarinya.<br />8. Ilmu al-makkiy wal-madaniy dapat menghindarkan atau sekurang-kurangnya memperkecil (meminimalisir) seseorang dari kemungkinan salah dalam menafsirkan al-Qur’an. <br />Kegunaan kedelapan inilah agaknya yang paling urgen dari keberadaan ilmu al-makkiy wal-madaniy, dalam kancah penafsiran al-Qur’an. Betapa banyak orang yang kurang tepat atau malahan salah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hanya karena tidak mengetahui ilmu al-makkiy wal-madaniy. Sebagai ilustrasi, tidak jarang orang mengesankan Islam dan umatnya sebagai orang atau ajaran yang berpenampilan lembut dan bahkan lembek hanya karena mengacu kepada ayat; Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai (pembawa) rahmat bagi semua orang. (Al-Anbiya’ (21):107).<br /> Bahwa Nabi Muhammad Saw pembawa rahmat, sehingga dengan demikian beliau demikian santun kepada siapapun termasuk kepada musuh, itu tidak perlu diragukan lagi. Dan penafsiran ini betul adanya. Tetapi tidak berarti sikap santun dan kasih sayang yang dimiliki serta diajarkan Nabi kepada umatnya itu tanpa batas sehingga mengesankan umat Islam identik dengan lembek dan loyo ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya. Selain karena ayat diatas (al-Anbiya (21):107) tergolong kedalam kelompok surat dan ayat makkiyah, juga terlalu banyak ayat yang terpaksa mewajibkan umat Islam bersikap tegas dan jika perlu bahkan harus konfrontatif melalui peperangan sekalipun. Perhatikan misalnya ayat 216 surat al-Baqarah (2) dan sejumlah ayat senada lainnya baik dalam surat al-Baqarah maupun surat-surat lainnya.<br /> Jika kelompok surat makkiyah dan surat madaniy ini disampaikan secara benar, adil dan berimbang bahkan saling melengkapi, maka niscaya ghirah umat Islam terhadap agamanya pada satu misi akan tetap continue dan lestari; sebaliknya, pada sisi yang lain juga tidak akan lahir orang-orang ekstrim yang tidak memberi tempat dan kebebasan bagi orang-orang yang berlainan agama. Di sinilah antara lain terletak arti penting dari kemampuan seseorang mufassir menguasai ilmu al-makkiy walmadaniy dalam menafsirkan al-Quran.<br /> Atas dasar ini maka penafsiran al-Qur’an yang bersifat holistik itu sangat perlu memperhatikan keserasian dan keselarasan antara ayat yang satu dengan ayat lain, baik di dalam surat yang berbeda dan lebih-lebih dalam surat yang sama. Guna mewujudkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara serasi dan selaras ini sudah tentu seseorang memerlukan pengetahuan tentang ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok surat dan ayat makkiyah serta mengetahui surat dan ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok madaniy.<br /><br />C. IMPLIKASI ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS KAJIAN MAKKIY - MADANIY DALAM PENGAJARAN <br />Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga, umat Islam sangat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respon manusia; tetapi, diatas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat turunnya Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu, tempat, ataupun pentahapannya. <br />Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode pengajaran-dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas’ud r.a.:“Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.“ <br />Syari’at diturunkan secara bertahap mengandung pengertian bahwa syari’at itu bersifat realistis, mengarahkan dan membantu manusia secar bertahap dan sedikit demi sedikit untuk melepaskan diri dari kejahiliyahan dan adat istiadat yang telah mengakar, dan untuk menjadikan Islam dan nilai-nilai moral tinggi sebagai karakter utama. Semangat ini tepat sekali diterapkan pada setiap proses pendidikan. Pendidikan dan pengajaran harus dilakukan bertahap dan disertai dengan metode dan pola pengajaran yang sesuai dengan kondisi objeknya.<br />Dalam teori dakwah, tingkatan peradaban masyarakat biasanya menjadikan pokok pangkal penentuan strategi dakwah. Artinya masalah tingkat peradaban suatu masyarakat dijadikan perhatian yang pertama kali sebelum meperhatikan hal-hal yang lain. <br />Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannnya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.<br />Surat-surat dalam Al-Qur’an, baik yang termasuk Makiyyah maupun Madaniyyah memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi topik pembicaraannya, susunan kalimat-kalimatnya maupun isi yang kandung masing-masing surat tersebut. Ciri-ciri khas tersebut telah memberikan ilustrasi tentang berbagai langkah bijaksana yang telah direkayasa Allah dalam rangka implementasi dakwah. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataannya, bahwa metode dakwah bagi penduduk Mekkah berbeda dengan metode dakwah untuk penduduk Madinah.<br /> Sehubungan dengan sasaran (khithab) dakwah Nabi ini, maka Ahmad ‘Adil Kamal dalam bukunya, ulum Al-Qur’an, menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad berada di Mekkah, beliau menghadapi kaum Musyrikun dan kaum Pagan serta orang-orang pengingkar agama yang senantiasa militan terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, isi kandungan Al-Qur’an, pada umumnya, berisi mengetuk hati mereka, bahkan bernada keras dan tegas untuk menunjukkan kebodohan mereka.<br /> Berbeda dengan di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi empat golongan besar, yaitu al-Muhajirun (kaum pendatang), al-Anshar (kaum pribumi), Yahudi dan Munafiqun. Pada umumnya ayat-ayat itu berisi penegasan tentang ajaran-ajaran Allah sebagaimana yang telah diperolehnya. Dari kenyataan yang dihadapi Nabi ini, maka tidak heran jika ayat-ayat Makiyyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyyah. <br /> Mengenai kondisi sosio-historis Makkiy dan Madaniy ini, Al-Qaththan pun menjelaskan bahwa pada zaman jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan: <br />“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?” (Ash-Shaffat [37]:16)<br />“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (A-Jasiyah [45]:24).<br /> Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makkiy juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka yang ada didalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam Qur’an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.<br /> Demikianlah, akan kita lihat Qur’an Surah Makkiy itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam Surah Qari’ah, Gasyiah dan Waqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyah pada permulaan Surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Qur’an Surah Makkiy.<br /> Setelah terbentuk jemaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta aqidahnya telah diuji dalam berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi – maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar-bangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan Ahli Kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Qur’an yang Madaniy.desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-84969416644253599922010-01-06T08:38:00.000-08:002010-01-06T08:39:30.443-08:00PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAMOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Membicarakan kembali perkembangan pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam menarik untuk dicermati. Perkembangan ini sangat berpengaruh kepada tatanan peradaban pemikiran dan gerakan umat Islam yang senantiasa fluktuatif. Sehingga timbullah semacam pergeseran-pergeseran pemikiran dan gerakan di dunia Islam. Dari rentetan sejarah, kita mengenal beberapa fase perkembangan maju-mundurnya umat Islam. Nasution membagi sejarah Islam secara garis besar kepada tiga periode besar; klasik, pertengahan, dan modern.<br />Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman keemasan dan dibagi kepada dua fase. Pertama; fase ekspansi, integarasi, dan puncak kemajuan (650-1250 M). Di zaman inilah daerah-daerah meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncaknya ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non-agama, dan kebudayaan Islam. kedua; fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa ini kebutuhan umat Islam, dalam bidang politik mulai pecah, kekusaan khalifah menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di tahun 258 M. Khalifah, sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang.<br />Periode pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi kepada dua fase. Pertama; fase kemunduran (1250-1500 M), ditandai dengan desentralisasi dan disintegrasi yang kian bertambah, kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab, dan pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu . Kedua; fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M), yaitu kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Zaman kemajuan ditandai dengan kejayaan-kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Kemajuannya lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang sekali. Di zaman kemunduran, Kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Syafawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedang daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja india.<br />Periode Modern (1800-seterusnya) merupakan zaman kebangkitan Islam. Periode ini ditandai dengan semaraknya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Selanjutnya akan dikupas pada pembahasan selanjutnya; mulai dari awal kemunculannya, tokoh-tokoh dan daerah yang mempeloporinya, dasar-dasar-dasar pemikirannya, dan perkembangannya pada masa sekarang ini.<br />Untuk mengantarkan catatan ini, perlu kiranya difahami terlebih dahulu sebuah asumsi yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyyah tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban kultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu perubahan. Apalagi, dilihat dari pandangan ajaran Islam sendiri perubahan adalah sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasimanusia dan alam raya scara keseluruhan. Inilah yang memungkinkan dalam aktualisasinya, Islam selalu melakukan pembaruan-pembaruan. Jika pembaharuan difahami sebagai aktualisasi Islam baik dalam pemikiran maupun dalam perkembangan sosial, maka sesungguhnya ia telah hadir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri.<br /><br />B. LAHIRNYA PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM<br />Jika dirunut dari sejarah, munculnya pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Sadjali menyebut tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran (politik) Islam kontemporer, yang mutlak muncul pada waktu menjelang akhir abad XIX M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau poenjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.<br />Pada abad XVIII kekuasaan, wibawa, dan kemakmuran tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India berangsur mundur dan menurun, yang disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas masing-masing pemerintah pusat dan munculnya penguasa-penguasa semi otonom di berbagai daerah dan provinsi negara-negara tersebut, disertai dengan dislokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa, atau karena kalah perang, serta kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat, terutama para penguasa. <br />Selain itu, gerakan modern itu pun lahir dari pertemuan Islam dengan peradaban Barat yang sedang berlangsung . Sebab, baik faktor sejarah maupun geografis menunjukkan bahwa Islam dan barat senantiasa berhubungan erat, baik berupa hubungan persentuhan maupun konflik antar kedua peradaban.<br />Pengaruh Barat adalah gerakan dahsyat yang terjadi dalam proses transformasi modern dunia Timur . Kalangan muslim tertentu menganggap bahwa pengaruh Barat atau Eropa atas dunia Islam bermula dengan pecahnya perang Salib. Hingga taraf tertentu, pandangan ini dapat dibenarkan. Akan tetapi, pengaruh modern utama baru muncul setelah ekspansi Eropa melintasi samudera yang dimulai pada abad ke-15 dan didorong oleh faktor-faktor yang berbeda. Bagi dunia Islam, pengaruh Barat secara efektif bermula pada 1498 ketika Vasco Da Gama membuka jalan laut ke india melalui Tanjung Pengharapan, dan mulai melakukan perniagaan ke Afrika Timur, Anak Benua India, India Timur (Asia Tenggara, termasuk Indonesia), dan Timur Jauh . Perniagaan ini mengawali keterlibatan politik. Pertama-tama dilakukan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, kemudian bala tentara Eropa dikirim untuk melindungi pos-pos perniagaan, lalu campur tangan lebih jauh dilakukan, dan akhirnya merebaklah kolonialisme di berbagai kawasan. Salah satu akibat penting proses ini adalah kebanyakan bagian dunia Islam tergabung ke dalam sistem ekonomi global (Eropa atau Barat). Pada akhirnya hal tersebut, dalam kasus-kasus tertentu, bermakna bahwa kaum muslimin berfungsi sebagai penyandang bahan mentah untuk Eropa dan menerima barang-barang pabrik sebagai imbalannya. <br />Selanjutnya, Boisard menggambarkan bahwa dalam bidang sejarah politik, nasib Islam semenjak abad ke-16 ditentukan oleh sikap-sikap Eropa. Orang-orang Portugis dan Belanda telah membelokkannya dengan memakai jalan-jalan maritim baru. Inggris dan Prancis memasuki daerah-daerah Islam. Rusia memotong daerah-daerah Timur dari badannya. Di daerah Balkan, pada jalan menuju ke Asia dan tempat-tempat infiltrasi di Afrika, imperialisme Eropa berhadapan muka dengan Islam, dengan menundukkannya atau mengepungnya. Lalu, kehidupan beragama menderita karena keadaan tersebut. Jiwa keagamaan formalis yang condong kepada kefanatikkan dan, kehidupan mistik yang tidak sehat kemudian menyuburkan takhayul dan mencekik sifat original Islam yang kreatif. Orang lebih mengutamakan unsur-unsur kebudayaan tradisional lebih daripada mengadakan riset khususnya yang bersifat ilmiah. Iman menjadi terdesak dalam ortodoksi sempit yang dapat menjaga nilai-nilai agama tidak ternoda, akan tetapi ortodoksi ternyata kurang mampu untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dapat membawa Islam kepada zaman kemajuan yang aktif. Maka pandangan Islam tentang dunia menjadi sempit. Islam jatuh dalam stagnasi yang sangat tenang, sehingga serbuan-serbuan Barat pada abad ke-19 membawanya kepada keadaan morat-marit.<br />Sementara itu, sejak abad XIX M, dunia Islam harus mengakui bahwa dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi, negara-negara Barat lebih unggul daripada dunia Islam. Dan kalau dunia Islam ingin bangun kembali, harus belajar dari Barat. Jatuhnya Mesir dengan kedatangan Napoleon Bonaparte (Perancis) di lembah sungai Nil menginsafkan dunia Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka=pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Dengan ini, memaksa umat Islam untuk menentukan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa.<br />Penjajahan menimbulkan rasa harga diri yang diremehkan lalu menjelma menjadi usaha untuk kebangkitan keagamaan, kebudayaan dan politik. Suatu usaha yang diberi semangat oleh kenyataan bahwa ia menghadapi bentrokkan dengan kepentingan kaum penjajah dari Eropa. Dengan melakukan usaha-usaha anti kolonial, bangsa Arab muncul kembali dalam sejarah Islam. <br />Namun, di antara umat Islam memang berbeda pandangan dalam menyikapi Barat, ada yang menolak mentah-mentah pemikiran Barat, ada yang akomodatif dalam pengertian menyeleksi pemikiran Barat yang dapat diterima di lingkungan umat Islam, dan ada yang sama sekali menerima seutuhnya pemikiran Barat itu. Al-Jabiri membagi pandangan umat Islam terhadap modernitas Barat menjadi tiga kelompok, yaitu modernis (ashraniyyun, hadatsiyun), tradisionalis atau salafi, dan kaum elektis (tadzabdzub).<br />Yang pertama menganjurkan adopsi modernitas Barat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai model yang secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban modern untuk masa kini dan masa depan. Sikap kaum salafi sebaliknya berupaya mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang terakhir (kaum elektik) berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik, baik yang terdapat dalam model Barat modern maupun dalam Islam masa lau, serta mempersatukan diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut.<br /> <br />C. PEMIKIRAN DAN GERAKAN PRA-MODERN DI DUNIA ISLAM<br />Geliat pemikiran dan gerakan modern sudah dimulai pada periode pertengahan, sebagaimana dipetakan oleh Nasution. Ada tiga fenomena menarik yang terjadi sebagaimana di bawah ini.<br />Kerajaan Usmani (Turki)<br />Di abad ketujuh belas kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Diantaranya adalah kekelahan dalam upaya penguasaan Wina pada tahun 1683, dan perjanjian Carlowitz yang ditandatangani tahun 1699, membuat kerajaan Usmani terpaksa menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia dan Azov kepada Rusia.<br />Kekalahan-kekalahan serupa ini mendorong Raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan Eropa terutama kemajuan di Perancis, baik dalam hal pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi Perancis. Demikian pula dalam hal kemiliteran dan non-militer. Tersebutlah Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M) yang pertama menghasilkan pembukaan percetakan di Istambul, yang mencetak buku-buku yang sangat beragam termasuk tentnag kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan sebagainya. Ibrahim pun pandai mengarang berbagai buku cabang ilmu pengetahuan. Pada masa itupun dibentuklah suatu badan penterjemah untuk menerjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Turki.<br />Namun usaha ini tidak membuahkan hasil yang signifikan karena beberapa faktor. Diantaranya adalah munculnya sultan-sultan yang lemah, dan keuangan negara yang kian melemah sehingga belanja yang diperlukan untuk pembaharuan jauh dari cukup. Selain itu terdapat penentangan keras dari beberapa golongan yang terkenal di masyarakat. Diantaranya adalah Yeniseri (tentara baru) dan kaum ulama tradisional, terutama terkait ide demokrasi.<br />India<br />Diawali dengan pecahnya perang saudara pada kerajaan Mughal, lalu timbullah gerakan (Hindu) yang ingin memisahkan diri dari kerajaan. Demikian pula dimulainya upaya pihak inggris untuk memperbesar usaha demi memperoleh daerah-daerah kekuasaan. Dari sinilah munculnya kesadaran para pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam. Salah satunya adalah Syah Waliullah (1703-1762 M).<br />Beliau memandang bahwa diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Kemudian besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat jelata membuat umat Islam lemah, apalagi pajak yang terima tidak dipergunakan untuk kepentingan rakyatnya tetapi untuk membelanjai hidup mewah dari kaum bangsawan pengangguran. Untuk itu beliau berpendapat bahwa sistem pemerintahan pada zaman khulafa ar-Rasyidin perlu dihidupkan kembali.<br />Selain itu, kelemahan umat Islam disebabkab oleh perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam, sehingga perlu didamaikan. Juga, masuknya adat-istiadat dan ajaran-ajaran yang bukan Islam ke dalam keyakinan umat Islam, sehingga harus dibersihkan dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Demikian pula dengan taklid. Ia melihat bahwa masyarakat bersifat dinamis. Penafsiran yang sesuai untuk suatu zaman belum tentu sesuai dengan zaman sesudahnya. Oleh sebab itu, ia menentang taklid dan menganjurkan pengadaan ijtihad. Ia membedakan antara Islam universal dan Islam lokal. Dan berpegang kepada ajaran-ajaran yang universal-lah yang membuat Islam bersifat dinamis. Pada masa inipun dibuka kran penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia agar dapat difahami kandungan ayatnya.<br />Arabia<br />Pada saat itu, di Arabia timbul pula satu aliran, yaitu aliran Wahabiah yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad kesembilanbelas. Pembinanya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejd di Arabia. Pemikiran yang dicetuskannya untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di kerajaan Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian faham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ketigabelas memang tersebar luas di dunia Islam. Diantaranya adalah pemujaan atau naik di kuburan para wali, memohon di atas kuburannya, atau memuja dan memohon kepada bebatuan dan sebagainya. Menurut faham Abdul Wahhab, keyakinan seperti ini merupakan syirik atau politeisme.<br />Gerakan Wahhabi dikelompokkan sebagai pembaharuan revivalis pra-modern yang dipandang sebagai denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemerosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya. Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah sangat berpengaruh terhadap orang-orang yang berusaha membangkitkan kembali Islam pada zaman modern. Walaupun, tidak sepenuhnya duplikat dari pemikiran ibnu Taimiyah. <br />Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahhab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilabelas adalah:<br />1. Hanya Al-Qur’an dan hadits lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.<br />2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.<br />3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.<br />Dalam aspek idealnya, dalam perlawanannya terhadap kerancuan monoteisme yang timbul karena masuknya ibadah-ibadah animistik dan ajaran ajaran panteistik, faham wahhabi berhasil menampilkan gagasan pembaharuan, yang sedikit demi sedikit tersebar ke seluruh dunia Islam. Selanjutnya, faham wahhabi ini bergeser oleh karena aspek teokratik revolusionernya. Ia menampilkan sebuah model pergolakan menentang pemerintah Islam ”murtad”, dan modelnya itu secara lebih hebat diikuti di negara-negara lain pada saat pemerintah-pemerintahnya semakin jatuh ke dalam pengaruh dan kekuasaan bangsa-bangsa Eropa. <br />Demikian gejolak awal pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam. Menurut Nasution dan Azra , pada intinya semua gerakan pembaharuan pra-modernis memperlihatkan ciri-ciri umum berikut ini:<br />1. Suatu keprihatinan yang mendalam dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim;<br />2. Suatu himbauan untuk kembali ke Islam orsinil, menanggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas madzhab-madzhab humum tradisional, dan berusaha melaksanakan ijtihad, yaitu merenuingkan kembali bagi dirinya sendiri makna pesan orsinil itu;<br />3. Suatu himbauan untuk membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang kodrat takdir yang dihasilkan agama rakyat, tetapi juga secara material disumbangkan oleh teologi asy’ariyah yang pengaruhnya ada di mana-mana;<br />4. Suatu himbauan untuk melaksanakan pembaharuan Revivalis ini melalui mkekuatan bersenjata (jihad) jika perlu.<br /><br />D. DASAR-DASAR PEMiKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM<br />Kekecewaan terhadap dunia Barat melahirkan perubahan sikap yang cukup berarti bagi dunia Islam secara keseluruhan. Ketika pertama kali kaum muslimin mulai bereaksi terhadap dominasi Barat, selama zaman kolonial, timbul dua kecenderungan yang berbeda. Di beberapa kalangan terdapat keinginan untuk menyerap semua yang dianggap baik dari Barat, termasuk gagasan-gagasan politisnya, tatanan ekonominya, system pemdidikan, dan teknologinya, sambil tetap memelihara dan melestarikan Islam terutama dalam bentuk ritual dan kaidah-kaidah perilaku personal. Demikian juga ada yang bersikap bahwa gagasan-gagasan dan tradisi utama Barat memang telah dimiliki oleh Islam. Demokrasi, sains, sosalisme, dan penalaran merupakan bagian dar Islam. Oleh karena itu peniruan dari Barat tidak perlu dipermasalahkan Sehingga ada kecenderungan dari para intelektual Islam untuk mengambil kembali peradaban Islam yang dulu pernah berjaya yang telah diambil oleh Barat. <br />Inilah yang kemudian dikembangkan oleh Muhammad Abduh. Ia menegaskan bahwa akal budi dan rasionalitas yang dikenal dalam tradisi intelektual Barat sangat dihargai dalam Islam. Yang dibutuhkan adalah penafsiran mengenai Islam yang sesuai dengan gagasan dan cara hidup yang berasal dari Barat. Dengan begitu, umat Islam dapat bersaing melampaui gagasan-gagasan yang timbul dari Barat.<br />Bagaimanapun, respons umat Islam terhadap peradaban Barat menghasilkan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaharuan. Sejak kahir abad ke-19 setelah wafatnya Jamaluddin Al-Afghani, pada masa giat-giatnya Muhammad Abduh melancarkan gerakan reformasinya, pemikiran Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu:<br />Pertama, pemikiran yang cenderung kepada mobilisasi rohani dan reformasi keagamaan. Caranya, dengan menerangkan agama Islam sejelas-jelasnya dan berusaha menjadikan Islam sebagai dasar pendidikan Nasional. Jalan yang dipempuh yakni perbaikan Al-Azhar dan menghidupkan kembali buku-buku lama. Yang mawakili arah pemikiran ini justru sekolah salafiyyah yang menerbitkan majalah Al-Manar setelah meninggalnya Muhammad Abduh.<br />Kedua, pemikiran yang cenderung kepda mobilisasi persaaan Nasional pada jiwa generasi muda. Caranya melalui pers, perkumpulan umum, dan pendirian universitas Mesir yang diusahakan oleh Mustafa Kamil. <br />Dari lingkungan universitas itu, dan dari arah politik Nasional yang dianggap sama dengan arah reformasi keagamaan, karena sama-sama menentang imperialisme, lahirlah kelompok pembaharuan atu yang lebih tepat disebut pemikiran Islam yang kebarat-Baratan (westernized). Inilah mungkin yang dimaksudkan oleh Budi Hardiman bahwa modernisasi adalah westernisasi. <br />Gerakan-gerakan pembaharuan di lingkungan umat Islam, terutama sebelum abad ke-20, jika diamati memiliki kesamaan-kesamaan dasar, yakni:<br />Pertama, gerakan-gerakan itu datang dari masyarakat Islam dan terutama didorong oleh ajaran-ajaran Islam sendiri, jadi bukan karena sentuhan dan desakan Barat seperti dimengerti oleh sementara orang.<br />Kedua, gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas muslim dalam pergumulan social di dunia konkrit. Sufisme dianggap sebagai sebab terbesar mengapa masyarakat Islam menjadi mandeg, beku, statis, dan kehilangan kreatifitas.<br />Ketiga, hampir semua gerakan pembaharuan menekankan mutlak perlunya rekonstruksi sosio-moral dan sosio-etnik masyarakat Islam, agar sesuai atau paling tidak lebih mendekati Islam ideal. Islam histories, yakni Islam dalam praktik, harus ditransformasi menjadi Islam ideal.<br />Keempat, semua gerakan pembaharuan Islam mengobarkan semangat ijtihad, yaitu menggunakan akal fikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama Al-Qur’an dan Al-Hadits.<br />Kelima, pada umumnya gerakan-gerakan pembaharuan itu juga menggarisbawahi pentingnya jihad untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. <br />Untuk pengkajian yang lebih mendalam, kita coba mendeskripsikan lebih lanjut perkembangan dan gerakan modern di tiga wilayah sentral pemikiran dan gerakan, yaitu Mesir, Turki, dan India-Pakistan.<br /><br />E. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI MESIR<br />Sebagaimana telah disebutkan bahwa masuknya kekuasaan Perancis dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke lembah sungai Nil telah memaksa umat Islam untuk menetapkan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa. Kedatangan Bonaparte ke Mesir selain untuk kepentingan penguasaan atas negara Perancis, Mesir dianggap perlu untuk memasarkan produk perindustrian Perancis. Di samping itu, ekspedisipun dilakukan untuk keperluan ilmiah. Sehingga didirikanlah lembaga ilmiah yang dikenal dengan nama Institut de ’egypte.<br />Disamping kemajuan materi, Napoleon membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Perancis, diantaranya adalah sistem pemerintahan republik yang dalamnya kepoala negara dipilih ntuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dan dapat dijatuhkan oleh parlemen. Selain itu, tersosialisasikanlah ide persamaan dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam pemerintahan, dan ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang perancis merupakan suatu bangsa dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukus. Disini, dibedakan mana umat dengan bangsa. <br />Dengan begitu, bagaimanapun ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka. Dari situ muncullah pemikiran dan gerakan pembaharuan yang dimulai dari tokoh-tokoh utamanya, diantaranya adalah Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Dan Muhammad Rasyid Ridha, serta murid dan pengikut Muhammad Abduh lainnya.<br />Tahtawi berpandangan bahwa pemerintah yang baik lah yang dapat memajukan ekonomi. Dan salah satu jalan untuk kesejahteraan ialah berpegang teguh kepada agama dan budi pekerti yang baik. Mengenai fatalisme, ia mencela orang Paris karena mereka tidak percaya pada qadla dan qadar, padahal yang benar menurutnya adalah orang harus percaya pada qadla dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu ia harus berusaha. <br />Dalam bidang pendidikan, Tahtawi sebagai salah satu syaikh Al-Azhar membuka alkademi bahasa-bahasa dan menterjemahkan konstitusi dan hukum perdata Perancis ke dalam bahasa Arab. Barangkali ia juga yang pertama kali mmenyatakan bahwa kaum muslimin mesti mempelajari semua sains-sains moder, karena orang Eropa telah mengembangkannya sesudah meminjam dari kaum muslimin sendiri. <br />Di samping itu muncul Jamaluddin Al-Afghani yang membawakan inspirasi dan dan program populer gerakan pan-Islamisme dengan menegaskan kembali landasan-landasan umat Islam dalam pengertian Nasionalisme. Dalam pengertian yang luas, pan-Islamisme adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Ia menyerang lembaga-lembaga yang ada, megnajurkan kembali kepada persaudaraan Islam orisinil serta melontarkan kritik pedas terhadap materialisme Barat dan apatis dari kaum Muslimin. Menurutnya, persatuan ideologi dan politik Dunia Islam adalah satu-satunya benteng yang dapat bertahan melawan imperialisme Eropa. <br />Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Untuk itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka. Jadi kemunduran umat Islam disebabkan umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam. <br />Murid Al-Afghani yang paling menonjol adalah Muhammad Abduh yang mendasarkan pemiukirannya atas dua postulat pokok, yaitu pertama peran agama yang nperlu secara muthlak bagi mkehidupan manusia dan sebagai terusannya, keistimewaan yang tiodak dapat disangkal lagi tentang wahyu Al-Qur’an. Dan kedua perlunya menggunakan dan mengasimilasikan bagian yang terbaik dalam pengetahuan Barat. Karena Islam sesuai dengan akal, maka Islam tak akan mengahadapi konflik dengan kemajuan. Akan tetapi penggunaan akal dalam paparannya secara menyeluruh berada dalam tradisi Islam, bukan dari sumbangsih para pemikir Barat. <br />Dua hal yang menjadi prinsip pemikiran Abduh, pertama, pembebasan kaum muslimin dari akidah kaum jabariah; dan kedua, memunculkan peran akal dalam kehidupan manusia. Konsekuansinya, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya lah yang akan memunculkan dinamika umat Islam kembali. Paham jumud dapat diganti dengan paham dinamika. Sebab, paham jumud dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Untuk itu, pintu ijtihad harus dibuka. <br />Dalam hubungannya dengan masalaha ijtihad ini, ia lebih mempertegas pandangan Abdul Wahhab bahwa umat Islam tidak hanya cukup kembali kepada ajaran-ajaran asli itu, tetapi perlu ada penyesuaian itu adalah melalui intepretasi baru, dan hanya dilakukan melalui ijtihad, sekaligus pemberantasan terhadap sikap taklid dengan jalan kembali kepada Islam yang sudah dimurnikan itu, yang sanggup mengasimilasi kemajuan dari luar, dan menegakkan keadilan sosial dari dalam. Karena itu Muhammad Abduh dianggap oleh generasi sesudahnya sebagai pembaharu agama. <br />Namun disadari bahwa pasca Abduh ini selanjutnya melahirkan dua golongan, yaitu pertama, mujaddid merdeka yang menghendaki kemajuan secara evolutif dari Islam. Artinya, ia condong kepada perubahan-perubahan yang sehat, tetapi tetap mempertahankan perimbangan tradisi Islam. Mereka menganggap Islam sebagai kekuatan moral yang hidup, yang memberikan kekuatan batin kepada mereka. Di samping itu, kedua, ada golongan yang sangat dipengaruhi oleh Barat. Mereka menerima segala yang datang dari barat, sehingga mereka terlepas dari kebanggaan sejarah spiritual dan kebudayaan bangsanya sendiri. <br />Selanjutnya, murid dari Muhammad Abduh yang paling terdekat dan termasuk golongan pertama adalah Rasyid Ridha. Ia mengulangi ide-ide Abduh dalam menafsirkan agama atas sumber-sumbernya yang asli, akan tetapi memberikan pengaruh besar dari Al-Afghani, ia mencoba memberikan dimensi politik bahkan pan-Islamisme untuk memperbaharui Dunia Islam. Ia berpendirian untuk mendirikan khilafat baru yang dapat memainkan peran efektif dalam urusan spiritual dan mterial masyarakat muslim. Walaupun ia seorang yang berpegang keras kepada hukum, tetapi ia tidak membatasi diri untuk kembali kepsada peraturan-peraturan tradisional. Ia membedakan humum suci yang tidak berubah dan bersifat abadi, mengatur kehidupan pribadi dan hukum yang mengatur bidang politik dan yuridis, yang dapat dirubah, karena konsep keadilan sosial dan kebaikan masyarakat berkembang menurut waktu. Ia sebagaimana gurunya Abduh, mengakui faidahnya ide modern dan menganjurkan untuk memakainya. Namun ia melampau Abduh dengan menerjunkan diri dalam kegiatan politik. <br />Selain itu, Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlunya ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mat pelajaran berikut; teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kedokteran, bahasa asing, dan ilmu mengatur rumah tangga, di samping ilmu-ilmu madrsah biasanya.<br /><br /><br /><br />F. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI TURKI<br />Pembaharuan di Kerajaan Turki Usmani abad ke-19, sama halnya dengan pembaharuan di Mesir, juga dipelopori oleh raja. Kalau di Mesir Muhammad Ali Pasya lah raja yang mempelopori pembaharuan, di Kerajaan Turki Usmani Raja yang emmpelopori pembaharuan adalah Sultan Mahmud II. Ia dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama.<br />Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudianh mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di kerajaan Usmani adaalah perubahan dalam bidang pendidikan. Madrasah yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di kerajaan Usmani yang hanya mengajarkan pelajaran agama, dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19. Maka dilakukanlah perubahan kurikulum dengan penambahan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya. Setelah itu dibentuklah sekolah-sekolah umum dilengkapi dengan buku-buku yang beragam. Selain itu, Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswanya ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di kerajaan Usmani. Masih dalam hal keilmuan, buku-buku dalam bahasa Turki mengenai ide-ide modern Barat bermunculan melalui upaya penerjemahan serta penerbitan majalah yang berisikan ide-ide modern. <br />Pembaharuan-pembaharuan ini menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. pembaharuan lanjutan pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah tanzimat yang artinya mengatur, menyusun, dan memperbaiki, dan di zaman itu memang banyak diadakan peraturan dan undangh-undang. <br />Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya lalu Mustafa Sami. Lalu dilanjutkan oleh Usmani Muda, Tiga aliran Pembaharuan, Islam, dan Nasionalis, Mustefa Kemal.<br /><br /><br />G. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI INDIA-PAKISTAN<br />Sebagaimana telah dibahas, ide-ide pembaharuan di India ini awal mula dicetuskan oleh Syah Waliyullah di abad ke-18 yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1623 M) yang kemudian berpengaruh kepada Sayyid Ahmad Syahid (1786 M). Ide-ide pembaharuannya muncul dari pantauannya terhadap kemunduran umat islam di India yang lagi-lagi agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur dengan faham dan praktik yang berasal dari Persia dan India. Ia berpendapat bahwa pertama kali yang harus dibersihkan adalah tauhid. Gerakan mujahidin yang dijadikan sayap pergerakan Sayyid Ahmad Syahid ini dipandang oleh sebagian penulis Barat sebagai gerakan Wahabiah India. Perbedaannya terdapat pada sikap mereka terhadap sufi. Sebagaimana dikatahui, Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedang Mujahidin banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran sufi India. Syah waliyullah sendiri tidak menentang tasawwuf dan dapat menyetujui tasawwuf yang bersifat modern. Sehingga penulis-penulis Islam India-Pakistan menolak penyebutan gerakan wahabiah India itu. <br />Aliran reformis India nampak orisinil. Sebagaimana bangsa Arab, umat Islam India menghendaki reinterpretasi rasionalis tentang dogma-dogma, karena reinterpretasi tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau Hadits. Pada umumnya, orag-orang India bersikap kurang tradisionalis dari pengarang-pengarang Arab. Sir Sayyid Ahmad Khan menganjurkan dimasukkannya kemajuan-kemajuan ilmiah serta menerima lembaga-lembaga Barat dalam Islam modern. Untuk keperluan tersebut, ia mendirikan universitas yang akan menjadi tempat untuk mengajarkan pikiran Barat yang terbaik dalam suasana Islam. <br />Pengarang kedua adalah Amir Ali yang mengembangkan ajarannya atas dasar riwayat hidup Nabi Muhammad yang ditulisnya dengan nada apologetik; dalam karangannya itu, ia menceritakan bagaimana Nabi Muhammad berhasil memberantas kekacauan di Arabia dan membuka perspektif kepada kemajuan bagi umat manusia, dengan bersandar kepada akal. Menurut Amir Ali, kehidupan Muhammad menunjukkan bukti yang nyata tentang kemampuan Islam untuk adaptasi dengan zaman modern. Walaupun ia adalah seorang pengikit aliran Syi’ah, tetapi ia berhasil sangat baik, juga di negara-negara Arab. Tentu saja hanya sedikit sekali pembaca yang menyetujui pendapatnya bahwa Al_Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad. <br />Akhirnya Muhammad Iqbal merupakan penulis yang paling terkenal tentang gerakan reformasi di India, berkat pengetahuannya yang luas serta daya tarik sya’ir-sya’irnya. Karena yakin bahwa Islam memiliki keluwesan yang tak terbatas, ia menganjurkan untuk meninjau kembali keseluruhan sistem islam tanpa memutuskan hubungan dengan peninggalan masa lalu. Ia menuntut dibentuknya ”demokrasi spiritual dengan aspirasi Islam” dengan mengadakan konsensus masyarakat dan usaha pemikiran perorangan. Bertentangan dengan Rasyid Ridha, ia menolak mendierikan khilafat kemabali dengan mengatakan bahwa Islam adalah kesetiaan kepada Tuhan dan hukumnyadan bukan suatu petunjuk politik untuk mendirikan pemerintahan. Dengan mengasosiasikan doktrin dalan lembaga-lembaga Islam tradisional yang kadang-kadang ia tafsirkan secara ellegoris (kiasan) dengan rasionalisme Barat, prinsip=prinsip yuridis dan pengetahuan teknik. Iqbal berpendapat bahwa reform dapat m,enghasilkan suatu kompromi tanpa bentrokkan. <br /><br />Daftar Pustaka<br />Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Bandung: PT Bulan Bintang, 1992)<br />Jaih Mubarak, Sejarah Perdaban Islam (Bandung: CV. Pustaka Islamika. 2008).<br />Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005). <br />Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-PRESS, 1993).<br />Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (Jakrata: 1966).William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997). <br />Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1980).<br />Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam. <br />H.A.R. Gibb, Hlm. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996).<br />F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisus, 2003).<br />Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka. 2000)desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-86665216213435470682010-01-06T08:33:00.001-08:002010-01-06T08:35:50.951-08:00PEMIKIRAN TAFSIR ANWAR AL-TANZIL WA ASRAR AL-TA’WIL KARYA AL-BAIDLAWIYOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidlawiy dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat). Populeritas kitab Tafsir Al-Baidlawiy di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir Al-Baidlawiy ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin) sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata (Al-Shina’iyyat al-Lafdhiyyah). Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut <br />Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali komentar (hasyiyah) dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir Al-Baidlawy itu “hanya” sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.<br /><br />B. SETTING HISTORIS-BIOGRAFIS AL-BAIDLAWIY<br />Kitab tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil ini dikarang oleh Qadhiyul Qudhat Anshiruddin Abdullah bin Amuhammad ‘Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Nama lengkapnya Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Beliau berasal dari sebuah kota di Persia , tepatnya di daerah Syiraz, Iran selatan. Di sanalah mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai bersentuhan dengan ulmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra kepada ilmu-ilmu syara’ dan hukum. Selain itu, menurut Qadli Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat Qadli (hakim agung) di Syiraz. <br />Al-Baidlawiy hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Mungkin, karena pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, syaikh Muhammad Al-Khata’I yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan Al-Baidlawiy mengundurkan diri dari jabatan hakim agung. <br />Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim agung, Al-Baidlawiy mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M. <br />Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarh Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarh Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushl fiqh), Syarh Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarh Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir).<br /><br />C. SEPUTAR KITAB TAFSIR ANWAR AL-TAMNZIL WA ASRAR AL-TA’WIL<br /><br />1. SEJARAH PENULISAN<br /> Kitab tafsir Al-Baidlawiy dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi:<br />“Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil”. <br /> Al-Baidlawiy menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi Al-Baidlawiy, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’I, ulama yang menyarankan Al-Baidlawiy untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan Al-Baidlawiy karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya. <br /> Beberapa penilaian terhadap tafsir Al-Baidlawiy menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (disarikan dalam hal I’rab, ma’ani dan bayan), Mafatih Al-Ghayb karya Fakhruddin Al-Razit (disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy (disarikan dalam hal asal-usul kata). <br /> Terlepas dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, Al-Baidlawiy mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan dalam sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Perta,a, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum Al-Baidlawiy. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh Al-Baidlawiy. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin KA’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zayd bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, Al-Baidlawiy mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali. <br /> Sementara dari para mufassir pendahulunya, Al-Baidlawiy tidak menyebutkan nama mufassir yang telah ada sebelumnya. Alih-alih menyebut nama mufassir dan kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy hanya menyebut nama-nama teolog semisal Abu Hasan Al-Asy’ari (2 kali), Al-Jubba’i (1 kali) dan nama-nama kelompok seperti Al-Barahim (1 kali), Al-Khawarij (5 kali), Mujbirah (1 kali), Mujassimah (1 kali), Mu’attilah (2 kali) dan Mu’tazilah (35 kali). <br /> Menurut Jean Smith, Al-Baidlawiy melakukan hal demikian karena memang sudah merupakan praktik yang umum sat itu, yakni abad ketujuh, dimana sistem skolastik sudah berdiri dengan kokoh, bahwa seseorang bisa mengadopsi materi atau pendapat orang lain dalam karyanya, bahkan untuk mengutipnya secara verbal. <br /> Seakan mengantisipasi kemungkinan keberatan-keberatan yang muncul kemudian, Al-Baidlawiy sendiri menyatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa beliau memang berupaya untuk mensarikan pandangan-pandangan ulama sebelumnya. Namun demikian, beliau juga mengakui bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbath yang beliau lakukan sendiri. <br /><br />2. BENTUK DAN CORAK PENAFSIRAN AL-BAIDLAWIY<br />Tafsir karangan Al-Baidlawy ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi (yang terpuji) sekaligus. Artinya bahwa Al-Baidlawiy tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.<br />Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir mafatih al-ghaib dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir Al-Raghib Al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-kasysyaf karya Al-Zamakhsariy, Al-Baidlawiy dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadl, tarakib, dan nakt al-balaghah. Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlussunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir mafatih al-ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Raziy. <br />Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis Al-Kasysyaf ini. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;<br />الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ<br />Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlussunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 2-3:<br />ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}<br />Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.<br />Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, Al-Baidlawiy mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlussunnah, Mu’tazilah, dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlussunnah. <br />Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Baidlawiy sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini dukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran Al-Baidlawiy memang cenderung kepada madzhab yang yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya. <br />Di samping itu, Al-Baidlawiy memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan Al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini Al-Baidlawiy terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin al-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;<br />فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ {10}<br />”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”<br />Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidlawiy menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang yang menguap menjadi ether kemudian menyala.... <br />`Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari ”hanya: dua jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkaty dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. <br />Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalajiy, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir Al-Baidlawiy ini.<br /><br />3. METODOLOGI YANG DIGUNAKAN<br />Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al_Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas.<br />Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Al-Baidlawiy memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang cemerlang. <br />Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan Al-Baidlawiy adalah menjelaskan tempat turunnya surat (makkiy atau madaniy) dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, Al-Baidlawiy menjelaskan makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadit-hadits nabi maupun qira’ah. <br />Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain (atau sering disebut dengan ”hubungan internal”) merupakan bagian penting dalam tafsir Al-Baidlawiy. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an. Penggunaan ”hubungan internal” (miunasabah) ini tampak sangat kentara dalam tafsir Al-Baidlawiy. <br />Di akhir hampir setiap surat, Al-Baidlawiy menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca srat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsari dalam tafsirnya. Namun sayang, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan, dla’if, atau maudlu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudlu’ menurut kesepakatan ulama hadits. Walaupun begitu adanya, Al-Baidlawiy memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf , hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat. <br />Kisah-kisah Israiliyyat yang menjadi ”bagian penting’ dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir Al-Baidlawiy diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, Al-Baidlawiy menyebutkannya dengan menggunakan istilah ”ruwiya” (diriwayatkan) atau ”qila” (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa Al-Baidlawiy mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyyat tersebu yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;<br />فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22}<br />Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”.<br />Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadl makatsa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, Al-Baidlawiy mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebuih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”. <br />Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, Al-Baidlawiy menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, emnjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidlawiy untuk menguraikan maknanya. Dari sini sangat nampak bahwa Al-Baidlawiy memang sangat menguasai beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawaih, Al-Khalil, Al-Mubarrad, Tsa’lab dan lain-lain. <br />Dalam hal qira’at, Al-Baidlawiy tidak hanya menggunakan tujuh qira’at yang sering dianggap sebagai al-qiraat al=masyhurah (mutawatir), yaitu bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada tujuh imam; Ibnu Amir, Ibnu Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi, dan Al-Kisa’i, tetapi juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qira’ah yang lain, seperti Ya’qub Al-Hadlrami, Abu Bakar, dan lain-lain yang masuk dalam kategori syadzdzah. <br />D. BEBERAPA KOMENTAR TERHADAP TAFSIR AL-BAIDLAWIY<br />Kitab tafsir Al-Baidlawiy jelas memperoleh perhatian tersendiri dari umat Islam, juga di dunia Barat. Hal ini, antara lain, terbukti dengan begitu banyaknya hasyiyah yang meberikan catatan dan komentar terhadap tafsir tersebut. Sebagaimana dikemukakan di awal, penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Sebuah perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan ke dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut.<br />Terlepas dari banyaknya hasyiyah tersebut, kitab tafsir tersebut memperoleh tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuiji, sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif. Berikut ini akan dikemukakan tanggapan yang bermunculan di sekitar tafsir karya Al-Baidlawiy tersebut.<br />Kebanyakan komentar terhadap tafsir ini beranggapan bahwa Al-Baidlawiy merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khusunya Al-Kasysyaf. Haji Khalifah dalam kitabnya kasyf al-dhunun memberikan komentar bahwa ”Kitab tafsirnya ini merupakan kitab yang sangat penting, kaya akan penjelasan. Di tempat lain ia menyatakan, ”Kitab ini merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan baik oleh para pemuka agama dan ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut. <br />Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini :meliputi rangkuman pendapat banyak imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit.... Berbeda dengan tanggapan Yusuf Rahman yang menulis tentang ”unsur hermeneutika tafsir Al-Baidlawiy menyatakan bahwa sikap Al-Baidlawiy yang tidak menyebutkan sumber dalam penafsiran yang dilakukan itu ”membuat kita menuduhnya sebagai seorang ’plagiat’”. <br />Sedangkan Quraisy Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy merupakan salah satu tafsir yang ”cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal”. <br />Namun pada akhirnya langkah baiknya kita kemukakan tanggapan Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa kita tafsir Al-Baidlawiy ini merupakan ”salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah SWT, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya’. <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.<br />Arsyif Multaqa Ilmu Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.<br />Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.<br />Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.<br />Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987..<br />Nashruddin Al-Baidlawiy, Tafsir Al-Baidlawiy. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.<br />Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-51882469591186618772010-01-06T08:28:00.000-08:002010-01-06T08:32:00.838-08:00SISTEM PERBUDAKAN DALAM ISLAM Sebuah Kajian Sosiologis HistorisOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br />PENDAHULUAN<br />Dalam diskursus tentang Al-Qur’an secara keilmuan, pembahasan tentang Perbudakan termasuk kepada kelompok sosio-historis (B). Karena ayat-ayat yang membicarakan tentang perbudakan tersebut mencakup dalam ranah kemasyarakatan. Pada kesempatan ini akan dibahas bagaimana secara sosio-historis perbudakan muncul dan berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Bagaimana latar belakang dan kondisi sosio-historis turunnya ayat-ayat tentang perbudakan. Sehingga akan menimbulkan pembahasan yang lebih luas dilihat dari pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap keterkaitan antara kemunculan ayat-ayat perbudakan dan relevansinya dengan konteks kekinian dalam struktur masyarakat Islam. Lebih lagi, apakah Islam mengakui atau melegitimasi adanya sistem perbudakan dan bagaimana realitas yang rerjadi di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.<br />Ayat-ayat perbudakan, sebagaimana ayat-ayat yang lain, dari segi turun dan keberadaannya adalah empirik (E). yaitu dalil yang dilatarbelakangi oleh turunnya ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang perbudakan yang dikaitkan dengan budaya masyarakat setempat. Tetapi dari segi isi, ayat-ayat perbudakan membawa misi filosofis. Semua isi itu disebut dalil normatif (D). <br /><br />PERBUDAKAN DALAM LINTAS SEJARAH<br />Sejak kapan mulai adanya budak dan sistem perbudakan, tidak ada satu keterangan pun yang dapat memastikannya. Yang jelas usia perbudakan mungkin sudah se-tua umur peradaban manusia itu sendiri. Bahkan di masa Nabi Yusuf As., hukum yang diberlakukan bagi pencuri ialah dengan jalan memperbudaknya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam QS Yusuf ayat : 75<br /> <br />Mereka menjawab: "Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, Maka dia sendirilah balasannya (tebusannya)". Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang zalim. <br />Perbudakan merupakan hal yang umum pada masyarakat pra-Islam, Timur Tengah dan Afrika serta Asia, adalah lembaga yang diterima dalam Islam seperti Yahudi dan Kristen yang merupakan lanjutan yang telah lama dianut oleh rumpun Semit Kuno, dan yang legalitasnya diakui oleh Perjanjian Lama, namun Islam memperbaiki kondisi para budak di tengah-tengah realitas social praktik perbudakan.<br />Ketika Islam datang, perbudakan telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia. Bahkan ia merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial yang terus berkembang tanpa ada seorang pun berfikir untuk merombaknya. System ini berlanjut pada masa Dinasti-Dinasti Islam pasca kekhalifahan. Pada masa dinasti Umaiyah, masyarakat di seluruh kerajaan terbagi kepada empat kelas social. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristocrat Arab; kelas mu’allaf, yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga, secara teoritis, Negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga Muslim; anggota-anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen, dan Saba’ yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam; terakhir kelas yang paling rendah adalah golongan budak. <br />Demikian pula, gejala perbudakan harus diakui pernah marak di masa Dinasti Abbasiyah. Posisi teratas dalam tingkatan social ditempati oleh khilafah dan keluarganya, para pejabat pemerintahan, keturunan Bani Hasyim dan orang di sekitar mereka. Kelompok terakhir meliputi para prajurit dan pengawal istana, sahabat dekat, para mawla, dan pembantu. Para pembantu itu hamper semua adalah budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non-muslim, baik yang ditawan pada masa perang atau dibeli pada masa damai. Gagasan maraknya praktik perbudakan bias dilihat dari tingginya jumlah budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana Muqtadir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki Yunani dan Sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang senuanya diajak tidur menemaninya. Pada suatu kesempatan, Al-Mutawakkil menerima hadiah sebanyak 100 budak dari salahsatu jenderalnya. <br />Demikian maraknya perbudakan di kalangan kerajaan saat itu. Namun begitu, pada masa Abbasiyah ini, banyak diantara budak-budak ini yang memiliki posisi strategis dalam kerajaan. Dinasti Abbasiyah memperkenalkan lembaga prajurut budak (Mamluk), yang menjadi unsur penting banyak kerajaan Muslim; kerajaan budak mulai menempati posisi penting di militer, menjadi Jenderal dan gubernur propinsi yang kuat. Termasuk setelah itu, terjadi pada masa dinasti-dinasti Timur. Diceritakan bahwa salah seorang budak Turki disukai dan dihargai oleh kerajaan Samaniyah, serta dianugrahi pos penting dalam pemerintahan, dia adalah Alptigin, yang memulai karirnya sebagai pengawal. <br />Lalu bagaimana sebenarnya Al-Qur’an memandang system perbudakan ini? Dan bagaimana cara-cara penghapusan yang ditawarkan Islam?<br /><br />PERBUDAKAN DALAM AL-QUR’AN<br />Makna budak secara bahasa menunjukkan seseorang yang menjadi abdi, hamba, jongos atau orang yang dibeli untuk dijadikan budak. Sedangkan perbudakan mengacu pada sistem sosial di suatu masa dimana segolongan manusia merampas kepentingan golongan manusia lain. Dalam memandang masalah budak dan perbudakan, maka Islam melihat ada dua permasalahan penting yang harus dipecahkan. Yang pertama adalah menyangkut budak itu sendiri, sebagai mahluk yang menjadi barang perniagaan, selalu direndahkan harkat dan martabatnya, tidak merdeka dan diperjual belikan. Sedang permasalahan kedua menyangkut sistem perbudakan, yaitu menyangkut penyebab timbulnya perbudakan dan bagaimana Islam berupaya menghapuskan dan mengaturnya.<br />Dengan syariatnya yang mulia, Islam hadir untuk melepaskan budak dan sistem perbudakan. Syariat Islam datang dengan misi membebaskan para budak (Ar Roqiq/fakk raqabah) dan memperlakukannya secara terhormat dan manusiawi. Islam memandang para budak dari sisi bahwa mereka itu adalah manusia juga yang sama dengan manusia merdeka lainnya. Terutama pada fitrah insaniyah-nya. Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya. Islam datang dengan menyatakan:<br /> •• • • <br />Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)<br /> • • <br />Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,( Al-Nisa: 36)<br /> <br />Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. ( QS. Al-Nahl: 71)<br />Dalam kasus perbudakan, mengikuti pendekatan Fazlur Rahman, yang dibidik oleh Al-Qur’an sebagai sarana ideal moralnya adalah pemerdekaan budak. Al-Qur’an memang mengakui hukum praktik perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan sebagai solusi yang bersifat segera dan sementara. Pada saat itu, tidak ada alternative lain untuk meniadakan praktik yang telah berurat-berakar dalam struktur masyarakat Arab, masyarakat penerima Al-Qur’an pertama. Pelarangan secara mendadak tentu saja akan menimbulkan masalah baru, sementara masalah lama tetap tidak selesai. Cara seperti ini tidak akan menuai keberhasilan. Nampaknya memang Al-Quran Al-Karim sendiri dalam menangani masalah perbudakan tidak menggunakan sistem pengharaman secara eksplisit. Misalnya "budak itu haram dan jangan ikut-ikutan punya budak". Kita tidak mendapatkan nash yang berbunyi demikian. Jadi persoalannya ada dalam cara dan pendekatan menghapus system perbudakan.<br />Al-Qur’an perlahan menciptakan lingkungan yang bebas dari perbudakan. Dan penghapusan perbudakan ini dirasa berat melihat kepada kondisi yang telah berurat akar tadi.<br /> <br />Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)<br />Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang ditentukan menurut kondisi sang budak, maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu. Tuannya tidak boleh menolaknya, seperti ditegaskan Al-Qur’an:<br /> • • • <br />Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (QS. Al-Nur: 33)<br />Dalam ayat ini, menurut Rahman , kita lagi-lagi dihadapkan pada situasi di mana logika yang jelas dari sikap Al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah. Kalimat “jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”, bila dipahami dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri dan berdikari, dan karenanya mungkin lebih baik ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapi sebaliknya, seorang budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta pemerdekaan dirinya dengan menebus segala syaratnya, maka tuannya harus memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju Al-Qur’an.<br />Dalam Al-Qur’an, pembahasan tentang perbudakan ini, bukan untuk melegalkan atau bahkan mempertahankan atau melestrarikan, namun justru untuk menghapuskan. Islam mengupayakan pembebasan yang sebenarnya bagi para budak, dari dalam dan dari luar. Dari dalam dengan jalan menyadarkan para budak, dari kedalaman sanubarinya, melalui keyakinannya bahwa ni'mat kebebasan itu sangatlah tinggi dan menggalakkan mereka agar mendapatkan kemerdekaan, sekalipun dengan pengorbanan yang berat dan mahal. Dari luar syariat Islam mengupayakan berbagai jalan untuk membebaskan budak, seperti yang tercermin dalam beberapa sarana berikut:<br />1. Memerdekakan budak karena mengharap Ridha Allah SWT dan mengharapkan surga-Nya.<br />Cara ini adalah pembebasan budak dari pihak tuannya atau pemilik budak yang mengharapkan pahala dan ganjaran di sisi Allah SWT dan terbebas dari api neraka. Dalam hal ini Islam sangat menggalakkan dan mendorong (targhib) para tuan agar memerdekakan budaknya. Sebagaimana firman-Nya:<br /> <br />Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)<br />Di dalam nash-nash hadist Nabawi banyak kita dapati hadits yang menjelaskan keutamaan memerdekakan budak dan menggalakkan pembebasannya, diantaranya :<br />قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أعتق نسمة مسلمة أو مؤمنة وقى الله بكل عضو منها عضوا منه من النار<br />“Dari Ali R.a, Rosulullah SAW bersabda: Siapa saja memerdekakan seorang budak mukmin maka Allah menjanjikan akan membebaskan dengan setiap anggota tubuh budak itu, setiap anggota tubuhnya dari api neraka". (HR Abu Dawud dan Nasa'i) <br />Juga sabda Rosul ini:<br />عن البراء أن أعرابيا قال لرسول الله علمني عملا يدخلني الجنة؟ قال: أعتق النسمة وفك الرقبة. قال: أوليستا بواحدة؟ قال: لا إن عتق الرقبة أن تفرد بعتقها، وفك الرقبة أن تعين في عتقها<br />"Dari al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Ada seseorang Arab Badui datang kepada Rosulullah SAW seraya berkata: Wahai Rosulullah, ajarilah aku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam sorga! Lalu Rosulullah SAW bersabda: "Merdekakanlah hamba sahaya dan lepaskanlah budak dari perbudakan". Orang Arab Badui itu bertanya: "Wahai Rosulullah tidakkah keduanya sama? "Rosulullah SAW menjawab: "Tidak, yang pertama berarti kamu sendiri yang memerdekakannya, sedangkan yang kedua berarti kamu membantu dalam memerdekakannya". (HR Imam Ahmad) <br />Hasil seruan syariat ini berdampak bagi kaum muslimin pada masa Rasul. Para sahabat bergegas memerdekakan para budak dengan ikhlas mengharap ridla dari Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan dengan memerdekakan beberapa budak yang berada di tangannya, kemudian teladan ini diikuti oleh para Sahabat. Abu Bakar ra telah menginfaqkan sejumlah hartanya untuk memerdekakan para budak dari tangan bangsawan Quraisy di Mekkah. Dan banyak sahabat lainnya yang berbuat serupa. Belum pernah ada dalam sejarah bangsa-bangsa terdahulu, terjadinya pembebasan budak secara besar-besaran, seperti di masa Islam.<br />2. Memerdekakan budak dengan kafarat<br />Kafarat merupakan sarana yang paling penting dalam memerdekakan budak. Al-Qur'an di dalam berbagai kesempatan menetapkan bahwa "memerdekakan budak" sebagai kafarat (penghapus) bagi beberapa pelangggaran syari'at dan dosa-dosa eksidental yang dilakukan oleh seorang muslim. Padahal pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam realitas kehidupannya sehari-hari sudah barang tentu tidak sedikit. Ini berarti Islam bersungguh-sungguh dalam memerdekakan budak sebanyak mungkin di dalam masyarakat Islam.<br />Diantara sarana pembebasan dengan kafarat sebagaimana disebutkan Al-Qur'an: <br />a. Orang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja) maka kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak dan membayar diyat kepada keluarganya. <br />b. Orang yang membunuh seorang dari kaum kafir yang sedang dalam perjanjian damai antara mereka dan kaum muslimin. Kafaratnya adalah memerdekakan budak. <br /><br /> • • <br />Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. <br />Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa : 92)<br />Suatu saat Al-Harts bin Yazid bin Nabisyah dari Bani ‘Amir bin Luaymenyiksa Iyasy bin Abi Rabi’ah bersama Abu Jahl. Kemudian dia keluar menuju Nabi SAW, dan bertemu dengan Iyasy. Lalu ia menghunuskan pedangnya, sedangkan ia mengira bahwa Iyasy itu orang kafir. Kemudian ia mendatangi Nabi dan menceritakan kejadian itu. Sehingga turunlah ayat tersebut. <br />c. Orang yang melanggar sumpah, maka kafarat-nya adalah diantaranya memerdekakan budak. <br /> <br />Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Al-Maidah: 89) <br /><br /><br />d. Orang yang men-zhihar istrinya kemudian bertaubat maka kafaratnya adalah memerdekakan budak.<br /> <br />Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Al-Mujadalah: 3<br />e. Orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja (tanpa udzur syar'i) maka kafaratnya memerdekakan seorang budak; sebagaimana disebutkan oleh hadist Rasul ini : <br />"Dari Abu Hurairoh berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkata: "Wah...Celaka aku ya Rosulullah. Lalu Nabi menanyakan: "Apa yang membuatmu celaka? Laki-laki itu menjawab: "Aku telah 'mengumpuli' istriku di bulan Ramadlan." Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Apakah ada padamu budak yang bisa engkau merdekakan?. "Dia menjawab: Tidak ada ya Rasul. Rosul bertanya lagi: "Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan penuh secara simultan? "Dia pun menjawab: "Aku tidak mampu ya Rosul:. Lalu Rosul pun bertanya: "Apakah kamu mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang?" Lagi-lagi lelaki itu menjawab tidak mampu. Akhirnya Rasul mengambil beberapa buah kurma dan menyuruh lelaki itu untuk menyedekahkannya kepada fakir miskin. lelaki itu kemudian berkata: "Adakah keluarga yang lebih fakir dariku di wilayah sini? "Maka Rosulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya, lalu kemudian berkata pada lelaki itu: "Pergilah engkau dan berikanlah kurma itu pada keluargamu."<br />3. Memerdekakan budak dengan Mukatabah. <br />Mukatabah ialah memberikan kemerdekaan bagi budak bila ia menuntutnya sendiri dengan imbalan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua pihak (tuan dan budak nya) dan akan ditunaikan oleh pihak budak secara berangsur; bila ia telah menunaikannya maka merdekalah sang budak tersebut.<br /> • • • <br />Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. QS An Nur : 33<br />Dalam ayat ini, salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.<br /><br />وروى النسائي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ثلاثة كلهم حق على الله عز وجل عونهم المجاهد في سبيل الله والناكح الذي يريد العفاف والمكاتب الذي يريد الأداء).<br />Al-Nasa’I meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Ada tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah; yaitu orang yang berjuang di jalan Allah, ornag yang menikah karena ingin kesucian, dan orang yang membuat perjanjian untuk ditepati.<br />4. Memerdekakan dengan memberikan Zakat sebagai bagian dari mustahik zakat.<br />Bahkan dalam pembagian harta zakat, budak termasuk yang berhak mendapatkannya. Harta itu dapat digunakannnya untuk menebus dirinya dari perbudakan. <br /> <br />Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Taubah: 60.<br />5. Dengan menikahi budak.<br /> <br />Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Al-Nisa: 2-3<br /> • • • <br /> • <br />Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.<br />Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Nisa: 24-25.<br />Imam Al-Suyuthi menceritakan bahwa Al-Thabrani telah meriwayatkan sebuah hadit dari Ibnu Abbas berkaitan dengan hadits ini, dia berkata: ayat ini turun pada saat perang Hunain dimana kaum muslimin mendapatkan tawanan wanita yang memiliki suami. Ketika mereka bermaksud menikahi wanita itu, mereka menjawab bahwa mereka memiliki suami. Lalu ditanyakanlah persoalan tersebut kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini (Al-Nisa:24). <br />Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu tentang wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi (muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam wanita yang dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali budak-budak yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka tafsiran ayat "illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah "Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi, walaupun masih dalam status punya suami. <br />Dalam banyak penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami namun dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan atau dijual oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan dan suaminya tidak tertahan, maka oleh sebagian ulama dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula, jika seorang budak wanita dijual oleh tuannya, sementara suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis pula terceraikan dari suami tersebut. Dengan demikian, jika seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini, jangan ragu (boleh) karena tidak lagi berstatus bersuami. <br />Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah, justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut. Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka". Artinya, konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan: "Fa mimmaa malakat aemaanukum min fatayaatikumul mu'minaat". Oleh departemen agama secara lugas dan transparan diterjemahkan: "ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah jelas, bahwa jika tak mampu menikahi wanita merdeka (biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga kehormatan lelaki tersebut, tidaklah apa-apa menikahi (mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan karena tidak mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh menggauli budak tanpa nikah.<br />PENUTUP<br />Kasus perbudakan sebenarnya tidak didukung oleh Al-Qur’an. Kesan seolah-olah Al-Qur’an melaglkan praktik perbudakan tidak lain hanyalah untuk menyesuaikan dengan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Arab saat itu. Islam datang bukan dalam ruang hampa. Islam datang di tengah berbagai budaya dan tradisi yang telah mengakar di lingkungan suku-suku yang fanatik. Tidak mungkin begitu datang, Islam langsung meruntuhkan segala tradisi yang dianut oleh masyarakat. Bila itu dilakukan, justru akan bertentangan dengan semangat penegakan moral dan peradaban yang dicanangkan Al-Qur’an sendiri. Caranya dikikis secara perlahan hingga dimungkinkan hilang sama sekali.<br />Maka segala bentuk perbudakan dalam kisah kehidupan hari ini pun harus dihapuskan. Karena tidak dipungkiri terjadi kasus-kasus perbudakan gaya baru, baik itu tertuju kepada perseorangan, bangsa, ataupun negara. Segala yang sifatnya mengekang, mengeksploitasi, dan menjajah, dapat dikategorikan sebagai perbudakan gaya baru.desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-3514378169906311902010-01-06T08:25:00.000-08:002010-01-06T08:26:45.966-08:00ULUL ALBAB; JATI DIRI KADER HIMA PERSIS (Mengurai Sejarah, Meanstream, Paradigma Gerakan, Falsafah Perjuangan, Dan Trias Politika Hima Persis)Oleh; Deden Syarif Hidayat<br /><br />PENGANTAR<br />Dalam membaca sejarah, selain objek materil yang dibahas, tidak sempurna kiranya jika setting sosio-historis (kondisi lingkungan sosio-politik-keagamaan) yang melingkupi objek sejarah tersebut, diabaikan. Begitu juga dengan sejarah organisasi kader-otonom Persatuan Islam; Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (selanjutnya disebut Hima Persis). Kajian sosio-historis ini sangat kontributif dalam upaya memahami substansi perjalanan sejarah yang dikaji. Sehingga kita tidak terjebak oleh angka-angka periodisasi dan hitung-hitungan waktu semata. Tapi dapat diketahui setting historis objek yang dikaji, motif-motif yang melingkupi, dan gejala-gejala yang melatarbelakangi kemunjulan dan perkembangannya. Namun perlu diakui di sini, bahwa karena minimnya sumber data tertulis nan komprehensif, pembahasan ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk memudahkan pemetaan, kita akan bahas sejarah Hima Persis ini mulai dari kemunculan, kelahiran, dan perkembangannya. Selanjutnya, untuk menghayati eksistensi, akan kita bongkar bersama konsep ulul albab dalam konteks gerakan Hima Persis.<br /><br />SELAYANG PANDANG HIMA PERSIS<br />Fase Kelahiran<br />Tahun 1990 kita kenal sebagai era kebangkitan kembali gerakan mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK. Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus, mulai diramaikan kembali. Sehingga akhirnya demonstari bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus. Meski saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk longmarch ke instansi-instansi pemerintahan tetap dilarang. Dengan semakin menguatnya dorongan demokratisasi, sampailah pada puncaknya, yaitu penggulingan rezim Soeharto di tahun 1998. Gelagat terbukanya partisipasi masyarakat, arus demokratisasi, kebebasan berpendapat, serta terpetakannya ”musuh bersama” pada saat itu, memunculkan idealisme mahasiswa yang semakin menggurita. Situasi seperti ini, setidaknya membawa semangat baru dan kesadaran internal mahasiswa untuk terus melaju melakukan perubahan; dalam aspek apapun. Di tengah kesadaran inilah, meski secara tidak langsung, Hima Persis terlahir.<br />Di samping itu, secara paradigmatik prinsipil, lahirnya organisasi Hima Persis terlahir tidak untuk menambah deretan panjang daftar Ormawa (Organisasi Mahasiswa) di Indonesia. Namun karena kita masih punya harapan besar tentang masa depan Islam, masa depan pemikiran Islam, dan masa depan mahasiswa Islam. Kita masih punya cita-cita luhur untuk meresfon persoalan-persoalan pemikiran Islam, kerakyatan, keumatan maupun kebangsaan. Bahwa hari ini kita menyaksikan “kerumunan” mahasiswa yang jauh atau menjauhkan diri dari persoalan pemikiran Islam, sengaja menjaga jarak dengan persoalan masyarakat. Bahkan lebih ekstrimnya, tidak punya kepekaan sama sekali dengan agenda-agenda nasional yang perlu diperbaiki dengan kontribusi dan distribusi pemikiran dan gerakan mahasiswa. Lebih parahnya lagi, gerakan mahasiswa sudah menjadi barang dagangan (komoditi) kalangan tertentu, sehingga idealisme dan cita-cita gerakannya mengalami kebuntuan saluran. Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum. Dalam situasi seperti ini, posisi Hima Persis mulai membaca membangun paradigma. Point-point inilah yang kita namakan faktor eksternal kemunculan Hima Persis.<br />Demikian pula, faktor internal kelahiran Hima Persis didasari oleh semangat pembaharuan dan perubahan pada jiwa-jiwa mahasiswa Persis yang tersebar di berbagai kawasan, seiring dengan derasnya isu-isu pemikiran baru demi menjawab tantangan zaman dan bergelindingnya bola modernisme di tengah-tengah kehidupan ummat. Selain itu, terdapat kesadaran kaum muda Persis akan pentingnya akselerasi penyiapan pemimpin dan figur masa depan di internal ormas-ormas Islam. Termasuk Persis di dalamnya. <br />Dalam manuskrif salah seorang founding father Hima Persis generasi awal , setidaknya dapat dicerna faktor-faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya Hima Persis. Pertama, mengingat kepada pandangan bahwa komunitas kaum terpelajar merupakan kelompok yang layak dan memenuhi persyaratan untuk menjadi penggagas dan pelopor sebuah cita-cita luhur pembangunan di lingkungannya. Ini dimungkinkan karena kelompok ini dianggap dapat memahami realitas secara objektif dan dapat menatap masa depan secara optimistik. Dengan kesadaran ilmiah ini diharap dapat menjauhkan gejala shock ketika menghadapi perubahan zaman sehingga bisa mengarah kepada suatu fungsi yang over depensif atau sebaliknya tenggelam dalam arus perubahan dan kehilangan jati dirinya. Untuk itu, organisasi Islam dan lembaga-lembaga modern lainnya dianjurkan untuk memprioritaskan usaha pendidikan kader.<br />Kedua, Kesinambungan tradisi dalam konteks perubahan zaman, keberadaan kaum terpelajar dituntut agar berkelanjutan secara alamiah dan tidak pernah termakan usia. Sehingga, mengingat keterbatasan usia manusia, pergantian tokoh atau pergeseran figur harus akseleratif sedemikian rupa tanpa menyisakan efek ketegangan antar generasi dan tidak menimbulkan perubahan situasi drastis di masyarakat awam, walau memang diakui bahwa cita ideal ini sangat sulit ditemukan dalam sejarah. Rupanya penulis ingin mengatakan bahwa setiap perubahan, ada saja barisan yang pro dan kontra. Konsekuensinya, organisasi kader ini harus mewarisi tradisi vis a vis mempunyai tuntutan lain sebagai amanat khusus organisasi kader; yaitu usaha untuk memahami dan memenangkan masa depan. Dengan kata lain, kesadaran akan sense terhadap tradisi harus berbanding lurus dengan me-review masa lalu untuk memenangkan pergulatan kompetisi untuk masa depan yang lebih prospektif dan survival.<br />Ketiga, secara organisatoris, dipisahkannya Hima Persis dengan organisasi kader muda lainnya disebabkan oleh signifikansi-signifikansi tertentu yang tidak bisa dihindarkan. Diantaranya adalah karakter dan kultur yang dimiliki oleh mahasiswa dipandang lebih khas, apalagi ditambah dengan persoalan limit waktu dan penyebaran kader yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu saja. Jadi sifatnya temporal dan sektoral. Demikian pula dengan potensi ilmiah akademisnya yang relatif merata dan berkualitas. Maka perlakuan khusus demi pengembangan basis intelektualnya, sangat dibutuhkan. <br />Keempat, Meski secara organisatoris berbeda kamar, namun untuk sinergitas gerakan pengabdian keummatan, bisa disiasati dalam upaya-upaya koordinasi, konsolidasi dan kerja sama antar komponen Persis.<br />HIMA PERSIS didirikan pada fase kepemimpinan Ustadz Latif Mukhtar, M.A yang pada saat itu memangku amanat Ketua Umum PP Persis. Pada awalnya, organisasi otonom Persis di lingkungan mahasiswa ini dapat menjadi media transfomatif gagasan-gagasan Persatuan Islam di kampus-kampus serta dapat mengembangkan produk-poduk intelektual kampus dalam upaya menunjang perjuangan Persis di masa yang akan datang sesuai dengan tantangan pemikiran yang lebih bersifat ”ilmiah” dan ”intelektualis”. Selain faktor kultur akademik yang kental pada diri ust. Latief Mukhtar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga identitas dan keterikatan kader/alumni-alumni Pesantren Persis yang mulai banyak tersebar di kampus-kampus. Berbeda dengan fase Ust. Abdurrahman yang memang kader-kadernya belum begitu gebyar ter(mem)promosikan di Perguruan-Perguruan Tinggi.<br />Untuk mempertegas faktor-faktor di atas, ada beberapa potensi besar Hima Persis untuk memperkuat eksistensinya dan dianggap potensial. Diantaranya adalah alasan realistik-strategis; mengingat potensi kader dan persebaran kader di kampus-kampus strategis sesuai dengan disiplin keilmuan yang digeluti. Sehingga secara tidak langsung bisa simbiosim mutualisme terhadap perkembangan dakwah Persis. Alasan kesadaran sejarah; kedigdayaan A. Hassan yang kemudian melahirkan M, Natsir, Isa Anshari, Rusyad Nurdin DLL seharusnya ditransformasikan melalui ideologisasi dan indoktrinisasi ke kader-keder intelektualnya. Terakhir adalah alasan sosio-politik-kultural; mahasiswa Persis seyogyanya tampil sebagai duta-duta perubahan, juru-juru penyelamat, dan pioneer-pioneer pencerdasan serta pencerahan di tengah ketimpangan, keterbelakangan dan inferioritas umat Islam di mata modernisasi.<br />Kesadaran ke arah pembentukan organisasi yang menghimpun kader-kader mahasiswa Persis sudah teropinikan jauh-jauh hari, tepatnya era ’90-an. Meskipun masih bersifat sektoral. Mengingat persebaran awal dominan di Bandung, wacana ke arah itu bermula dengan inisiasi pembentukan Himmatul ‘Alimin yang berarti “semangat/girah kaum pendidik” dan juga merupakan akronim dari Himpunan Mahasiswa dan Alumni Mu’allimin’ yang berotasi di IAIN (sekarang UIN) SGD Bandung. Selanjutnya, mahasiswa Persis yang sedang studi di Jakarta membentuk Hima Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) yang berotasi di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta. Sementara itu di Jogja membentuk pula HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. <br />Semua elemen ini mengalir dan bertemu di hulu kongres Cianjur, 24 maret 1996. Jakarta dengan terma Hima Persisnya, Bandung dengan terma Himatul’aliminnya dan Jogja dengan terma HIMAPI-nya juga para mahasiswa (termasuk mahasiswinya) Islam yang mempunyai keterikatan sejarah dan emosional dengan Persis, berkumpul dan terlibat diskusi mengenai identitas dan masa depan mahasiswa Persatuan Islam. Tentunya mereka datang dengan memboyong segudang argumentasi dan sejuta gagasan besar, baik yang pro maupun yang kontra pembentukan. Setelah melalui diskusi yang keras dan dialog yang alot, mengkristal pada sebuah nama Hima Persis. Sejak itu tertanggal 24 Maret 1996 sebuah keputusan bersama menetapkan bahwa nama Hima Persis merupakan identitas resmi bagi perkumpulan Mahasiswa Persis. Dengan demikian, baik Himmatul ’alimin maupun HIMAPI secara otomatis melebur dan terangkat (aufgehoben) mensintesis diri dalam Hima Persis. Simpelnya, Hima Persis adalah nama yang lahir dari komitmen bersama, semangat dialog dan cita-cita kolektif dengan mengintegrasikan diri dalam satu wadah; Hima Persis. <br />Fase Perkembangan (1996-2009)<br />Dalam perjalanan sejarah awal berdirinya, Rakanda Ihsan Setiadi Latif terpilih sebagai ketua umum (1996-2000, pembentukan awal kita anggap sebagai Muktamar ke-1). Masa ini penuh diisi dengan sosialisasi dan internalisasi Hima Persis ke dalam tubuh Persis. Gerakan ke dalam lebih kental ketimbang gerakan keluar. Sampai tahun 2000, tercatat telah memiliki 8 (delapan) komisariat yang tersebar di wilayah Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta serta 2 (dua) komisariat rontisan. Dikatakan, telah bergabung sekitar 500 orang anggota dengan seperangkat kantor sekretariat, yaitu di Pesantren Persis no. 1 Pajagalan Bandung yang sampai saat ini masih menjadi domisi PP Hima Persis. Walau dalam persebaran dan publishistiknya masih terkesan kurang, namun setidaknya ini menjadi sumbangan dan pijakan awal Hima Persis di masa selanjutnya. Pada periode ini, memang telah terumuskan upaya pembenahan struktur dan pola kaderisasi, meskipun dirasa kurang optimal dan transformatif kepada kepemimpinan selanjutnya, baik secara konsepan maupun praktiknya. Namun pada periode ini telah terangkat wacana ”Ulul Albab” sebagai kerangka dasar pergerakan Hima Persis yang diwujudkan dalam terma ”intelektual theorist dan moralis”. Demikian pula, kedaulatan dan kepemimpinan pada periode ini dikatakan cukup efektif. pada fase inipun internalisasi ke pra-kader mulai dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kepemimpinan santri. <br />Dalam Muktamar ke-2 (2000), sempat muncul ke permukaan wacana integrasi Hima dengan Himi dan juga periodisasi kepemimpinan. Persoalan ini memang tidak relevan untuk diungkapkan, karena bisa jadi persoalannya terdapat pada perbedaan pola fikir semata. Meski pada akhirnya PP Persis saat itu mengeluarkan hak veto untuk tidak adanya integrasi Hima-Himi. Dari sinilah terbelahnya barisan organisasi yang pro tetap melanjutkan dan bersikap untuk keluar dari barisan. Persoalan paradigmatik inipun malah merembet kepada proses pembenahan dan pengembangan sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri.<br />Pro kontra mengenai integrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keselamatan dan perjalanan Hima Persis. Diametralisme pandangan seperti itu, mesti di tolerir (dimaafkan) dalam sketsa gerakan mahasiswa. Dan baiknya kita berdamai dengan masa lalu. Sangat adil apabila kita melihat spectrum sejarah Hima Persis dengan lensa positif mengenai apa yang diusung organisasi muda ini. Tidak kemudian berfikir mundur ke belakang, agar pesan sejarah berdirinya Hima Persis mampu dimaknai secara akademik, dengan paradigma membangun masa depan Hima Persis yang mapan, mandiri dan mampu bersejajar dengan Ormawa yang lain.<br />Angkatan kedua, era Rakanda Khairudin Amin (2000-2003) merupakan fase publikasi keluar dan pembangunan jaringan organisasi ke lintas Ormawa, OKP, Ormas, Orpol dan lain sebagainya. Ditandai dengan santernya Hima Persis dalam upaya penyikapan isu-isu sosial-politik. Kaki kekuasaan hima Persis, baik di tingkat komisariat, Jaringan Madinah, maupun Wilayah, belum terkondisikan secara establish. Namun patut di apresiasi, era ini PP Hima Persis melakukan perumusan lanjutan doktrin Ulul Albab yang terumuskan dalam falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progressif dan revolusioner yang merupakan formulasi doktri ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep Ulul Albab. Di era ini juga, mampu memfasilitasi dan ikut menentukan arah pendeklarasikannya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPNI) Jawa Barat. <br />Kemudian fase sdr. Latif Awaludin (2003-2005) fase ini kembali melingkar dalam bingkai internalisasi ulang ke dalam, membuka kran komunikasi gerakan di publikasikan ke luar dan penyikapan-penyikapan isu sosial-politik yang cukup massif, membuka jaringan-jaringan eksternal penunjang eksistensi Hima Persis, juga menjaga hubungan baik dengan PWK Persis Singapura. Dengan maksud agar eksistensi Hima di akui. <br />Selanjutnya sampai tulisan ini dibuat adalah fase sdr. LamLam pahala (2005-2008 dan 2008-2010). Pada fase 2005-2008, dioptimalkan dalam dimensi internal eksternal. Internal meliputi pembenahan administrasi organisasi dan pola kaderisasi, pemompaan intelektualitas kader, fungsionalisasi pimpinan, pembinaan pra-kader, pengembangan dan pelebaran sayap, pemanfaatan media teknologi informasi, dan menjaga hubungan baik dengan otonom lain dan induk Persis. Secara eksternal, penyikapan isu sosial-politik tetap dijalankan, hubungan baik dengan ormawa ektra lain bertaraf Nasional dibangun, dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak dan tokoh-tokoh Nasional dalam upaya kelangsungan eksistensi organisasi. Pada fase ini pun mulai dibuka komunikasi dan kerja sama dengan organisasi muda Islam taraf luar negeri, dalam hal ini adalah Malaysia. <br /><br />DARI ULUL ALBAB KE TRIAS POLITIKA HIMA PERSIS<br />Pendahuluan<br />Dalam visi besarnya, sebagaimana tercantum dalam Muqaddimah QA QD, Hima Persis memproklamirkan diri “sebagai wadah pembentuk kader Ulul Albab” yang dirumuskan dalam tujuan ideal organisasi “membentuk insan akademis, pembaharu yang progresif-revolusioner”. Dari visi besar ini, lahirlah falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progresif dan revolusioner. Dan dari semangat ini muncul langkah-langkah strategis yang mesti diambil yang kemudian terumuskan dalam Trias Politika Hima Persis, yaitu intelektualitas (sebagai kesadaran gerakan Intelektual), transformasi sosial (sebagai kesadaran gerakan sosial), dan perubahan iklim politik (sebagai kesadaran gerakan politik etik). <br />Ulul albab adalah “harga diri”, “ruh”, “jiwa”, dan “darah” yang melekat tak terpisahkan dalam diri kader Hima Persis, Ulul Albab-lah adalah meanstream (arus utama) gerakan yang mengalir dalam nadi kader. Ke muara ulul albab ini-lah kita menuju dan lalu bertumpu darinya. Dengan kesadaran inilah kita lahir, kita berkembang, dan kita mengabdi tanpa batas henti. Dengan begitu, kita akan gapai cita-cita peradaban yang lebih “waras”. Untuk itu, penting untuk memahami landasan dan menifestasi kita sebagai kader ulul Albab. Dan yang menjadi pertanyaan krusial adalah; kenapa mesti ulul albab yang menjadi pilihan jati diri kader kita?!<br />Selain kesadaran normatif (teks Al-Qur’an), kesadaran realitas (sosio-historis) pula lah yang mendorong kita untuk “menjadi” kader ulul albab. Sehingga pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan normatif terhadap terma ulul albab, dan pendekatan realis yang menjadi pendorong bagi kita untuk memahami terma ulul albab. <br /><br />Memaknai Ulul Albab<br />Perhatian Al-Qur’an terkait terma ulul Albab ini, cukup signifikan. Terdapat 16 ayat yang yang tersebar dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an membahas dan mengakomodasi terma ini. Semua terdaftar dalam bentuk Jamak (plural) dan selalu saja terkait dengan konteks penggunaan dalam kalimat. Selain Albab, terma lain yang “mirip” adalah terma shadr, qalb, fu’ad, dan juga a\’aql (selalu saja menggunakan bentuk fi’il).<br />Lokus memuat terma ini berkaitan dengan “orang yang di beri hikmah (QS. Al-Baqarah: 269), orang yang sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf: 111), kritis dalam mendengarkan pembicaraan/pandangan/pemikiran orang lain, tidak taklid (QS. Az-Zumar: 18), bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu (QS. Ali-Imran: 7), senantiasa merenungkan ciptaan Allah di langit dan bumi (QS. Ali-Imran: 190), sanggup mengambil pelajaran dari kitab yang di wahyukan oleh Allah (QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54), senantiasa konsisten –walau sendirian- dalam mempertahankan keyakinan dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (QS. Al-Maidah: 100). Selain itu, indicator-indikator lain Ulul Albab ialah berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (QS. Ibrahim: 52), memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan oleh Allah, bersabar, memberi infaq, dan menolak kejelekan dengan kebaikan (QS. Ar-Ra’d: 19-22), bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku dan sujud ke hadapan Allah (QS. Az-Zumar: 9), banyak berdzikir (QS. Ali-Imran: 190-191), dan terakhir, ia tidak takut pada siapa pun, ia hanya takut pada Allah saja (QS. At-thalaq: 10; QS. Ar-Ra’d: 21).<br />Secara terminologis, kata Ulu adalah bentukan dari jamak yang punya arti “si pemilik” (hanya laki-laki). Dan uulaatu (shohibaatu) teruntuk hanya perempuan. Albab adalah bentuk jamak (plural) dari Lubb, yang bermakna inti, isi, sari, terpenting atau terbaik. Bisa juga mempunyai pengertian akal atau hati . Lubab adalah intisari dari segala sesuatu, murni bersih atau pilihan. Definisi ini di rasionalisasikan dengan umpama bahwa ketika kita akan memakan buah kelapa, kita membuang, mengeluarkan atau mengupas bagian luarnya, sehingga isi kelapa atau isi buahnya terambil. Isi kelapa tersebut dinamakan Lubb. Jadi Lubb terkandung makna aktif; mengeluarkan isi, bagian dalam dari sesuatu. Bisa juga bermakna dinamis; menyaring atau proses memiliki (mendapatkan) sesuatu hal . <br />Lubb juga bermakna pemikiran jernih yang terbebas dari kekeliruan atau kecacatan dalam berpikir. Pemikiran jenis inilah yang mampu menyingkap rahasia-rahasia dan hikmah dibalik hukum yang diturunkan Allah. Berpikir murni inilah yang melatarbelakangi firman Allah (QS. Al-baqarah: 269) mengaitkan kata hikmah dengan Ulul Albab . Keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab melingkar dalam kepemilikan hikmah, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan . Berangkat dari pengertian bahwa Lubb merupakan saripati sesuatu, semisal kacang yang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai Lubb. Jadi Ulul Albab ialah orang-orang yang memiliki akal murni yang tidak di selubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir . Seiring dengan itu, Prof. Wahbah Juhaili memaknai Ulul Albab dengan Ashab al-’Uqul (komunitas orang-orang cerdas) <br />Dalam terminologi tasawuf, mengenal istilah Shadr, Qalb, Fu’ad, dan Lub. Keempat istilah ini, dijadikan beberapa tingkatan hati, hati yang paling luar adalah Shadr; lebih dekat hubungannya dengan otak, metabolisme fisik, dan mekanisme hormonal lainnya. Dan Lubb adalah tingkatan paling dalam, tingkatan yang paling luar biasa karena kalau perjalanan sudah sampai pada hati yang paling dalam, kita menemukan sirul asrar, rahasia dari segala rahasia. Oleh karena itu, Ulul Albab adalah orang yang perjalanannya hampir ke hati yang paling bawah, yang dapat menangkap cahaya Allah SWT. Lubb adalah gunung yang paling agung dan lapisan yang paling selamat. Ia seperti sumbu yang tidak bergeser dan bergerak. Ia menjadi sumber tegaknya agama. Seluruh cahaya kembali kepadanya dan memagari sekitarnya. Cahaya-cahaya tersbut tidak sempurna dan kekuasaannya tidak terwujud kecuali dengan tegaknya lubb. Cahaya tersebut hanya bisa kokoh dan hanya ada bila lubb ada. Ia merupakan sumber cahaya tauhid dan cahaya penyaksian keesaan-Nya. Dengannya hakikat penghambaan yang murni dan cahaya pengagungan menjadi nyata. Lubb adalah cahaya yang bersambung, tumbuhan yang tertanam, dan akal yang terbentuk. Ia buka seperti berbagai bentuk susunan di tubuh yang berada di dalam. Tetapi ia adalah cahaya yang tersebar seperti sesuatu yang orisinil. Lubb, yang merupakan akal, tertanam di ladang tauhid . <br />Ilustrasi yang menghubungkan antara shadr, qalb, fuad, dan, lubb, adalah lingkaran stasiun berlapis bertingkat sebagai suatu kesatuan utuh. Tiap-tiap stasiun mewadahi cahaya sendiri. Dada (shadr), sebagai lingakaran terluarnya, mewadahi cahaya Islam (praktik ibadah dana amal shaleh). Ia adalah inti dari tindakan. Sebagai bagian terluar, seperti halnya halaman rumah, telaga, tidak terbebas dari aman, bersih, dan kenyamanan, selalu saja ada gangguan. Melalui tingkatan inilah tempat masuk dan keluarnya kebaikan dan keburukan. Ia akan datang dan pergi. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya mengandalkan shadr. Lapisan kedua, qalb, adalah tempat tempat pengetahuan yang lebih mendalam dan keimanan terhadap ajaran spritual dan keagamaan yang murni. Di sinilah letaknya cahaya iman. Ia juga tempat kesadaran kita akan kehadiran Tuhan; sebuah keadaran yang mengarahkan kita pada transformasi pemikiran dan tindakan. <br />Namun keimanan dalam hati (qalb), kadang bisa saja meningkat dan melemah. Maka disinilah pentingnya fuad sebagai lapisan ketiga. Fuad sebagai hati-lebih-dalam mewadahi cahaya makrifat ayau pengetahuan akan kebenaran spiritual. Seakan merasakan kehadiran Tuhan dengan sangat jelas, seakan-akan kita melihat Tuhan berada di hadapan kita. Dan inti dari lapisan itu adalah lubb. Lubb adalah tempat cahaya tauhid dan cahaya pengesaan. Ia adalah cahaya yang paling sempurna dan penguasa yang paling agung. Ia berada di luar kata-kata, teori-teori (meta-teori), dan pemikiran-pemikiran. Ia tak terhingga. Dari lubb inilah terpancar kebaikan, kebajikan, dan kebijakan. Yang kemudian ditransformasikan melalui lapisan-lapisan lain di atasnya.<br />Dari pemaparan di atas, asumsi awal mengatakan bahwa albab hanya digunakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan kepada intisari yang berkumpul dari beberapa satua; semua berkumpul dalam muara lubb, tidak bisa dipisahkan. Dan tiap satuan-satua-satuan itu memiliki satauan-satuan turunan lainnya. Demikian seterusnya. Seperti halnya penggunaan kata ‘alamin (alam semesta) yang meliputi padanya bumi, langit, beserta isinya meliputi benda-benda angkasa. Demikian pula dengan terma ulul albab. Di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai manifestasi (perwujudan) ulul albab, sebagaimana disebutkan dalam 16 ayat Al-Qur’an di atas.<br /><br />Paradigma gerakan<br />Sebagaimana disebutkan bahwa muara lubb itu adalah tempat cahaya tauhid dan pengesaan. Maka puncak dari kesadaran ulul albab adalah TAUHIDULLAH. Sehingga inilah yang menjadi paradigma dan sekaligus ideologi gerakan Hima Persis. Paradigma tauhid ini-lah yang secara prinsip menggerakkan potensi kader. Tauhid selayaknya tidak difahami secara parsial; hanya bersifat transendent “keesaan Tuhan”. Keesaan Tuhan pun harus difahami sebagai keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialitas, keagamaan dan keduaniawian, sosial dan individual. Tauhid seharusnya dipandang sebagai jaringan relasional antara Islam sebagai spiritual dan Islam sebagai sosial. Atau yang sering kita kenal dengan istilah “tauhid sosial”. Hassan Hanafi pernah mengatakan, ketika ada kerusakan atau diskontinuitas fungsi jaringan, maka keseluruhan fungsi itu tidak berjalan, kemudian manusia tidak bisa menghadirkan pandangan dunia tauhid, keadilan sosial, dengan demikian berkurang. <br />Hampir semua ayat tentang ulul albab ini mencerminkan semangat tauhid yang terpancar/ditransformasikan dalam gerakan sosial dan keilmuan (qauliyah-kauniyah). Singkat kata semangat tauhid harus meng-idolog. Di sinilah konsep Islam sebagai ideologi. Sepakat dengan Hassan Hanafi bahwa term aslama (Islam) memeiliki dua arti yaitu menyerahkan diri kepada Allah, dan bukan menyerahkan diri pada kekuasaan lain. Ini berarti pertama, sebuah penolakan terhadap segala penindasan yang tidak pasti. Kedua, sebuah penerimaan kekuasaan yang transendental, Allah SWT. <br /><br /><br />Falsafah perjuangan dan Trias Politika Hima Persis<br />Dalam mengklasifikasi perwujudan jati diri kader Hima Persis yang terkandung dalam jargon Ulul Albab, kita dapat mengambil 3 (tiga) pelajaran penting yang kita kukuhkan sebagai falsafah perjuangan kita. Lalu kita aplikasikan dalam Trias Politika Hima Persis.<br />Ilmiah >> Intelektualitas<br />1. Kader ulul Albab adalah kader yang terus berupaya mumpuni dalam keilmuan; mendalam ilmunya; kritis dalam memahami pendapat dan pemikiran orang lain. Baik dengan cara mendengarkan, menganalisa, bersikap kritis dan mengkritisi, berdiskusi. Sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran: 7,<br /> • • <br />Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat . adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.<br /><br />QS. Az-Zumar: 18<br /> <br />Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka . Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.<br /><br />2. Dia tidak tabu dengan pemikiran pemikiran turats/klasik, tidak a-historis, namun tetap terbuka dengan pemikiran-pemikiran dan inovasi yang datang kemudian dengan tetap kritis menghadapi persoalan.<br />QS. Yusuf: 111<br /> <br />Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.<br /><br />3. Melakukan riset keilmuan terhadap ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. Artinya tidak tabu dengan disiplin keilmuan yang akan diterima. Dengan begitu, ia mampu bersaing dan menumbuhkan jiwa keilmuan dalam dirinya, tidak inferior di hadapan orang lain, serta mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru baik dalam riset dan teknologi.<br />QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54<br /> <br />Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.<br /><br /> <br />Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir.<br /><br />QS. Ali-Imran: 190<br /> • <br />Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,<br /><br />QS. Ali-Imran: 190-191],<br /> • • <br />Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,<br />(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.<br /><br />Tipikal kader Hima Persis adalah orang yang senantiasa tidak merasa cukup dengan keilmuan yang ada. Prinsip belajar seumur hidup bukan hanya di lidah, tapi desakan sejarah, fakta keterbelakangan umat Islam dan keilmuan dan riset, dan tantangan masa depan yang penuh dengan dinamika intelektualis. Dengan kesadaran inilah, komitmen intelektual menjadi tidak terbantahkan. Sehingga menjadi watak/karakter kader yang ILMIAH melalui kerja-kerja INTELEKTUALITAS.<br />Untuk itu, missi pertama Hima Persis adalah “membentuk kader-kader ulama intelektual”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERDISKUSI.<br />Progresif – Revolusioner >> Transformasi Sosial - Perubahan Iklim Politik<br />1. Dengan keilmuan yang dimiliki, keyakinan, dan pengalaman, Kader ulul albab selalu tegak berdiri di tengah-tengah umat mengasah kepekaan sosial, memperbaiki ketimpangan sosial dengan melakukan pendampingan, pembinaan, advokasi, melakukan kerja-kerja sosial, investasi sosial, dan melakukan pengabdian sosial. Demi tegaknya keadilan di tengah-tengah umat serta persatuan ummat.<br /><br />[QS. Ar-Ra’d: 19-22],<br /><br /> <br />Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,<br />(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,<br />Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.<br />Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),<br /><br /> <br />Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.<br /><br />2. Teguh dengan prinsip keyakinan, berpandangan jauh ke depan, visioner, disiplin dan memiliki kemampuan manajerial.<br />QS. Al-Baqarah: 197<br /> • • • • <br />197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.<br />[QS. Az-Zumar: 9], <br />• <br />9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.<br /><br />3. Berani mengusung kebenaran sebagai prinsip amar ma’ruf nahyi munkar dan dakwah ilallah baik di tataran masyarakat, maupun di hadapan penguasa demi sebuah perubahan.<br /><br />[QS. Ibrahim: 52],<br /> •• <br />52. (Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.<br /><br />QS. Ar-Ra’d: 21]<br /> <br />21. Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.<br /><br />[QS. Al-Maidah: 100].<br /> • <br />100. Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."<br /><br />Dengan demikian, kader Hima Persis adalah kader sosial yang teguh dengan pendirian keyakinanannya, konsisten dengan kemampuan manajerialnya untuk memimpin masyarakat di manapun ia berada, melakukan pengabdian, dan melakukan pencerdasan yang massif di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesadaran sosial inilah, komitmen sosial harus digelindingkan. Sehingga dapat menjadi watak kader yang PROGRESIF berfikir maju dan berwawasan masa depan melalui kerja-kerja TRANSFORMASI SOSIAL.<br />Untuk itu, missi kedua Hima Persis adalah “Membentuk kader-kadernya sebagai agen pembaharu”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERORGANISASI.<br />Di samping itu, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kader Hima Persis harus peka menyoal persoalan kebangsaan. Gelisah dengan moralitas bangsa yang bobrok, kritis terhadap kebijakan negara yang cenderung memarjinalkan dan merugikan ummat, dan melakukan kerja-kerja politik etik di hadapan penguasa. Dengan meningkatnya kesadaran politik inilah, harus ada jiwa-jiwa REVOLUSIONER demi tegaknya kehidupan bernegara yang adil, makmur, dan terhndar jauh dari imperialisme-imperialisme baru. PERUBAHAN IKLIM POLITIK harus lebih mensejahterakan dan tidak memasung hak-hak warga.<br />Untuk itu, missi ketiga Hima Persis adalah “Melakukan amar ma’ruf nahyi munkar”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA MENGABDI.<br />Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, bahwa keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab bermuara dan melingkar dalam ”hikmah” (kebijaksanaan). Inilah puncak tertinggi tertinggi gelar kita. <br />Kata al-Hikmah dalam al-Quran disebutkan 20 kali di tempat yang berbeda. Diantaranya QS. al-Baqarah:269, QS. an-Nahl:125, QS. al-Ahzab:34, QS. Shad:20, QS. Ali Imran:164, dan QS. an-Nisa:54. Makna al-Hikmah dalam bahasa Arab berarti besi kekang atau besi pengekang, yaitu pengendali. Hikmah dalam pengertian bahasa (etimologis) ini kemudian digunakan sehingga hikmah diartikan sebagai “sesuatu yang dapat mengendalikan manusia agar tidak bertindak dan melakukan perbuatan, perilaku, dan budi pekerti yang rendah, tercela, dan tidak terpuji”. Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab , menjelaskan bahwa dalam istilah hikmah terkandung makna ketelitian dan kecermatan dalam ilmu dan amal. Orang yang memiliki hikmah dalam arti tersebut akan terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan bermanfaat. Al-Bazdawi pun mengatakan demikian, begitu pula dengan pendapat Malik dalam kitabnya, Mukhtashar Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlih .<br />Hikmah juga dapat bermakna filosofis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridha. Menurutnya, hikmah adalah pengetahuan mengenai akibat, hakikat, manfaat, dan faidah dari sesuatu. Pengetahuan tersebut mendorong atau memotivasi pemiliknya untuk melakukan sesuatu yang baik dan terpuji secara baik dan benar. Ibnu Sina (w. 328 H/1078 M) mengungkapkan pula, bahwa hikmah adalah usaha untuk menyempurnakan diri manusia dengan bentuk konsep-konsep tentang segala sesuatu serta pengujian hakikatnya, baik secara teoritis maupun praktis-empiris sesuai dengan kemampuan manusia. <br />Ahli tafsir pun mengemukakan tentang Hikmah, seperti al-Raghib al-Isfahani bahwa hikmah adalah perolehan kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal yang berasal dari Allah dan manusia. Jika berasal dari Allah, ia adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada dan kebenarannya itu benar. Jika berasal dari manusia, ia merupakan pengetahuan tentang segala yang ada serta pengamalannya dalam berbagai kebajikan. Sebagaimana tersirat dalam QS. Shad : 20. Imam al-Maraghi -pun berkata tentang hikmah, bahwa ia adalah ilmu yang bermanfaat, yang membekas dalam diri yang bersangkutan. Sehingga ilmu tersebut mengarahkan kehendak untuk mengamalkan apa yang telah dianjurkan, yang hal ini akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.<br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas adalah orang yang diberi ilmu (pengetahuan) dan berusaha mencapai kesempurnaan diri dengan mengamalkannya sehingga ia memperoleh faedah dan manfaat di dunia dan akhirat; UNTUK ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM SEMESTA. Sehingga sampailah kepada tujuan kiprah Hima Persis, yaitu membentuk insan akademis pembaharu yang progresif-revolusioner sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan diridlai Allah SWT.<br />Penutup<br />Kehadiran Hima Persis sebagai organisasi kader-otonom Persatuan Islam adalah jiwa-jiwa baru yang terlahir atas kesadaran sejarah. Keberadaannya di tengah-tengah umat berefek double; di satu sisi ia berproses menjadi dirinya sendiri, di sisi lain ia berperan aktif dalam menyikapi persoalan keumatan-kebangsaan. Ia melihat, ia mendengar, mendiskusikan, berimajinasi, lalu bergerak di tengah-tengah kemandegan berfikir, keterbelakangan keilmuan, ketidakadilan, kebodohan, inferiorisme, bobroknya moral bangsa, kemiskinan, penjajahan, dan ketertuduhan. Karena Islam adalah penyelamat zaman untuk dapat lebih ”waras”. Islam hadir di tengah-tengah umat untuk menyinari, memancarkan cahaya ketenangan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kemenangan; tidak hanya di akhirat, namun mulai saat ini, di sini, di dunia ini. Dan kader Hima Persis (harus) menyadari dan siap untuk menampilkan semua itu. Bagi kita, hidup adalah berdiskusi, berorganisasi dan mengabdi. Selamat berdiskusi...desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-88199689480374575412010-01-06T08:09:00.000-08:002010-01-06T08:14:14.440-08:00KANDUNGAN ISI AL-QUR'AN; TEMA TENTANG ALAM SEMESTAOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Al-Qur'an merupakan himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW. Ia adalah kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan bathin. Allah menyebut Al-Qur'an dalam berbagai ayat, diantaranya, sebagai tibyan, al-Furqan, al-Zikr, al-Kitab, Syifa,dan huda. <br />Dalam mencapai fungsi di atas, terutama sebagai huda, Al-Qur'an tidak hanya menyebut dasar-dasar peraturan hidup manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam interaksinya dengan sesama manusia, tetapi ia juga menyebut hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan kealaman. Memang pada dasarnya Al-Qur'an merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang keagamaan saja. Ia menghimpun bermacam-macam persoalan seperti perekonomian, falak, tumbuhan, manusia, alam semesta dan lainnya, demikian juga halnya dengan informasi tentang penciptaan dan fenomena alam semesta dalam Al-Qur'an. Masalah ini tidak terhimpun dalam satu kesatuan fragmen, tetapi ia diungkapkan dalam berbagai ayat-ayat yang tersebar dalam beberapa surat dalam Al-Qur'an. Perlu penulis tekankan di sini bahwa pembahasan tentang alam ini berkaitan dengan alam semesta, jagat raya, yang dalam bahasa Inggrisnya diistilahkan dengan universe.<br />Quraisy Syihab mengatakan bahwa Al-Qur'an menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan, an sebagainya, agar manusia mendapat manfaat berganda: (a) ia menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan, dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup. <br />Untuk itu, perlu diungkap di sini peta kandungan isi Al-Qur'an tentang alam semesta, mulai dari istilah alam dalam Al-Qur'an, bentuk-bentuk pengungkapan penciptaan dalam Al-Qur'an dan proses penciptaan dan fenomena alam semesta. Ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal dan pandangan dasar mengenai Al-Qur'an pada dimensi kandungan isi khusus berhubungan dengan tema tentang alam semesta.<br />B. ALAM SEMESTA DALAM AL-QUR'AN<br />Dalam Al-Qur'an, sedikitnya ada beberapa terma sebagai asumsi awal yang mempresentasikan kata alam. Secara lebih luas, pembicaraan tentang realitas alam semesta dalam Al-Qur'an menurut Tanthawi Jauhari berjumlah 750 ayat. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat. Diantara terma sentral dalam pembahasan ini adalah 'alam dan al-samawati wa al-ardl. Di bawah ini akan dikupas mengenai dua terma tersebut.<br />1. 'Alamin.<br />Istilah alam atau dalam bahasa Arab adalah 'alam dalam Al-Qur'an hanya datang dalam jamak 'alamin, disebut sebanyak 73 kali yang disebar dalam 30 surat. Lokus yang memuat kata ini adalah: <br />Al-Syu'ara sebanyak 12 kali, Al-A'raf sebanyak 7 kali: Ali Imran, dan Al-An'am sebanyak 5 kali: Al-Baqarah dan Al-Ankabut sebanyak 4 kali: Al-Maidah, Al-Anbiya, Al-Shaffat dan Ghafir sebanyak 3 kali: Yunus, Al-Naml, Al-Jasiyat, Al-Takwir sebanyak 2 kali: Al-Fatihah, Yusuf, Al-Hijr, Al-Furqan, Al-Dukhan, Al-Waqi'at, Al-Hasyr, Al-Qalam, Al-Haqat, Al-Qashash, Rum, Al-Sajdat, Al-Zumar, Fushilat, Al-Zukhruf, Al-Shad, Muthaffifin masing-masing 1 ayat.<br />Menurut Raghib, dalam bentuk mufrad, 'alam adalah istilah untuk benda (falak) serta isinya yang meliputi materi-materi (jawahir) dan sifat-sifatnya (a'radl). Demikian pula dalam Lisan Al-Arab bahwa ‘alam adalah keseluruhan ciptaan (al-khalq kulluh), dengan kata lain apa-apa yang dikandung oleh perut semesta (ma ihtawahu buthnu al-falaq). Jamaknya, ‘alamun berarti unsur-unsur ciptaan (ashnaf akl-khalq). <br />Untuk menguji hipotesa di atas, perlulah kiranya diuraikan dua konotasi kata al-‘alamin dalam Al-Qur’an.<br />a. Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh ciptaan Allah.<br />Pemahaman ini diambil dari ungkapan QS. Al-Fatihah: 2:<br /> <br />Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.<br />Dari kata al-’Alamin ini sedikitnya penulis melihat beberapa penafsiran yang dilakukan beberapa ahli yang cukup sedikit berbeda, diantaranya:<br />1) Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh ciptaan Allah baik yang berakal maupun yang tidak berakal, yang nyata maupun yang ghaib.<br />Pemahaman ini dikemukakan oleh Imam Suyuti dalam tafsirnya yang menyatakan bahwa Rabb al-‘alamin pada surat Al-Fatihah itu bermakna Rabb manusia, Jin, Malaikat, Syetan, Rabb ciptaan dan Rabb setiap sesuatu (رب الإنس والجن والملائكة والشياطين ورب الخلق، ورب كل شيء). <br />Pengungkapan kata dengan bentuk jamak dikarenakan bahwa setiap jenis yang merupakan bagian dari 'alamin ini dinamakan 'alam, seperti halnya alam manusia, alam air, dan alam neraka. Diriwayatkan bahwa Allah memiliki tidak lebih dari 10.000 alam. <br />2) Al-‘Alamin yang berkonotasi makhluk yang berakal atau yang mendekati berakal, yang nyata maupun yang ghaib yaitu jin, manusia dan bukan yang lainnya.<br />Pemahaman ini direpresentasikan kepada Ibnu Abbas bahwa al-‘Alamin dalam ayat tersebut adalah Jin dan manusia, bukan yang lain seperti halnya binatang. <br />Hal ini sesuai dengan QS. Al-Furqan: 1;<br /> • • <br />Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.<br />'Alamin di sini dipahami Jin dan manusia karena kedua makhluk inilah yang memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil (furqan).<br />3) Al-‘Alamin yang berkonotasi makhluk yang berakal atau yang mendekati berakal yang ada di dunia. Seperti <br />Menurut Quraisy Shihab, istilah 'alamin yang dimaksudkan Al-Qur'an adalah kumpulan yang sejenis dari makhluk Tuhan yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati makhluk yang berakal.dan inilah yang kemudian dipegang oleh Sirajuddin yang sangat kental dipengaruhi oleh pendapat Muhammad Abduh. Arti ini di dasarkan pada kata 'alamin yang menunjukkan jamak mudzakkar yang berakal. Sebab itu dikenal alam malaikat, alam manusia, alam jin, alam tumbuhan, dan lainnya, tetapi tidak dikenal istilah alam batu dan alam tanah, karena batu dan tanah tidak memiliki criteria di atas. <br />4) Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh spesies yang ada di dunia, benda hidup maupun benda mati.<br />Menurut Mujiono, dalam konotasi seluruh spesies ini, jumlah kata al-‘alamin berjumlah 46 tempat. Dengan rincian berupa frase possesif (idlafiyyah) sejumlah 41 tempat, seluruhnya adalah frase rabbun al-’alamin, dan berupa gabungan kata dengan kata depan sebanyak 5 kali. <br />Kata rabbun merupakan salah satu nama baik dan predikat khusus bagi Allah SWt, bahkan kata tersebut hanya digunakan untuk Tuhan semata, kecuali dalam keadaan khusus. Sedangkan kata al’alam yang berarti nama, dunia, organisme dan spesies. Oleh karena itu, al’alamin berarti banyak spesies yaitu meliputi seluruh spesies biotik seperti manusia, binatang, mikroba, dan spesies abiotik seperti tumbuh-tumbuhan, benda mati, mineral dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan QS. 17: 14; Dan lihat juga QS. 24: 41; dan 24: 16.<br />Adapun penyebaran kata seluruh spesies, al-’alamin yang digabung dengan kata depan berjumlah 5 kali, yaitu dalam QS. 2: 251; 3: 37; 3: 106; 29: 6; dan 37: 79. sebagai contoh, dalam QS. 2: 251 difirmankan:<br /> •• <br />Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.<br />Dikatakan demikian sebab berdasarkan kontes wicaranya semua tidak hanya berkaitan dengan manusia melainkan berbicara dengan seluruh spesies. <br />Dalam konteks ini, Al-Raghib dengan mengutip Ibnu Abbas membagi alam ini kepada dua, ada alam besar (kabir) ada alam kecil (shaghir). Alam besar adalah alam semesta beserta isinya, sedangkan alam kecil adalah manusia, karena manusialah yang menjadi representasi (haiat) dari alam itu. <br />b. Al-‘Alamin yang berkonotasi (seluruh) spesies manusia.<br />Sedangkan kata al-‘alamin yang berkonotasi makhluk berakal yakni spesies manusia diungkapkan dalam Al-Qur’an sejumlah 25 kali. <br />Secara teknis ke-25 kali penggunaan tersebut seluruhnya digolongkan dengan beberapa kata depan. Sebagai sampel dapat disajikan sebabagi berikut:<br />QS. 2: 47, 3: 96, 3: 97, 7: 80. Al-Syu’ara: 165.<br /> <br />Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS. 2: 47)<br />Indikasi utama dalam pembicaraan ini adalah bahwa pembicaraan dan kata kunci yang digunakan dalam konteks pembicaraannya adalah tepat untuk arti spesies manusia sebagai makhluk berakal. Kata kunci tersebut antara lain adalah kata hidayah, hudan, peringatan, dzikran, nurani, shudr, risalah, rasulan dan sebagainya. Bahkan ketika berbicara surat Al-Baqarah/2: 47, Al-Raziy menmbahkan bahwa fadldlaltukum ‘ala al-‘alamin di situ terbatas pada masa bani Israil dahulu kala ketika para Nabi itu ada. <br />Dari pemaparan di atas, ada hal yang menarik dari yang diungkapkan Al-Thabari dengan mengutip Abu Ja’far bahwa: pengungkapan Al-‘Alam dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak, tidak ada satupun lafadl yang bernadakan bentuk singular (wahid). Dan ‘alam adalah sebuah nama untuk unsur-unsur penghuninya. Setiap unsur dari penghuni itu adalah ‘alam. Dan penghuni masing-masing zaman itu adalah alam zaman itu. Dengan demikian, manusia adalah alam, dan penghuni masing-masing zaman adalah ‘alam zaman itu. Demikian juga dengan alam Jin. Dan digunakannya bentuk jamak karena ‘alam adalah kumpulan dari msesuatu yang beragam. Maka, dijadikannya ‘alam sebagai bentuk singular, ia adalah kumpulan dari sesuatu yang gradual. Atau dengan kata lain ‘alam berbentuk mufrad bermakna jamak.<br />Dalam Al-Qur’an secara eksplisit dikatakan bahwa al-‘alamin adalah Al-Samawat wa Al-Ardl wa ma Bainahuma, yaitu dalam firman-Nya:<br /> <br />Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". (QS. Al-Syu’ara: 23-24)<br />Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan Al-Samawat wa Al-Ardl wa ma Bainahuma dalam Al-Qur’an?.<br /><br />2. Al-Samawati wa Al-Ardl wa Ma Binahuma dalam Al-Qur'an<br />Pembahasan lain tentang alam dalam Al-Qur'an diungkapkan dengan menggunakan istilah al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma yang berjumlah sebanyak 20 kali, tersebar dalam 15 surat. Lokus yang memuat istilah dimaksud adalah surat Al-Maidah dan Shad sebanyak tiga kali, Al-Dukhan sebanyak 2 kali, Al-Hijr, Maryam, Thaha, Al-Furqan, Al-Syu'ara, Al-Rum, Al-Sajdat, Al-Shaffat, Al-Zukhruf, Al-Ahqaf, Qaf, Al-Naba masing-masing 1 kali. <br />Seperti QS. Al-Maidah: 17;<br /> • • <br />Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika dia hendak membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.<br />Juga QS. Maryam: 64-65;<br /> • <br />64. Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa. 65. Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?<br />Untuk mengetahui pengertian kata tersebut seutuhnya perlu dilihat dalam konteks ayat sebeluknya; surat Maryam: 84 yang artnya kepunyaan Allah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya... Dengan demikian secara secara umum atau secara keseluruhan, kata al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma adalah kepunyaan Allah dan Dia yang mengaturnya sesuai dengan ketentuann-Nya. Oleh sebab itu, Sirajuddin menganggap kata al-samawat wa al-ardi wa ma bainahuma dalam ayat-ayat di atas itu yang mengacu pada alam semesta. Kata ini mengacu pada alam fisik dan non-fisik atau ghaib, seperti alam malaikat, jin, roh dan lainnya. <br />Dengan demikian yang dimaksud dengan alam semesta adalah seluruh alam, baik fisik maupun non-fisik. Pandangan ini sejalan dengan isyarat yang terkandung dalam kata al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma, yang berarti banyak alam, yang berbeda bentuk dan hukum-hukumnya antara satu dengan yang lainnya. Dengan istilah lain bahwa yang dimaksudnya bukanlah alam yang didiami manusia saja, termasuk alam non-fisik atau shadow world. <br />A. Al-Samawat<br />Secara lebih detail, penggunaan al-sama’ dan derivasi bentuk jamaknya yakni al-samawat dalam Al-Qur’an secara kuantitas berjumlah 387 kali. Bentuk tunggal yakni al-sama’ diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 287 kali dan bentuk jamak yakni al-samawat diulang sebanyak 177 kali. Pada dasarnya, kata sama’ berarti segala sesuatu yang ada di atas. Adapun sampel secara kontekstual terma al-sama’ dan derivasinya dengan berbagai konotasinya adalah;<br />a. Berkonotasi jagad raya dalam QS. 2:22, <br /> • <br />Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.<br />b. Berkonotasi ruang udara, seperti dalam QS. 16-79.<br /> • <br />Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.<br />c. Berkonotasi ruang angkasa, seperti dalam Qs. 25: 61.<br /> <br />Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.<br />Meskipun data pengungkaan Al-Qur’an tentang terma al-sama’ bervariasi konotasinya yakni berkonotasi ruang udara, ruang angkasa dan ruang jagad raya. Namun jika dicermati keseluruhan, konotasi tersebut bermuara pada alam jagad raya. Karena jagad raya terdiri dari ruang udara dan ruang angkasa. <br /><br /><br />B. Al-Ardl<br />Demikian juga kata al-ardl. Dalam Al-Qur’an, secara kuantitas penggunaan kata tersebut sebanyak 463 kali baik muncul secara sendirian atau digabungkan dengan kata tugas. Pada dasarnya kata al-ardl ini berarti segala sesuatu yang berada di bawah sebagaimana langit berada di atas. Secara kualitas, kata al-ardl memiliki dua variasi makna. Pertama bermakna lingkungan planet bumi yang sudah jadi dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme atau jasad renik, wilayah tempat kehidupan manusia dan fenomenba geologis. Kedua, bermakna lingkungan planet bumi dalam proses menjadi yakni proses penciptaan dan kejadian planet bumi. Adapun penyebaran ayat ekologis yang menggunakan kata al-ardl dengan berbagai konotasinya adalah sebagai berikut:<br />a. Berkonotasi niche ekologis bumi, dalam QS. 2: 164.<br />• • •• • <br />Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.<br />b. Berkonotasi lingkungan hidup, QS. 2: 22, 5: 21, 7: 24, 7: 100, 14: 14.<br /> • <br />Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.<br />c. Berkonotasi ekosistem bumi, QS. 16: 15.<br /> <br />Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,<br />d. Berkonotasi daur ulang dalam ekosistem bumi, QS. 22: 5 dan yang semakna.<br />• •• <br />Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang Telah kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.<br />Tetapi kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Qur'an sama dengan kitab ilmu pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likuli syaiin (QS. 16:89), bukan bermaksud menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Qur'an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrawi. Pada umumnya, ayat-ayat kauniyah ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan, mempelajari, dan meneliti alam semesta. Rujukan ini bertujuan mengantarkan manusia agar mereka menyadari bahwa di balik "tirai" alam semesta ini ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Esa, yakni Allah SWT.<br /><br />C. BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN PENCIPTAAN DALAM AL-QUR'AN<br />Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah memformulasikan setiap firman-Nya dalam bahasa umat masing-masing. Ini dimaksudkan Allah untuk memudhkan para Rasul menjelaskan misinya dengan bahasa yang mudah difahami kaumnya. Serta menggunakan bahasa Arab, yang keistimewaannya berupa redaksinya yang ringkas, teliti lagi padat serta kaya akan isi dan makna yang dalam. <br />Dalam mengungkapkan pengertian penciptaan, Al-Qur'an menggunakan beberapa terma, yaitu:<br />1. Khalq<br />Salah satu kata yang berarti penciptaan dalam Al-Qur'an adalah khalq. Perubahan bentuk atau tashrifnya dalam kumpulan wahyu Allah sebanyak 261 kali yang tersebar dalam 75 surat. Lokus pemuatannya ialah surat al-A'raf dan Al-Nahl masing-masing 11 kali; surat al-Mukminun, Al-Rum, dan Yasin masing-masing 10 kali; Al-Zumar 8 kali, Ali Imran, Al-An'am an Al-Isra masing-masing 7 kali; Al-baqarah, Yunus, Al-Hijr, Al-Furqan, al-Shaffat, Shad, Al-Zukhruf masing-masing 6 kali, Al-Ra'd, Al-Ankabut, Luqman, Fathir masing-masing 5 kali; Al-Nisa, Al-Taubah, al-Kahfi, Al-Anbiya, Al-Hajj, Al-Syu'ara, Al-Sajdat, Ghafir, Fushilat, Al-Ahqaf, Qaf, dan Al-Mulk masing-masing 4 kali; Al-Maidah, Ibrahim, Thaha, Al-Thur, Al-Rahman, Al-Waqi'ah masing-masing 3 kali; Hud, Maryam, Al-Nur, Al-Naml, A-Syura, Al-Dukhan, Al-Jasiyat, Al-Dzariyat, Al-Taghabun, Al-Ma'arij, Nuh, Al-Insan, 'Abasa, Al-Thariq dan Al-'Alaq masing-masing 2 kali; Al-Qashash, Saba, Al-Hujurat, Al-Najm, Al-Qamar, Al-Hadid, Al-Hasyar, Al-Thalaq, Al-Qalam, Al-Mudatsir, Al-Qiyamat, Al-Mursalat, Al-Naba, Al-Nazi;at, Al-Infithar, Al-A'la, Al-Ghasiyat, Al-Fajr, Al-Balad, Al-Lail, Al-Tin, dan Al-Falaq maing-masing 1 kali. <br />Dari bentukan kata khalq dia atas, ada sebanyak 11 kali yang tersebar dalam 7 surat. Penekanan artinya selain penciptaan, kendatipun arti ini masih bersumber dari arti penciptaan.<br />a. Ikhtilaq, yang berkonotasi perkataan dusta atau dusta yang diada-adakan.<br />Bentukan pertama dengan kata ikhtilaq (masdar bab tsulatsi mazid dua huruf). Menurut Ibnu Manzhur, ikhtilaq berarti ikhtirash dan kidzb yang berarti dusta. Kata ini terekam dalam surat Shad/38: 7.<br /> <br />Kami tidak pernah mendengar hal Ini dalam agama yang terakhir; Ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,<br />b. Khalaq, yang berkonotasi keuntungan.<br />Menurut Al-Raghib, khalaq berarti keuntungan yang diupayakan oleh manusia. Bentukan kedua dengan kata khalaq (sifat al-musyabahat) sebanyak 6 kali. Lokus yang memuat kata ini adalah surat Al-Baqarah/2: 102 dan 200 dua kali, Ali Imran/3: 77 satu kali, dan At-Ataubah/9: 69 tiga kali. Seperti;<br /> <br />Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 102)<br /> • •• <br />Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.( Al-Baqarah/2: 200)<br /><br />c. Khuluq, yang berkonotasi akhlak atau budi pekerti. <br />Bentukan yang ketiga dengan kata khuluq (isim), lokus yang memuatnya adalah surat Al-Syu'ara/26: 137 dan Al-Qalam/68: 4 masing masing satu kali.....<br /> • <br />(agama kami) Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Al-Syu'ara/26: 137).<br /> <br />Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Al-Qalam/68: 4)<br />d. Mukhallaqat, yang berkonotasi ciptaan yang sempurna. <br />Bentukan yang keempat dengan kata mukhallaqat (isim). Kata ini tertuang dalam surat Al-Hajj/22: 5 sebanyak 2 kali.....<br /> •• <br />Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan.<br />Khalq artinya al-taqdir al-mustaqim (Ukuran atau ketentuan yang tetap). Hal ini berarti penciptaan dengan menggunakan kata khalq menurut asalnya mengharuskan adanya substansi sebagai bahannya. <br />Untuk menangkap pengertian kata khalq dalam Al-Qur'an perlu diteliti redaksi ayat-ayat yang menggunakannya. Dilihat dari obyek pemakaian kata ini, Maka, pengertiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:<br />a. Apabila objeknya selain alam semesta, maka ternyata kata ini berarti penciptaan sesuatu dari materi yang sudah ada (ijadu l-syai' min al-syai'). Adapun obyek yang dimaksd ditemukan dalam Al-Qur'an terdiri atas:<br />1) Penciptaan manusia.<br />Dalam Al-Qur'an penciptaan manusia (Adam dan keturunannya) dari materi yang sudah ada, disebutkan Allah secara eksplisit sebanyak 28 kali yang tersebar dalam 24 surat. Lokus pemuatannya, ialah surat Al-Hijr/15: 26, 28, dan 33; Al-Mukminun/23: 12 dan 14; Shad/38: 71 dan 76; Ali Imran/3: 59; Al-An'am/6: 2; Al-A'raf/7: 12; Al-Nahl/16: 4; Al-Isra/17: 61; Al-Kahfi/18: 37; Taha/20: 55; Al-Hajj/22: 5; Al-Furqan/25: 54; Al-Rum/30: 20; Al-Sajdah/32: 7; Fathir/35: 11; Al-Shaffat/ 37: 11; Ghafir/40: 67; Al-Rahman/55: 14; Al-Qiyamat/75: 38; Al-Insan/76: 2; Al-Mursalat/77: 20; 'Abasa/ 80: 19; Al-Thariq/86: 5-6; dan Al-'Alaq/96: 2. <br /> • <br />Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (Al-Hijr/15: 26)<br />2) Penciptaan Iblis/Jin<br />Iblis atau Jin diciptakan Allah dari materi yang sudah ada. Hal ini ditemukan dalam Al-Qur'an secara eksplisit dengan menggunkan kata khalq sebanyak 4 kali, yakni Al-A'raf/7: 12; Al-Hijr/15: 27; Shad/38: 76; dan Al-Rahman/55: 15.<br /> <br />Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Al-A'raf/7: 12)<br />3) Penciptaan jenis hewan<br />Dalam Al-Qur'an kata khalq digunakan pula kepada penciptaan jenis hewan. Informasi ini ditegaskan Allah dalam surat Al-Nur/24: 45.<br /> • • • • • • <br />Dan Allah Telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Nur/24: 45)<br />b. Apabila objek kata al-khalq itu alam semesta, maka Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang penciptaannya, apakah dari tiada atau dari materi yang sudah ada. Dlam Al-Qur'an pemakaian kata khalq kepda alam semesta sebagai objeknya ditemukan sebanyak 38 ali dalam 32 surat. Lokus pemuatannya, ialah surat Ali-Imran/3: 191; Al-An'am/6: 1 dan 73; Al-A'raf/7: 54; Al-Taubat/9: 36; Yunus/10: 3; Hud/11: 7; Ibrahim/14: 19 dn 32; Al-Hijr/15: 85; Al-Nahl/16: 3; Al-Isra/17: 99; Al-Kahfi/18: 51; Thaha/20: 4; Al-Anbiya/21:16; Al-Furqan/25: 59; Al-Naml/27: 60; Al-Ankabut/29: 44 dan 51; Al-Rum/30: 8; Lukman/31: 25; Al-Sajdat/32: 4; Yasin/36: 81; Shad/38: 27; Al-Zumar/39: 5 dan 38; Fusshilat/41: 9-12; Al-Zukhruf/43: 9 dan 38; Al-Dukhan/44: 38 dan 39; Al-Jasiyat/45: 22; Al-Ahqaf/46:3 dan 33; Qaf/50: 38; Al-Hadid/57: 4; Al-Taghabun/64: 3, da Al-Thalaq/ 65: 12. <br /> • .<br />(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ali-Imran/3: 191<br /> • • • <br />Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Al-Thalaq/ 65: 12<br />Dari pengamatan terhadap seluruh ayat-ayat di atas dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menyebutkan tentang penciptaan semesta dari materi yang sudah ada atau tiada. Namun, bila dilihat dari segi ini, maka pendapat Al-Raghib yang mengatakan bahwa kata khalq jika dipakaikan pada alam semesta, ia akan berarti penciptaan sesuatu dari bahan yang belum ada (ibda al-syai' min ghairi ashl wa ihtidza). <br />2. Bad'<br />Menurut Raghib, kata bad' berarti menciptakan atau mengadakan perbuatan tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi perbuatan tersebut adalah perbuatan baru, pertama kali dan mula-mula yang belum pernah ada sebelumnya.<br />Dalam Al-Qur'an, kata bad' dan derivasiya disebutkan sebanyak 4 kali dalam 4 surat. Lokus pemuatannya ialah surat Al-Baqarah: 117; Al-An'am:101: Al-Ahqaf: 9; dan Al-Hadid:27. Dua yang pertama mengandung arti penciptaan yang dipakaikan kepada Allah SWT. Sementara dua lainnya, penekanan artinya lain dari dua yang pertama, namun ia tidak terlepas dari artian bad' pada umumnya, karena memang berasal dari akar katanya dan ia dipakaikan kepada selain Allah. Berikut penjelasannya berdasarkan derivasinya.<br />a) Bentukan pertama adalah dengan kata Badi’ yang mengandung arti pencipta (mubdi’).<br />Badi’ adalah salah satu nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia telah membuat ada sesuatu. Dia-lah Pencipta pertama, baru. Dia yang mengawali, dan hasilnyapun sangat menakjubkan. Sebagaimana firman-Nya:<br /> <br />Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia. Al-Baqarah: 117<br /> • <br />Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu. Al-An'am: 101<br />Dengan demikian, Badi’ itu menunjukkan kepada penciptaan tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi titik tekannya pada penciptaan tanpa bahan, dan sangat mengagumkan,<br />b) Bentukan kedua adalah Bid’.<br /> • <br />Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". Al-Ahqaf: 9<br />Menurut Ibnu Manzhur kata bid’ berarti sesuatu yang pertama kali atau mula-mula (al-syai’ al-ladzi yakunu awwalan). Dengan demikian ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah Rasul yang pertama kali, sebelumnya Allah telah mengutus Rasul-rasul yang lain.<br />c) Bentukan yang ketiga adalah Ibtida’<br /> • • <br />Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. (Al-Hadid:27)<br />Menurut Ibnu Manzhur, kata ibtida’ berarti ata bi bid’ah (ia mengada-ada atau membuat bid’ah). Dengan demikian, ayat di ats menunjukkan bahwa umat Nabi Isa mengada-adakan rahbaniyyah.<br />Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa penciptaan dengan kata badi’ menunjukkan pada penciptaan yang pertama, baru yang belum ada contoh sebelumnya. Namun Al-Qur'an secara ekplisit tidak meginformasikan tentang bentuk penciptaan alam semesta yang indah, diciptakan tanpa contoh sebelumnya. Karenanya berpeluang diinterpretasikan antara penciptaan dari materi yang sudah ada dan tiada. <br />3. Fathr<br />Kata fathr dan derivasinya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 20 kali yang tergelar dalam 17 surat. Lokus yang memuanya adalah surat Al-An'am, al-Rum, dan Al-Syura masing-masing 2 kali; sementara Al-Isra, Thaha, Hud, Yasin, Al-Zukhruf, Al-Anbiya, Maryam, dan Al-Muzammil masing-masing satu kali. <br />Menurut Al-Raghib arti asal fathr adalah Al-Syaqq (pecah atau belah). Arti ini dipakaikan pula pada tafaththur dan infithar dengan segala bentuknya. Berangkat dari statemen ini, maka kata yatafaththarna (fi'l mudhri) yang terdapat dalam surat Maryam/19: 90 dan Al-Syura/42: 5; infatharat (fi'l madli) dalam surat Al-Infithar/82: 1; Futhur (jama' dari Fathr) pada surat Al-mulk/67: 3; dan kata munfathir (Ism fa'il) dalam surat al-Muzammil/ 73: 18 mengandung arti pecah belah. Namun demikian tidak semua arti asal yang terpakai dalam kelima ayat tersebut berkonotasi jelek atau kerusakan (al-fasad), akan tetapi ada diantaranya ia yang berkonotasi baik (al-ashlah). <br />Adapun kata futhur berarti al-syaqq yang berkonotasi jelek atau kerusakan seperti terekam dalam surat Al-mulk/67: 3;<br /> • <br />Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?<br />Adapun kata munfathir berarti al-syaqq yang berkonotasi baik (al-shalah) seperti firman Allah dalam QS. Al-Muzammil/73: 18;<br /> <br />Langit(pun) menjadi pecah belah pada hari itu. adalah janji-Nya itu pasti terlaksana.<br />Kemudian kata fathr juga mengandung arti penciptaan. Arti ini terdapat sebanyak 14 kali dari 20 kata fathr yang ada di dalam Al-Qur'an. Lokus yang memuatnya, yakn surat Al-An'am/6: 14 dan 79; Hud/11: 51; Yusuf/12: 101; Ibrahim/14: 10; Al-Isra/17: 51; Thaha/20: 72; Al-Anbiya/21: 56; Al-Rum/30:30; Fathir/35: 1 Yasin/36: 22; Al-Zumar/39:46; Al-Syura/42:11; dan Al-Zukhruf/43: 27. <br />Ayat-ayat tersebut terdiri dari enam kali diantaranya membicarakan penciptaan manusia. Sedangkan sisanya sebanyak 8 kali membicarakan tentang penciptaan alam semesta. Ayat yang memuat penciptaan manusia, ialah Hud/11: 51; Al-Asra/17:51; Thaha/20: 72; Al-Rum/30: 30; Yasin/36: 22; dan Al-Zukhruf/43: 27. sebagai contoh:<br /> • <br />Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang Telah menciptakanku. Maka Tidakkah kamu memikirkan(nya)?"<br />Sedangkan ayat-ayat yang memuat penciptaan alam semesta, ialah surat Al-An'am/6: 14 dan 79; Yusuf/12:101; Ibrahim/14: 10; Al-Anbiya/21: 58; Fathir/35: 1; Al-Zumar/39: 46; dan Al-Syura/42:11. Sebagai contoh, Al-An'am/6: 14;<br /> • <br />Katakanlah: "Apakah akan Aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintah supaya Aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik."<br />Sementara sisanya satu kali, yakni al-fithrat dalam surat Al-Rum/30: 30 mengandung arti bahwa Allah menciptakan potensi makrifat al-iman (pengetahuan iman) pada diri manusia berbarengan dengan waktu penciptaannya. Potensi ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri dengan bantuan daya akal dan adanya pengutusan Rasul yang akhirnya mengantarkan ia beriman kepada Allah SWT.<br /> •• •• <br />Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Al-Rum/30: 30) <br />Dalam pembahasannya, Sirajuddin melihat bahwa penciptaan manusia dan alam semesta yang mengunkan kata fathr, tidak mengandung informasi tentang bentuk penciptaan secara rinci. Akan tetapi bila dlihat pada ayat-ayat lain, penciptaan manusia berasal dari materi yang sudah ada. Sedangkan penciptaaan alam semesta pada ayat-ayat yang lain pun tidak ditemukan penjelasannya secara rinci. Penciptaaan dengan kata fahr menunjukkan penekanannya pada penciptaannya dari permulaan, sejak awal tanpa contoh sebelumnya, sedangkan bad' titik tekannya adalah tiada contoh sebelumnya. Namun tetap tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit apakah ari materi yang sudah ada atau dari tiada.<br />4. Shun'<br />Menurut Raghib, kata shun' mengandung arti membuat baik perbuatan (ijadat al-fi'l). Kata shun' penekanannya pada suatu perbuatan yang telah begitu mengakar dalam jiwa atau tabiat yang sudah sentral dan tidak mungkin berubah lagi. <br />Dalam Al-Qur'an kata shun' dengan derivasinya terulang sebanyak 20 kali yang brserakan dalam 14 surat. Lokus yang memuatnya adalah surat Thaha sebanyak 4 kali, Hud sebanyak 3 kali, Al-Maidah sebanyak 2 kali; dan surat Al-A'raf, Al-Ra'd, Al-Nahl, Al-Kahfi, Al-Anbiya, Al-Mukminun, Al-Nur, Al-Syu'ara, Al-naml, Al-Ankabut, dan Fathir masing-masing satu kali, Sebagai contoh:<br />Al-Maidah/5: 63:<br /> <br />Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.<br />Al-Naml/27: 88;<br /> • <br />Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.<br />Dalam penelitiannya, Sirajuddin menyimpulkan bahwa kata shun' mengandung arti penciptaan satu bentuk baru dari beberapa bahan atau materi yang sudah ada sebelumnya. Akan tetapi dalam Al-Qur'an, penciptaan dengan emmpergunakan kata shun' tidak ada membicarakan tentang penciptaan alam semesta atau jagat raya. <br />5. Ja'l<br />Ja'l adalah lafal atau kata-kata yang menunjukkan secara umum tentang seluruh perbuatan. Dalam Al-Qur'an kata ini dengan derivasinya terulang sebanyak 346 kali dalam 66 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Al-An'am sebanyak 19 kali; Al-Furqan: 17 kali; Al-Baqarah, Al-Isra, dan Al-Kahfi masing-masing 15 kali; Al-Nahl sebnayk 14 kali; Al-Anbiya dan Al-Zukruf masing-masing sebanyak 12 kali; Maryam dan Al-Qashash masing-msing 11 kali; A-Nisa dan Al-A'raf masing-masing 10 kali; Al-Maidah dan Yunus masing-masing sebanyak 9 kali; Al-Naml sebamyak 7 kali; Ali Imran, Al-Hajj dan Nh masing-masng sebanyak 6 kali; Yusuf, Al-Ra'd, Al-Hijr, Al-Mukminun, Yasin, Al-Waqi'at, dan Al-Naba masing-masing sebanyak 5 kali; Al-Anfal, Ibrahim, Al-Syu'ara; Al-Ankabut, Al-rum, Al-Sajdat, Saba', Al-Sfahhat, Shad, Fushshilat, Al-Syura, Al-Hadid, dan Al-Thalaq masing-masing sebanyak 4 kali; Thaha, Al-nur, Al-Ahzab, Fathir, Al-Zumar, Ghafir, Al-Jasiyat, Muhammad, Al-Mudatstsir dan Al-Mursalat masing-masing sebanyak 3 kali; Al-Taubat, Hud, Al-Fath, Al-Dzariyat, Al-Mumtahanah, Al-Qalam, dan Al-Fil masing-masing sebanyak 2 kali; Al-Ahqaf, Al-Hujurat, Qaf, Al-Hasyir, Al-Haqqat, Al-Jinn, Al-Muzammil, Al-Qiyamat, Al-Insan, Al-A'la, dan Al-Balad masing-masing sebanyak 1 kali. <br />Dalam Al-Qur'an kata ja'l mengandung beberapa pengertian:<br />1. Ja'l, apabila ia mempunyai satu subyek, maka pada umumnya berarti ijad dan khalq (mengadakan atau menciptakan). Pengertian ini terkandung dalam firman Allah diantaranya surat Al-An'am/6: 1.<br /> <br />Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.<br />Berkaitan dengan ayat ini, arti ja'l diarahkan kepada menjadikan sesuatu dari bahan atau materi yang sudah ada, atau keberadaannya terkait atas wujud lain.<br />2. Ja'l berarti menjadikan atau mengadakan sesuatu dari sesuatu (fi ijad min syai' wa takwinih). Pengertian ini terkandung dalam firman Allah, diantaranya surat Al-Nahl/16: 72; Al-Syu'ara/42: 11; dan Rum/30: 21. <br /> <br />Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Al-Nahl/16: 72)<br />3. Ja'l menunjukkan penamaan yang dusta. Arti ini terkandung dalam firman Allah, diantaranya surat Al-Hijr/15: 91; Al-Zukhruf/43: 19.<br /> <br />(yaitu) orang-orang yang Telah menjadikan Al Quran itu terbagi-bagi. (Al-Hijr/15: 91)<br />4. Ja'l apabila ia mempunyai dua obyek, maka pada umumnya ia berarti mengadakan sesuatu dengan pemindahan atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Pengertian ini terdapat pada firman Allah diantaranya pada surat Al-Baqarah/2: 22; Al-Naba/78: 10; dan Nuh/71: 16.<br /> • <br />Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah/2: 22)<br />5. Ja'l berarti menetapkan atau memutuskan sesuatu untuk sesuatu yang lain, baik benar maupun salah. Adapun keputusan yang bersifat benar sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qashash/28: 7. <br /> <br />Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.<br />Menurut penelitian Sirajuddin, kata ja'l yang terdapat dalam Al-Qur'an pada umumnya mengandung arti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Memang dalam salah satu pengertian, kata ja'al mengandung arti khalq, namun pada haklikatnya ia tetap menunjukkan adanya materi lain yang menjadi bahannya atau adanya sebab yang dapat dinalari daripadanya. Kata ini juga pada umumnya mennujukkan betapa besar manfaat ciptaan Allah tersebut. Sebagaimana shun', kata ja'l juga tidak pernah menyertai atau mengiringi kata al-samawat wa al-ardl (alam semesta).<br />6. Amr<br />Amr dengan jamak awamir berati perintah, adalah antonim kata dari nahiy dengan jamaknya nawahiy, yang berarti larangan. Sedangkan amr dengan jamak umur diantaranya mengandung arti penciptaan (amr takwiniy). Kata-kata ini terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 11 kali. Lokus pemuatannya dalah surat Ali Imran/3: 47 dan 59 sebanyak 2 kali; Al-Baqarah/2: 117; Al-An'am/6: 73; Al-A'raf/7: 54; Al-Nahl/16: 40; Al-Isra/17: 85; Maryam/19: 35; YAsin/36: 82; Ghafir/40: 68; dan Al-Qamar/54: 40 masing-masing satu kali.<br />Sebagai contoh; surat Ali Imran/3: 47;<br /> <br />Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin Aku mempunyai anak, padahal Aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah Hanya cukup Berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.<br />Dalam penelitiannya, Sirajuddin melihat bahwa penciptaan Allah dengan menggunakan amr (amr takwiniy) tergantung dengan undang-undang Allah pada sesuatu tersebut. Dengan redaksi lain, penciptaan yang berkaitan dengan alam dunia atau alam fisis tidak menunjukkan terjadi seketika, akan tetapi ia terwujud sesuai dengan sunnatullah yang telah ditetapkan Allah di alam ini. Sedangkan penciptaan yang berkaitan dengan alam non-fisis, maka ciptaan tersebut tertwujud sesuai pula dengan undang-undang Allah di alam fisis tersebut, yang berbeda undang-undangnya dengan alam fisis. <br />7. Nasy'<br />Menurut Al-Raghib, apabila kata nasy' ini bermashdar nasy' dan nasy'at, maka ia berarti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada. Sedangkan apabila ia bermashdar insya', maka ia berarti penciptaan sesuatu bisa dari ada dan bisa juga dari tiada. <br />Kata nasy' dengan derivasinya dalam Al-Qur'an terulang sebanyak 28 kali yang tersebar dalam 14 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Al-Waqi'at sebanyak 6 kali; Al-Mukminun sebanyak 5 kali; Al-An'am sebanyak 4 kali; Al-Anabut dan Al-Najm masing-masing sebanyak 2 kali; Hud, Al-Ra'd, Al-Anbiya, Al-Qashash, yasin, Al-Zukhruf, Al-Rahman, Al-Mulk, dan Al-Muzammil masing-masing sebanyak satu kali. <br />Kata yang berarti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada dapat dilihat berikut ini.<br /> • • <br />Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Ankabut/29: 20)<br /> Sedangkan kata nasy’ yang berarti penciptaan bisa dari sesuatu yang ada bisa juga dari tiada adalah:<br />Dari ada; Dia menciptkan manusia dari materi atau jasad dan immateri. Secara materi, ia diciptakan dari bahan yang sudah ada dan ia mengalami proses perkembangannya secara gradual. Sedangkan secara immaterinya (roh) tidak dijelaskan apakah dari bahan yang sudah ada atau dari tiada.<br /> <br />Dan dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, Maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya Telah kami jelaskan tanda-tanda kebesaran kami kepada orang-orang yang Mengetahui. (Al-An’am/6: 98)<br />Dari tiada; Dia menciptakan bidadari-bidadari di surga tanpa melalui proses kelahiran.<br /> • <br />Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (Al-Waqi’at/56: 35-36)<br />Menurut Sirajuddin, kata nasy' dipakaikan kepada penciptaan secara keseluruhan (materi dan immateri) baik dari ada maupun tiada. Adapun penciptaan yang berunsur materi mengalami proses gradual, sebaliknya yang berunsur immateri tidak mengalami proses gradual. <br />8. Bad`<br />Kata bad` berarti permulaan, pertama, dan yang dahulu melakukan suatu perbuatan. Kata ini dengan derivasinya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 15 kali yang tersebar dalam 11 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Yunus sebanyak 3 kali; Al-Ankabut dan Al-Rum masing-masing sebanyak 2 kali; Al-A'raf, Al-Taubat, Yusuf, Al-Anbya, Al-Naml, Al-Sajdat, Saba', dan Al-Buruj masing-masing sebanyak satu kali. Pemakaiannya kebanyakan kepada Allah dan kadang kepada selain Allah. Contoh:<br />Kepada selain Allah;<br /> • <br />Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf/12: 76<br />Kepada Allah;<br /> • <br />Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al-Ankabt/29: 19)<br />Dalam pengamatannya, Sirajuddin menyimpulkan bahwa kata bad` yang bersubyek Allah ternyata hanya dipergunakan kepada penciptaan manusia dan tidak ada hubungannya dengan penciptaan alam semesta. Dengan demikian, kata ini menyatakan penciptaan Allah dari materi yang sudah ada sebelumnya dengan penekanan penciptaan yang pertama. Sedangkan bentuknya merupakan bentuk baru yang belum ada sebelumnya. <br /><br />D. AYAT-AYAT PENCIPTAAN ALAM DALAM AL-QUR'AN<br />Al-Qur'an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam. Mengenai metafisika penciptaan, Al-Qur'an hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu hendak diciptakan olah Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya "jadilah" (QS. 2:117; 3: 47,59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Oleh sebab itu Allah adalah pemilik yang Muthlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharanya yang maha Pengasih. Penciptaannya dimulai bukan karena kebetulan, tetapi terjadi karena maksud yang pasti dari Allah. Dia tidak menciptakan sesuatu yang tidak berguna dan hanya untuk "main-main". Penciptaan dilakukan dengan hak. Dengan demikian penciptaan memiliki nilai dan kepentingan yang tinggi. <br />Mengenai penciptaan alam ini, ada beberapa catatan. Yaitu:<br />1. Hud/11: 7, diciptakan dalam enam periode.<br /> • <br />Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, ika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".<br />Dari ayat ini dapat diperoleh informasi mengenai penciptaan alam semesta berlangsung selama enam tahapan atau periode dan ‘arasy Allah ketika berlangsungnya proses penciptaan alam semesta di atas zat air atau sop kosmon (al-ma’).<br />2. Al-Anbiya/21: 30, dari kepaduan mengembang (Big Bang)<br /> • • <br />Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?<br />Dalam ayat ini diperoleh informasi terkait pokok-pokok tentang al-sama’ dan al-ardl yang sebelum dipisahkan, adalah sesuatu yang padu (ratq, kemudian mengembang atau dalam istilah sains dikenal dengan teori Big Bang. Dibicarakan pula tentang air (al-ma’) yang daripadanya dijadikan segala sesuatu.<br />3. Al-Sajdat/32: 4, Allah bersemayam di ‘Arasy.<br /> <br />Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?<br />Ayat ini menegaskan surat Hud/11: 7 tentang penciptaan alam semesta selama enam periode ditambah dengan informasi bahwa Allah bersemayam di ‘Arasy. <br />4. Al-Dzariat/51: 47. Alam semesta memuai/berekspansi.<br /> <br />Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa<br />Diinformasikan dalam ayat ini bahwa langit ini kemudian memuai atau berekspansi. Pemuaian ini sesuai dengan kehendak dan undang-undang Allah.<br /><br />5. Al-Fushilat/41: 9-12, dua tahapan penciptaan al-samawat wa al-ardl dan 4 tahapan penciptaan gaya-gayanya.<br /> • • <br />Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam". Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.<br />Ayat ini menginformasikan yang bersifat rincian tentang enam tahapan atau periode penciptaan alam semesta, yakni dua tahapan atau periode penciptaan al-ardl, termasuk al-sama’, dan empat tahapan penciptaan gaya-gayanya.<br />6. Al-Thalaq/65: 12, tujuh langit dan bumi.<br /> • • • <br />Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.<br />Dalam ayat ini diinformasikan tentang jenis al-samawat sama dengan jumlah jenis al-ardl, yakni tujuh. Juga tentang undang-undang Allah yang ditetapkan pada ketujuh al-samawat dan al-ardl.<br />7. QS. Al-Nahl/16:8, penciptaan terus berlanjut.<br />Berbicara tentang penciptaan, Allah membuat pernyataan bahwa proses penciptaan masih berlanjut baik untuk makhluk hidup maupun benda mati. Indikasinya dapat dilihat dalam.<br /> <br />Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.<br /><br />8. QS. Al-An'am: 2, penciptaan manusia dari tanah liat.<br />Dalam penciptaan makhluk dan juga manusia, beberapa ayat Al-Qur'an menyatakan pentingnya peran tanah liat. Seperti dalam; Am-Mukminun: 12; Al-Sajdah: 5-6; Al-Shaffat: 11-14.<br /> <br />Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).<br />9. QS. Yasin: 36, diciptakan berpasang-pasangan.<br />Al-Qur'an menegaskan bahwa semua benda mati dan makhluk hidup di alam semesta ini diciptakan berpasang-pasangan. Seperti dalam QS. Yasin: 36; Al-Ra'd:3; Al-Syu'ara:7; Al-Dzariyat:49.<br /> <br />Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.<br />10. QS. Yasin: 38-40, Keseimbangan dan keteraturan alam semesta.<br /> • <br />Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua[1267]. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.<br />Seperti dalam QS. Al-Anbiya:23; Yasin: 38-40 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan ruang angkasa, matahari, bulan, siang dan malam. Ciptaan-ciptaan Allah tersebut berputar menurut garis edarnya yang sudah tertentu. <br />11. QS. Ibrahim: 33, Bintang dan planet<br />Dalam membicarakan benda-benda angkasa, Al-Qur'an juga sudah membedakan bintang dari planet. Bintang aalah benda langit yang memancarkan sinar, sedangkan planet hanya memantulkan sinar yang diterima dari bintang. Dengan demikian, ntang mempunyai sumber sinar sedangkan planet tidak. Hal ini terdapat dalam QS. Ibrahim:33; Al-Taubah: 36; Yunus:5.<br /> • <br />Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.<br />12. QS. Al-Anbiya:104, Akhir alam semesta<br />Sebagaimana juga telah dikemukakan, alam semesta dimulai oleh suatu ledakan hebat dan dikenal dengan big bang. Mulai dari sini, alam kemudian berkembang meluas sampai kini lalu hancur. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Anbiya:104; Al-Zumar: 67.<br /> • • <br /> (yaitu) pada hari kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas. sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan melaksanakannya.<br /><br />E. CARA MEMAHAMI ALAM SEMESTA (AYAT KAUNIYYAH)<br />Ketika membicarakan alam semesta, menurut Quraisy Shihab, paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan:<br />1. Al-Qur'an memerintahkan atau menganjurkn kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam semesta dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan ke-Esaan dan kemahakuasaan Allah SWT.<br />2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.<br />3. Redaksi ayat-ayat kauniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir. <br />Menurut Sirajuddin, menurut Al-Qur'an cara yang digunakan untuk memahami alam semesta yaitu pengamatan, daya nalar dan wahyu atau ilham. Dalam beberapa tempat, Al-Qur'an menunjukkan bahwa salah satu cara memahami alam raya ini dapat dilakukan dengan penglihatan, pendengaran, perasa, pencium dan peraba. Semua alat ini daat membantu manusia umtuk melakukan pengamatan dan eksperimen. Namun dalam ayat-ayat lain ditegaskan pula bahwa saluran ini belumlah cukup dan dibutuhkan saluran lain, yaki penalaran atau akal. Saluran ini sangat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan yang tidak bisa diselesaikan melalui pengamatan. Tanpa saluran penalaran, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah dan menemukan hubungan-hubungan di antara kejadian di jagat alam raya ini. Karena daya nalarlah yang mampu menguak tabir, mengungkapkan misteri dan menghubung-hubungkan tanda-tanda atau sinyal-sinyal yang dipancarkan alam yang teramati lewat pengamatan.<br />Al-Qur'an juga menunjukkan bahwa masih ada cara lain di samping cara pengamatan dan daya nalar, yakni melalui wahyu dan ilham. Akan tetapi cara ini tidaklah semua orang dapat menikmatinya melainkan hanya dianugerahkan Allah lepada para Rasul dan Nabi. Sedangkan manusia hanya dapat memperoleh ilham. Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Perbedaannya menurut Harun Nasution mengutip Dr. M. Abdullah Diraz, ahíla ilham terjadinya didahului oleh ide dan barulah kemudian ide itu diungkapkan dalam kata-kata. Sementara wahyu yang terjadi pada diri nabi tidak ada ide sebelumnya.<br />Sedangkan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an tentang alam semesta (ayat-ayat kaunyyah) ini, atau yang berkaitan dengan cirak ilmiah, Quraisy Shihab mengatakan bahwa salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subyek bahasan ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufassir mungkin sekali terjerumus ke dalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat-ayat lain. Sedangkan cara-cara memahaminya harus pula mengikuti cara-cara yang sudah dibakukan para saintis secara rinci. <br />Dengan demikian, ulama-ulama tafsir mempeingatkan perlunya para mufassir –khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penafsiran ilmiah- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Qur’an. <br />Selanjutnya, Andi Rosadisastra mengemukakan beberapa prisnsip analisis yang harus diterapkan oleh para aktifis tafsir ilmiy dalam melakukan analisis terhadap ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ilmu alam, yaitu:<br />1. Prinsip ke-Esaan Allah dalam alam; menyadaari bahwa Tuhan tak terbatas dalam segala hal dan IA melingkupi semua realitas alam. Sehingga alam adalah sebuah keteraturan, kesatuan, dan koordinasi yang padu dan sistematis.<br />2. Keyakinan terhadap realitas dunia eksternal; memahami adanya realitas-realitas lain yang berbeda dan tidak tergantung dari pikiran kita. Citra mental terhadap obyek-obyek tertentu dapat berhubungan dengan realitas-realitas tersebut, sehingga tidak menjadikannya sebagai khayalan yang tidak dapat membimbing menuju realitas sebenarnya.<br />3. keyakinan terhadap realitas supra fisik dan keterbatasan pengetahuan manusia.<br />4. memahami filsafat ilmu alam terkait atas pembahasan yang sedang diteliti.<br />5. Isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat pada ayat Al-Qur’an tidak termasuk untuk ayat yang berbicara secara langsung tentang akidah, dan penetapan ibadah ritual.<br />6. Ayat-ayat ilmu pnegetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an bertujuan supaya manusia dapat mempercayai adanya Allah dan hendaknya para mufassir menetukan tema tertentu yang dihubungkan dengan fenomena atau tema lain yang masih bersifat kauniyyah. Sehingga diperoleh pembahasan yang komprehensif, sesuai bidang ilmu yang terkait.<br />7. Isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an bersifat umum dan universal.<br />8. Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Tuhan yang ilmunya mencakup segala sesuatu.<br />9. Mufassir tafsir al-ilmi tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya sebagai ajaran aqidah qur’aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan. Juga ia tidak meletakkannya dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi –paling tidak- menjadikannya dalam kerangka psikologi sosial.<br />10. mengaktifkan rasio dan kemampuan di bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya atau yang akan ditafsirkannya guna mengetahui watak hubungan yang seimbang antara ayat Al-Qur’an dengan premis-premis ilmiah demi mencari faedah atau manfaat dari corak atau orientasi baru dalam dunia tafsir Al-Qur’an.<br />11. Menyeimbangkan antara bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya dengan kemampuan dirinya dalam mentafsirkan atau menjepaskan makna ayat yang memungkinkannya untuk menyingkap petunjuk yang dimaksud oleh ayat Al-Qur’an.<br />12. Berpegang teguh pada essensi, substansi dan eksistensi Al-Qur’an.<br />13. Landasan penafsiran tafsir ayat-ayat sains secara berurut adalah Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan utama, kemudian hadits-haditas Nabi.<br />14. Memanfaatkan hakikat ilmiah yang fleksibel dengan indikasi adanya universalisme dan kontuniutas tanpa henti. <br /><br />F. PENUTUP<br />Demikian sekilas gambaran tentang kandungan isi Al-Qur'an terkait tema tentang alam semesta. Begitu banyak beragam kajian. Ini mengindikasikan betapa pentingnya pembahasan tentang alam semesta ini. Selain persoalan kosmologi yang sangat berpengaruh terhadap keyakinan umat manusia terhadap adanya sang Pencipta, alam semesta bisa menjadi kajian ilmiah yang sangat diperlukan demi menunjang khazanah keilmuan alam dan sains. Di sinilah tuntutan bagi kaum cendikiawan muslim menemukan momentumnya untuk menelusuri keagungan ciptaan-Nya. Sehingga bisa memunculkan teori-teori ilmiah tidak hanya mengklaim atas teori ilmiah yang telah ada. Bahkan islamisasi sains dan sainisasi Islam menjadi hal yang tidak bisa dipinggirkan oleh kaum cendikiawan muslim atau yang kita kenal dalam istilah Al-Qur'an sebagai Ulu Al-Albab.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Al-Husna Al-Maqdisiy, Fath Al-Rahman. Indonesia, Maktabah Dahlan. Tt,<br />Al-Raghib Al-Asfahaniy, Mu'jam Mufradat Alfadl Al-Qur'an, Tahkik Nadhim Mar'asyiliy. Beirut: Darul Fikr, 1972.<br />Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah, 2007.<br />Ari Budiman Dkk. Membaca Gerakan Alam Semesta; Mengenali Jejak Sang Pencipta. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. 2005.<br />CD Program “Muhaddits”<br />Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-Qur'an. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. 1994.<br />Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.<br />Fazlur Rahman, Tema pokok Al-Qur'an. Bandung: Penerbit Pustaka, 1996.desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8868540991727790272.post-18853257879196765002010-01-06T07:52:00.000-08:002010-01-06T08:06:24.629-08:00KRITIK TAFSIR HASSAN HANAFIOleh: Deden Syarif Hidayat<br /><br />A. TAFSIR AL-QUR’AN DAN TANTANGAN MODERNITAS<br />Salah satu persoalan terbesar dan terus menerus menjadi agenda pembaharuan dalam Islam dan kehidupan kaum muslimin adalah bagaimana memandang hubungan antara tradisi (al-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Sikap apapun baik menolak maupun menerima rekonstruksi keduanya dalam kehidupan kaum muslimin, tentunya sangat mempengaruhi corak pembaharuan yang hendak diadvokasikan. Setidaknya, terdapat dua golongan dalam menghadapi situasi seperti ini; ada yang cenderung menerima gagasan-gagasan Barat secara mentah-mentah dan memberinya pembenaran-pembenaran dari Al-Qur’an. Golongan ini kita kenal sebagai ‘modernis muslim’. Ada pula yang cenderung menolak setiap gagasan dari Barat akibat kekhawatiran yang berlebihan atas ekses-ekses yang mungkin ditimbulkan oleh modernism Islam, inilah yang kemudian kita kenal sebagai ‘neorevivalis Islam’. Pendirian yang sama-sama ekstrim ini disinyalir lebih mencerminkan sebuah pandangan yang a priori dalam memandang tradisi, di satu sisi, dan modernitas, di sisi lain.<br />Menghadapi arus modernitas ini, secara mendasar para pemikir Islam memandang perlu merumuskan metode penafsiran Al-Qur’an yang lebih tepat dan memadai. Sehingga mampu merumuskan nilai-nilai umum dari Al-Qur’an yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam dalam merespon modernitas. Terkait hal ini, Amin Abdullah memetakan setidaknya ada dua perhatian dan keperihatinan umat Islam dewasa ini tentang bagaimana memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana kita dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal (rahmatan li al-‘alamin) secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan social yang begitu cepat? Hal ini perlu dirumuskan kembali lantaran diperkuat oleh asumsi bahwa setiap perubahan membawa serta perubahan pemahaman orang terhadap alam, manusia, Tuhan, termasuk di dalamnya pemahaman kita terhadap Al-Qur’an. Kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar Al-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negative dari deru roda perubahan social pada era modernitas seperti pada era ini. Apakah konsepsi-konsepsi Al-Qur’an masih cukup applicable dalam mencari solusi dan terapi kegalauan social yang diakibatkan modernitas dan perubahan social yang begitu cepat? Keperihatinan yang kedua ini lebih terkait pada peran Al-Qur’an sebagai ajaran yang bersifat normative dihadapkan dengan realitas social.<br />Menghadapi perhatian dan keperihatinan di atas, diperlukan sebuah pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an, atau meminjam istilah Amin Abdullah , perlunya shifting paradigm (pergeseran paradigma) di dalam cara orang memahami Al-Qur’an, dengan asumsi bahwa tuntutan manusia dan masyarakat pada periode sejarah tertentu pasti berbeda dengan tuntutan mereka pada penggal sejarah yang lain. Perubahan paradigm ini berawal dari pembacaan yang melulu berpusat pada teks atau filologi klasik dan studi sejarah, kepada orientasi baru mengenai keterkaitan antara teks, sejarah, dan realitas social. Melalui kerangka teori the history of idea of Qur’anic interpretation, Abdul Mustaqim membagi pergeseran paradigma epistemology tafsir ini kepada tiga, yaitu era formatif dengan nalar mitis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis.<br />Era kontemporer ini, berlangsung paradigma penafsiran model era reformatif dengan nalar kritis dan bertujuan transformative. Secara umum, menurut Abdul Mustaqim , struktur epistemology tafsir era reformatif dengan nalar kritis ini dapat digambarkan sebagai berikut:<br />Sumber Penafsiran Metode dan Pendekatan Validitas Penafsiran Karakteristik dan Tujuan Penafsiran<br />Al-Qur’an, realitas, akal (ra’yu), yang berdialektika secara sirkular dan fungsional.<br />Sumber hadits jarang digunakan.<br />Posisi teks Al-Qur’an dan penafsir sebagai objek dan subjek sekaligus. Bersifat interdisipliner, mulai dari tematik, hermeneutic, linguistic, dengan pendekatan sosiologis, antripologis, historis, sains, semantic, dan disiplin keilmuan masing-masing. 1. Coherence antara hasil penafsiran dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya.<br />2. Correspondent; sesuai dengan fakta empiris.<br />3. Pragmatism, solutif, dan sesuai dengan kepentingan transformasi umat. Kritis, transformative, solutif, non-ideologis.<br />Menangkap “ruh” Al-Qur’an.<br />Tujuan penafsiran untuk transformasi dan perubahan, tidak hanya mengungkap makna (meaning), tapi juga maghza (significance).<br />Era tersebut dimulai dengan munculnya era modern di mana tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan, Abduh dan Rasyid Ridha terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran para ulama dulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu dilanjutkan oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Mohammad Arkoun, Amina Wadud, Nasr Hamid Abu Zaid, Mahmud Muhammad Thaha, Riffat Hassan, Ashgar Ali Engineer, Ali Harb, Hassan Hanafi dan sebagainya. Adapun menurut Ilham B. Saenong yang memperkenalkan metode-metode baru banyak dirintis, antara lain, oleh Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan Hassan Hanafi. Ketiga pemikir ini tidak saja dikenal dengan “proyek-proyek peradaban” mereka, tapi juga dalam konteks ini, terutama pada apa yang disebut sebagai pelopor studi-studi “hermeneutika al-Qur’an”.<br />Berbeda dengan Hassan Hanafi, beliau mencoba mengembangkan apa yang oleh Muhammad Mansur disebut sebagai “metode tafsir realis”. Realis karena yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah realitas sendiri. Bagi Hanafi, penafsiran bukanlah sekedar upaya untuk membaca teks, namun lebih dari itu harus menjadi upaya transformative dan solusi bagi problem social yang terjadi dalam kehidupan. Inilah yang kemudian diistilahkan oleh Ilham B. Saenong sebagai “Hermeneutika Pembebasan” untuk merepresentasikan gagasan model tafsir social Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi. Untuk lebih lanjut, kita akan coba mengkaji kritik tafsir Hassan Hanafi dan bagaimana bangunan pemikiran tafsir yang beliau tawarkan.<br /><br />B. BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI<br />a. Setting Historis Kehidupan Hassan Hanafi<br />Hassan Hanafi lahir dari leluhur Berber dan Badui Mesir 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir, tepatnya di perkampungan al-Azhar dekat benteng Salahuddin. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim di seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas al-Azhar. Selanjutnya perjalanan hidupnya menempuh serangkaian perkembangan kesadaran. Perkembangan dan perubahan yang dialaminya dari satu kesadaran ke kesadaran lain sangat terkait pula dengan perubahan situasi lingkungan yang lebih luas di Mesir. <br />Kesadaran pertama muncul semenjak beliau masih remaja di saat duduk di sekolah menengah Khalil Aga, yaitu “kesadaran Nasional” pentingnya suatu “ideology tanah”, sebuah teologi yang ia imajinasikan sebagai Nasionalisme, kekuatan pembebasan dari kolonialisme. Kesadaran seperti ini mendorong Hanafi menjadi relawan perang Palestina tahun 1948. Sayang, keinginan beliau tidak pernah terealisasi mengingat dunia Islam-pun sudah menganut system Negara-bangsa (nation-state) dimana tidak dikenal lagi adanya kesatuan imperium Islam. Akibatnya, ia kesulitan mendapat izin meninggalkan negaranya. Pada akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa Nasionalisme Arab tidak lebih daripada sebuah ideology yang sangat rapuh. <br />Gagal ke Palestina, menjelang akhir 1950-an, secara alamiah Hanafi bergeser kepada Islam. Ia menyalurkan semangat revolusionernya dalam gerakan-gerakan politik keagamaan di negaranya sendiri. Melanjutkan ke Universitas kairo (sampai dengan tahun 1956), pada tahun 1952 ia tercatat sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, hingga perkumpulan tersebut dinyatakan dilarang oleh pemerintah Mesir. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islam Harakah Ibdaiyyah fie al-fann wa al-hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Dari sinilah kesadaran keagamaan Hassan Hanafi menemukan momentumnya. Ia membaca Hassan Al-Bana, Sayyid Quthb, Abul Hasan An-Nadwi, Muhammad Al-Ghazali dan pemikir-pemikir Islam kontemporer lainnya. Sejak itulah ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari kesadaran Islam dan Ummatnya, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, Negara, masa depan, dan misi kehidupannya. <br />Namun, dari hasil pembacaannya itu, ia mendapatkan banyak keganjilan dan pengetahuan yang dirasa asing dan seolah-oleh bukan merupakan tradisi Islam. Ia mempertanyakan isi dan metodologi pemikiran Islam harakah tersebut, yang dalam pandangannya telah kehilangan relevansinya dan kosong dari diskursus tentang prroblematika dan tantangan yang dihadapi umat dan dunia Islam. Saat itu, ia mencabut diri dari filsafat Islam sebagaimana ia melepaskan diri dari ilmu kalam yang semata-mata teoritis dan tidak menyentuh realitas kehidupan umat Islam. Di sini ia berada pada posisi minoritas. Dan pada tahun yang sama, ketika berada di tingkat tiga, ia mendengar Iqbal berbicara tentang hidup, penciptaan, inovasi, potensi, jihad, esensialisme, al-gha’iyyah, dan umat. Di situ ia menyadari bahwa pemikiran Islam mengakumulasikan masa lampau dan masa kini, dan mengonsepsi realitas umat muslim. Baginya, inilah jenis filsafat yang diinginkan. Dari sini ia mulai aktif untuk memantapkan sebuah al-minhaj al-islam al-‘amm yang didasarkan pada rasionalitas baik dan buruk, kesatuan kebenaran, kebaikan, dan keindahan (estetika). <br />Krisis kehidupan intelektual di berbagai universitas Mesir, penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin, dan krisis penelitian intelektual Islam dikombinasikan dengan krisis diri Hassan Hanafi yang pada akhirnya memberi dukungan utnuk berkonsentrasi pada proyek pembaharuan Islam. Pada tahap inilah Hassan Hanafi mulai bergeser kepada tingkat kesadaran baru, yaitu kesadaran filosofis. Bacaannya terhadap Al-Qur’an membuatnya semakin meyakini pentingnya alam kesadaran filosofis, dan sekaligus tentang keharusan untuk melanjutkan perjuangan. <br />Ketika usianya menginjak dua puluh satu tahun, pada tahun 1956, ia memperoleh gelar Sarjana Muda Bidang Filsafat dari University Of Cairo. Sepuluh Tahun kemudian (1966), Hanafi telah mengantongi gelar Doktor dari La Sorbonne, sebuah universitas paling terkemuka di Perancis. Di sana, ia mengambil spesialisasi Filsafat Barat Modern dan pra-Modern. Dan di sinilah konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi dimantapkan.<br />Di tempat ini, Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealism ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu, ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoritis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zuruck zu den sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri), Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai essensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi; manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan,kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being ang Time (ada dan waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontology). <br />Di Sorbonne, Hanafi sangat tertarik mendalami idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Di samping itu, fenomenologi dari Edmund Husserl yang sangat menghargai individu dalam teori pengetahuan dan kenyataan, juga menarik minatnya. Kekaguman terhadap filsafat Jerman ini sebenarnya sudah beliau mulai sejak studi di Universitas Kairo, terutama fichte, filsafat perlawanan, dan ego yang menempatkan subyek ego berlawanan dengan non-ego, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl. <br />Persentuhannya dengan pelbagai pemikiran dan pendirian metodologis tersebut, mendorong Hanafi untuk mempersiapkan sebuah proyek pembaharuan menyeluruh terhadap pemikiran Islam. Ia ingin menciptakan metodologi dan teologi Islam baru dengan pendekatan-pendekatan baru pula. Proyek tersebut kemudian ia tuangkan dalam proposal doktoralnya dengan judul al-manhaj al-islami al-‘amm (the general Islamic method). Judul ini menggambarkan keinginan beliau untuk untuk merumuskan Islam sebagai metode yang umum dan komprehensif dalam kehidupan personal dan social. Namun, karena pembahasannya yang begitu luas, jelas, komite disertasi menolaknya. Kecuali diapresiasi oleh dua sarjana orientalisme caliber dunia; Henry Corbin dan Louis Massignon. Keduanya menyarankan Hanafi meneruskan rencana penelitiaannya dengan beberapa modifikasi yang difokuskan pada suatu bidang yang lebih spesifik. Akhirnya Hanafi memutuskan untuk memulai pembaharuan pemikiran Islam dengan meneliti metodologi pemikiran Islam menurut para ushuliyyun (para ahli legislasi dan yurisprudensi muslim) dalam disertasinya yang berjudul Les Metodes d’Exegese, essau sur La Science des Fondaments de La Comprehension, ilm Ushul al-Fiqh (1965). <br />b. Karya-karya intelektual Hassan Hanafi.<br />Hassan Hanafi membuat tulisan dengan kondisi yang sedang berlangsung pada saat itu. Pada fase awal pemikiran ini, tulisan-tulisan Hassan Hanafi bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Hal itu mengisyaratkan, bahwa fungsi pembebasan jika kita inginkan, dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan. Periode selanjutnya pada tahun 80-an Hassan Hanafi mulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas”. Dalam hal ini, buku al-Turas Wa al-Tajdid yang terbit pada tahun 1980 menampilkan makna Turas wa Tajdid. Kemudian ia menulis al-Yasar al-Islami (Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka, buku Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid) yang ditulis hampir sekitar 10 tahun dan baru terbit pada tahun 1988, memuat uraian rinci tentang pembaharuan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu kalam (teologi Islam klasik). <br />Karya selanjutnya adalah Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (1991) yang merupakan karya monumental lainnya yang sempat dirampungkan Hassan Hanafi, yang di dalamnya ia memperkenalkan Ilm al-Istigrab atau oksidentalisme. Secara ideologis, Oksidentalisme versi Hassan Hanafi diciptakan untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain, harus dibatasi. Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya. Melalui ilm al-istighrab (Oksidentalisme), Hassan Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif historis-kultural Barat sendiri. <br />Sebagai dosen filsafat Kristen, Hanafi harus mengajar selama dua tahun pertama (1966-1967) tanpa referensi yang jelas. Demi mengatasi kesulitan pengajaran subjek ini, Hanafi memutuskan untuk menulis sebuah buku daras yang berjudul Namadzij min al-Falsafah al-Masihiyyah fi al-Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-Imam al-Bahis ‘an al-Aql la Taslim, al-Wujud al-Mahiyah li Tuma al-Akwini (Berbagai contoh filsafat Kristen abad pertengahan: ajaran Agustine, kepercayan butuh penalaran, bukan penerimaan; bentuk dan esensi menurut Thomas Aquinas). <br />Hanafi baru kembali menuliskan pengantar teoretis untuk proyek peradabannya pada tahun 1980. Oleh Hanafi, al-turas wa al-tajdid dimaksudkan sebagai sebuah rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai tantangan intelektual Barat, tapi juga dalam rangka rekonstruksi pemikiran keagamaan Islam pada umumnya. Hanafi merumuskan eksperimentasi al-turas wa al-tajdid berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawfiquna min al-turas al-qadim). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawfiquna min al-turas al-gharb). Agenda terakhir, ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika al-Qur’an yang baru yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai pondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” atau “teori interpretasi”.<br />Dalam agenda pertama, Hanafi telah menulis lima volume tebal dari buku Min al-‘Aqidah ila al-Saurah: Muhawalah li i’adah Ilm Ushul al-Din (Dari Akidah Ke Revolusi: Upaya Rekonstruksi Teologi Islam) yang merupakan reformasi teologis berdasarkan kesadaran akan hilangnya wacana manusia dan sejarah dalam teologi Islam klasik. Untuk agenda kedua, Hanafi menulis Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat). Buku ini dimaksudkan sebagai peletak dasar bagi kajian ilmiah atas Barat dalam rangka mempelajari perkembangan dan strukturnya dan menghilangkan dominasi Barat atas kaum muslim. Adapun untuk agenda ketiga, Hanafi menunda beberapa waktu sampai tujuh bagian dari agenda pertama dan tiga bagian dari agenda kedua terwujud. Walau pada akhirnya kita dapat melihatnya pada tema-tema yang bertebaran diberbagai karya tulisnya, terutama yang berkaitan dengan karya akademisnya.<br />Sebagaimana diakuinya, proyek turats wa tajdid-nya Hassan Hanafi lengkapnya sebagai berikut:<br />Tradisi dan Pembaharuan<br />Sikap kita terhadap <br />Tradisi Lama Sikap kita terhadap <br />Tradisi Barat Sikap kita terhadap Realita<br />1. Dari teologi ke Revolusi<br />2. Dari Transferensi ke Inovasi<br />3. Dari Teks ke Realita<br />4. Dari Kefanaan Menuju Keabadian<br />5. Dari Teks ke Rasio<br />6. Akal dan Alam<br />7. Manusia dan Sejarah 1. Sumber Peradaban Barat<br />2. Permulaan Kesadaran Eropa<br />3. Akhir Kesadaran Eropa 1. Metodologi<br />2. Perjanjian Baru<br />3. Perjanjian Lama<br />Ketiga tradisi di atas mengisyaratkan terjadinya proses dialektika antara ego dengan the other dalam realitas sejarah tertentu. Isyarat tersebut digambarkan sebagai berikut:<br /><br /><br />Tradisi Barat (masa depan) Tradisi Lama (masa lalu)<br /><br /><br /><br /> Realitas (masa kini)<br /><br />Buku kiri Islam meskipun berbentuk jurnal, namun aroma ideologisnya sangat kuat. Sehingga dikatakan sendiri oleh beliau sebagai kredo. Konsep Kiri Islam ini mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, yakni imperialisme, zionisme, daqn kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal; serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal. <br />Di samping sebagai wacana tandingan untuk melawan Orientalisme yang telah lama memperlakukan Timur-Islam sebagai obyek kajian ilmiahnya, yang pada kenyataannya, tak lebih dari “strategi penjajahan berkedok tradisi ilmiah”. Namun, secara umum, karya-karya Hanafi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Pertama, karya kesarjanaan di Sorbonne; kedua, buku, kompilasi tulisan dan artikel; ketiga, karya terjemahan, saduran dan suntingan. Klasifikasi pertama berupa karya kesarjanaannya adalah tiga buah (trilogi) disertasi: Les Metodes d’Exegese, essai sur La science des Fondaments de la Comprehension, ‘ilm ushul al fiqh (1965); L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode phenomenologique et son application au ph’enomene religiux (1965); dan La Phenomenologie d L’exegese: essai d’une hermeneutique axistentielle a parti du Nouvea Testanment (1966). <br />Klasifikasi kedua dihuni lebih dari sepuluh buku: dimulai oleh Religious Dialog and Revolution (1977); Al-Turast wa al-Tajdid (1980) yang berisikan dasar-dasar proyek pembaruan Hanafi; dan Dirasat Islamiyah (1981) yang mengulas beberapa disiplin keilmuan tradisional Islam seperti Ushul Fiqh dan Teologi Islam, serta kritik atas hilangnya wacana manusia dan sejarah di dalamnya; al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyyah (1981) yang memuat manifesto “Kiri Islam” yang sangat fenomenal; Qadaya Mu’ashirah: Fi Fikrina al-Mu’ashir, dua volume (1983); Dirasat Falsafiyyah (1988); Min al-‘Aqidah ila al-Saurah, empat volume tebal yang merupakan karya monumental dan paling sistematis dari Hanafi (1988), yang berisi rekonstruksi teologi Islam tradisional dalam rangka transformasi sosial; al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1956-1981, delapan jilid, memuat tulisan lepas Hanafi di berbagai media (terbit 1989); Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (1990); Islam in the Modern World, dua volume tebal berbahasa Inggris (1995); Humum al-Fikr al-Wathan, dua jilid (1997); Jalaluddin al-Afghani (1997); dan Hiwar al-Ajyal (1998). <br />Terakhir, karya-karya awal Hanafi banyak terkait dengan klasifikasi ketiga, yakni saduran dan suntingan, mengingat kebutuhan kuliah dan memperkenalkan materi dan contoh-contoh filsafat Muslim maupun Barat secara cepat dan memuaskan. Diantaranya: Muhammad Abu Husain al-Bashri: al-Mu’tamad fi ‘ilm Ushul al-Fiqh (1964-1965), dua jilid, berisikan diskusi tentang filsafat hukum Islam; al-Hukumah al-Islamiyyah li al-Imam al-Khomeini (1979); Jihad al-Nafs aw Jihad al-Akbar li al-Imam al-Khomeini (1980) yang berisi kekaguman Hanafi pada keberhasilan revolusi Iran. <br />Dari wilayah filsafat Barat, Hanafi menulis sejumlah buku, antara lain: Namadzij min al-Falsafah al-Masihiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-Iman al-bahis ‘an al-‘Aql la taslim, al-wujud wa al-Mahiyah li Thuma al-Akwini (1968); Spinoza Risalah fi al-Lahut wa al-Siyasah (1973); Lessing: Tarbiyyah fi al-Jins al-Basyari wa A’mal al-Ukhra (1977); Jean Paul Sartre: Ta’ali Ana Mawjud (1978). <br />Secara keseluruhan, latar belakang pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi adalah kegagalan eksperimentasi berbagai ideology pembangunan di Mesir. Diantaranya yang ada pada waktu itu adalah Loberalsme Barat, Sosialisme Negara, Marxisme Klasik, hingga ritualisme kesukuan. <br /><br />C. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN HASSAN HANAFI<br />a. Model Hermeneutika Hassan Hanafi<br />Sebagaimana telah disinggung dalam pengantar tulisan ini, perhatian pemikir Muslim modern terhadap problem penafsiran Al-Qur’an demikian meningkat, seiring interaksi kesadaran mereka dengan modernitas. Kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Qur’an dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrument metodologis tersebut, penafsiran Al-Qur’an diharapkan mampu merasionalisasikan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Al-Qur’an, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Qur’an. Pada kesempatan ini, metode hermeneutika menjadi trend tersendiri para pemikir Islam.<br />Dalam melaksanakan upaya penafsiran yang lebih “ilmiah” tersebut, para pemikir muslim modern dapat dibedakan ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Seperti yang dilakukan diantaranya oleh Fazlurrahman, Arkoun, dan Nashr Abu Zayd. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an. Seperti halnya yang dilakukan oleh Farid Esack, Amina wadud, dan Ashgar Ali Engineer. <br />Meminjam kerangka Josef Bletcher , dua tipologi di atas kita anggap masing-masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat filosofis dan yang bercorak teoritis (metodis). Hermeneutika filosofis beranjak dari dua pijakan. Pertama, heremeneutika pertama-tama berurusan dengan refleksi atas fenomena penafsiran sebelum berurusan dengan metoda dan peristiwa penafsiran apapun. Kedua, dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham. Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Menurut perspektif ini, penafsiran objektif dalam pengertian memperoleh kembali atau mereproduksi makna sejati teks sebagaimana maksud pemikirannya terdahulu sama sekali tidak mungkin tercapai. <br />Sementara itu, pada tipologi yang lain, hermeneutika yang bersifat metodis lebih banyak mengelaborasi dan memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoritik di seputar penafsiran Al-Qur’an, yakni pada “bagaimana” menafsirkan teks AL-Qur’an secara benar dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang benar pula. Disamping dua tipologi itu sebenarnya masih menurut Josef Bletcher ada yang dinamakan dengan hermeneutika sebagai kritik, atau dikenal dengan Kritisisme hermeneutic.<br />Dihadapkan pada dua kecenderungan teorotis tersebut, hermeneutika Al-Qur’an Hassan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoritik hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis, maupun yang bersifat metodis. Bahkan dalam kadar yang relative minim, bercorak pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis. Terhadap hermeneutika metodis, Hanafi menolak pemahaman Al-Qur’an yang didasarkan pada hawa nafsu (tidak objektif), sehingga tidak ada pemahaman otentik di sini. Ia menolak tidak diterapkannya prinsip-prinsip linguistic maupun analogi dalam penafsiran. <br />Di lain pihak, hermeneutika Hanafi sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika filosofis. Baginya, tidak ada hermeneutika per se, absolute dan universal. Hermeneutika adalah hermeneutic untuk digunakan. Ini adalah sebuah bagian perjuangan sosio-politik. Dalam Negara Dunia Ketiga, Agama dan Revolusi adalah dua legalitas; yang satu adalah bagian masa lampau dan ini termasuk eksigensi, dan yang kedua adalah bagian pada saat ini dan ini termasuk dalam kategori urgensi. Hermeneutic adalah sebuah alat yang memainkan sebuah bagian perdamaian dari agama menuju revolusi, dan menyatukan dua legalitas menjadi satu. Dengan demikian, ia menginginkan hermeneutikanya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir (prapaham) di hadapan teks sebelum peristiwa penafsiran dilakukan. Kecenderungan praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutiknya. Yang kemudian Saenong menyebutnya sebagai hermeneutika pembebasan. <br />Dalam kaitannya dengan kritisisme hermeneutic, dengan menerapkan analisis Marxian yang senantiasa mencurigai tendensi kekuasaan dan dominasi di balik teks dan penafsiran, tidak pelak lagi, pemikiran Hanafi telah berada pada separuh jalan ke arah penafsiran kritis sebagaimana yang lazim dalam hermeneutika yang bercorak kritis. Bagi Hassan Hanafi, peran interpreter adalah mengubah status quo, yaitu dominasi pihak pertama (kaya, penindas, minoritas, kaum elit, pengatur) pada pihak kedua (miskin, yang ditindas, mayoritas, kaum masyarakat proletar,yang diatur), dan menghasilkan perebutan kekuasaan antara dua belah pihak dalam membantu pihak kedua melawan pihak pertama, untuk kemenangan perubahan social sebagai sebuah revolusi perdamaian dan bertahap. Dalam tafsir tradisional, teks tidak mengarahkan kritik dan perubahan terhadap realitas untuk mempertahankan system yang ada. <br /><br />b. Landasan Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi<br />Sebagai sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutikanya. Ia membangun landasan pemikiran hermeneutisnya di atas empat pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih ushul fiqh. Sementara fenomenologi, Marxisme, di samping hermeneutika itu sendiri, dari tradisi intelektual Barat. Beliau “membabad habis” metode penafsiran yang masih terbatas pada penggunaan pendekatan filosofis, hukum, periwayatan atau laporan sejarah, teologi, filsafat, kajian mistik, justifikasi penemuan sains, kajian sosio-politik, hingga pendekatan estetis pada Al-Qur’an. <br />1. Ushul Fiqh<br />Digunakannya ushul fiqh dalam hermeneutika Al-Qur’annya sebab secara praktis, ia melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukkan hukum, di sisi yang lain. Untuk menghadapi tuntutan realitas social, ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka. Baginya, pemahaman juga sangat berkaitan dengan kaidah-kaidah penafsiran dalam logika verbal (hakiki, majazi, dhahir, khafiy, muthlaq, muqayyad dll) sebagaimana diungkapkan ulama ushul fiqh. Hal itu juga berhubungan dengan logika konteks seperti makna kata dan kesalahan ungkapan, hubungan teks dengan realitas dalam “sebab-sebab turunnya wahyu” dan nasikh mansukh .<br />Oleh Hanafi, asbabun nuzul dimaksudkan untuk menunjukan prioritas kenyataan social dan mengutamakan realitas, bahwa wahyu merupakan respon atas pertanyaan-pertanyaan dalam realitas, pemecahan terhadap problem-problem social. Sementara nasikh-mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penerapan aturan hokum, eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah. Dengan kata lain, nasikh mansukh menunjukan adanya graduasi hokum pada era tertentu, tidak di semua waktu. Pemberlakuannya tidak saja pada saat terjadinya nasakh, tetapi juga dalam sejarah selama zaman masih ada. <br />Adapun konsep makiyyah dan madaniyyah untuk mengembangkan konsep dan system, akidah-syari’at, dan praksis. Semua ilmu itu dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu eksperimentasi, seperti statistic, sosiologi, historiografi, ideology, system politik, dan ekonomi. <br />Adapun konsep maslahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemashlahatan manusia. Sebagaimana diakuinya sendiri, Hanafi mengikuti paradigma fiqh dan ushl fiqh Maliki, karena ia menggunakan pendekatan kemashlahatan umat (mashalih al-mursalah) serta membela kepentingan umat Islam. Disamping itu, paradigma tersebut lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hokum berdasarkan kepentingan umum (maslahah al-‘amm). Dengan kata lain, beliau ingin menggeser paradigma teosentris ke antroposentris.<br />Hanafi memandang bahwa dengan berafiliasi pada ilmu fiqh niscaya akan kita temukan bahwa totalitas materi ilmu fiqh adalah kehidupan praksis, yakni kehidupan manusia dengan dirinya, keluarga, komunitas social, dan Penciptanya. Untuk itu, fiqh mendeskripsi manusia di dalam dunia. Demikian itu banyak dijelaskan di dalam ilmu ushul fiqh yang berorientasi pada inferensi (putusan rasional ) nilai-nilai yurisprudensi berdasarkan dalil-dalilnya. Dari sela-sela ilmu ushul fiqh inilah Hassan Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini, dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: 1) Kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode Transmisi/transferensi. 2) Kesadaran eidetic untuk menginterpretasikan teks-teks, memahaminya melalui analisis bahasa, dan mencapai maknanya sehingga bias diarahkan pada kehidupan praksis. Dan 3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah wahyu ditransformasikan ke dalam system ideal dunia dari celah-celah usaha dan tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir tindakan, bukan permulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses ‘menjadi’ daripada ‘relitas statis’ (al-kainunah). <br />2. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer<br />Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Qur’an juga banyak dipengaruhi oleh hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer. Dalam konteks penafsiran, pemahaman tidak pernah bersifat dan ilmiah. Sebab, pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu. Atau yang kita kenal sebagai “prapaham”. Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan “dinamika perpaduan berbagai macam factor”. Demikian pula, Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi. Gadamer berkeyakinan bahwa penerapan merupakan bagian dari hermeneutic. <br />3. Fenomenologi Husserl<br />Lebih lanjut, Hassan Hanafi melengkapi pemikirannya dengan kontribusi fenomenologi, terutama dalam kaitannya dengan kritik eidetic atau usaha transendensi “metafisika” teks, dan sebaliknya, mengupayakan tafsir atas dasar pengalaman eksperimentasi penafsir. Fenomenologi digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena sosial dan pengalaman-pengalaman hidup sebagai basis atau referensi bagi aktifitas penafsiran; serta teori hermeneutika itu sendiri sebagai metode pemahaman atas tek-teks Kitab Suci. Fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938) untuk menunjukan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termenifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori fikiran kita padanya (kembalilah pada realitas itu sendiri). Fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Salah satunya medium untuk memperoleh pengetahuan yang absah hanyalah melalui keputusan intuisi (kesadaran) langsung (tanpa perantara apapun). Kesadaran itu senantiasa merupakan kesadaran yang terarah pada sesuatu “kesadaran akan”. Dalam bahasa fenomenologi, dikenal istilah “intensionalisme” untuk menunjukkan bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu; dan “konstitusi” sebagai proses tampaknya berbagai fenomena bagi kesadaran. <br />4. Filsafat dialektika dan materialisme historis Marx<br />Pemikiran lain yang berpengaruh dalam penyusunan kerangka hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat social tersebut adalah Marxisme, tepatnya Marxisme klasik dengan filsafat dialektika dan materialisme historisnya, selain inspirasi revolusioner Al-Afghani dan Sayyid Quthb. Marx menitikberatkan aspek ekonomis dari pengertian kelas dan menjadikannya dasar terotisnya tentang perjuangan kelas dan menjadikannya sebagai faktor terpenting dalam perkembangan sejarah. Menurut Hanafi, struktur social adalah rangkap; kaya dan miskin, penindas yang ditindas, yang berkuasa dan pemberontak, minoritas dan mayoritas, kaum elit dan masyarakat. Tugas interpreter adalah mengubah status quo, yaitu dominasi pihak pertama pada pihak kedua, dan menghasilkan perebutan kekuasaan anatar kedua belah pihak, dan menghasilkan perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak, untuk kemenangan perubahan social sebagai sebuah revolusi perdamaian dan bertahap. Sehingga kemudian mengasilkan apa yang disebut sebagai hermeneutika progresif; yang dimulai dengan realitasnya sendiri dan akomodasi teks menurut realitas. Teks hanyalah sebagai sebuah alat. Hermeneutika progresif adalah material, penuh, social, terbuka, antroposentrik dan berarti. Konflik keduanya merupakan suatu perjuangan antara dua kekuatan social. <br /><br />D. LANDASAN METODOLOGI TAFSIR HASSAN HANAFI<br />a. Domain-Domain Analisis<br />Sebagaimana telah dibahas di permulaan, bahwa Hassan Hanafi berpegang kepada hermeneutika metodik sekaligus filosofis. Disamping itu, juga harus memperbincangkan dua dimensi lain dari wilayah penafsiran, yakni sejarah teks dan kepentingan praksis dalam kehidupan. Sehingga tujuan akhir dari sebuah teks wahyu adalah bagi transformasi kehidupan manusia itu sendiri. Bagi Hanafi, hermeneutika yang dibangun harus didasarkan kepada trilogy kesadaran sebagai preposisi terhadap teks-teks wahyu yang berkenaan dengan kitab-kitab suci. Yakni, berkenaan dengan kritik historis, kritik eidetic, dan berkenaan dengan cara aksi (kritik paraksis). Ketiga jenis preposisi ini tidaklah berjalan secara terpilah. Kritik historis mengantarkan kepada pemahaman eidetic pasti. Pemahaman atas makna juga mengantarkan kepada cara aksi karena aksi membutuhkan fundamen teoritis. <br />1) Kritik Historis<br />Melalui kritik historis, Hanafi pertama-tama bermaksud menemukan otentisitas teks. Dalam konteks yang lebih luas (makro agama-agama), kumpulan teks yang berkenaan dengan kritik historis selalu menyatakan sikap yang sama dengan berbagai cara; teks-teks wahyu tidak sama, tetapi telah dirubah dan digantikan dengan teks-teks non-wahyu. Jadi keseluruhan kitab-kitab suci diragukan kebenaran otentisitasnya. Namun begitu, otentisitas teks hanya dapat dibuktikan malalui kritik sejarah. Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, spiritual, atau bahkan fenomenologis. Sehingga timbullah apa yang dinamakan kesadaran histories. Bagi Hanafi , perhatian kesadaran histories adalah pada transferensi wahyu, baik oral maupun tulisan, mulai dari Rasul sampai perawi, dan dari perawi sampai pada perawi berikutnya, hingga generasi kita sekarang. Transferensi akan dianggap valid jika ketiga tahapan itu seimbang, dengan tanpa penambahan maupun pengurangan dan tanpa ada intervensi pentransfer melalui orientasi, ambisi, interpretadi tekstual, maupun interpretasi kontekstual-alegoris. Untuk itu, netralitas kesadaran/perasaan perawi merupakan syarat dari transferensi. <br />Selain itu, keaslian wahyu dalam sejarah, lebih lanjut menurut Hanafi, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didiktekan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula didiktekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan, dan lestari sampai saat ini dalam tulisan. <br />2) Kritik Eidetis<br />Setelah melalui kritik sejarah dilakukan untuk menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut sebagai kritik eidetic. Bagi Hanafi , kritik eidetic ini dimaksudkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai kesadaran eidetic, yaitu membangun interpretasi teks-teks wahyu untuk memahami dan mencapai maknanya sehingga bisa diarahkan pada kehidupan praksis.<br />Melalui bahasa, muncul beragam dimensi pendalaman bagi pemahaman di dalam eksplisit dan implicit; muncul dimensi kemungkinan-kemungkinan salah dan pemilihan-pemilihan yang kuat di dalam al-muhkam dan al-mutasyabihat; muncul dimensi indivuidu dalam ámm ¬dan khásh, dan muncul dimensi aksi dalam perintah dan larangan. Demikianlah bahasa ditransformasikan pada dimensi-dimensi manusia… bahasa melakukan eksplorasi tentang dunia internal manusia. <br />Kritik eidetic, menurut Hanafi, berada pada tiga level atau tahap analisis. Pertama, pada analisa bahasa; kedua, analisis konteks sejarah; dan ketiga, generalisasi. Analisis linguistic terhadap kitab suci memang bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik, demikian diakui Hanafi. Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap kitab suci. Dalam analisis bahasa, Hanafi menunjukkan pentingnya penggunaan fonologi, morfologi, leksiologi, dan sintaksis. Di samping itu, penafsiran harus juga memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Menurut Hanafi, terdapat dua jenis situasi, yakni “situasi saat” atau “contoh situasi” dan “situasi sejarah”. Situasi saat adalah kasus dimana teks diturunkan yang menjadi substratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah “situasi saat”nya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi inspirasi berupa wahyu tertentu dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wahyu pada masa berikutnya. Setelah makna linguistic dan latar belakang sejarah ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi di sini berarti mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini, Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyikapi beragam kasus-kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat. <br />3) Kritik Praksis<br />Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatika Hassan Hanafi. Dari awalpun kita pahami bahwa hermeneutika Hanafi ini merupakan cara baru baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praksis, demi terwujudnya transformasi sosial. Dalam kaitan dengan kredo Kiri Islam-nya, Hanafi bermaksud melampaui tafsir historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah Al-Qur’an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu.<br />”Kita membangun tafsir perspektif (al-syu’uriy) agar Al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik. Tafsir semacam ini telah dimulai oleh Sayyid Quthb dalam Fie zhilal al-Qur’an. Kita melampaui tafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang. Kita bangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia, dan sistem sosial. Kita tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan akidah ke dalam ideologi revolusi.” <br /><br />Inilah yang diharapkan Hanafi; suatu kesadaran praksis. Perhatian kesadaran praksis adalah merealisasikan orientasi-orientasi wahyu, pelaksanaan tuntutan-tuntutan pemikiran, dan melakukan tindakan praksis bagi persoalan-persoalan kontekstual. Kesadaran praksis diklasifikasikan menjadi al-maqásid (kepentingan-kepentingan) dan al-ahkám (hokum-hukum). Al-maqasid diartikan sebagai wahyu yang dianggap berpengaruh dan mengarahkan realitas. Al-maqasid terdiri dari dua macam: maqasid al-syar’I (kepentingan pembuat syara’) dan maqasid al-mukallaf (kepentingan manusia), dengan tujuan mewujudkan kepentingan Tuhan di dalam kepentingan manusia. Al-ahkam adalah identifikasi atas kepentingan-kepentingan yang ada di dalam domain-domain yang berbeda-beda bagi perilaku. Al-ahkam pun terdiri dari dua: al-ahkam al-wadl’I (nilai-nilai positif/ azimah-rukhshah) dan al-ahkam al-taklifiy (nilai-nilai formal/al-ahkam al-khamsah). <br />b. Relasi Wahyu, teks dan Realitas<br />Menurut Hassan Hanafi, pewahyuan Al-Qur’an adalah sebuah proses komunikasi yang memiliki tiga komponen dasar; pengirim, informasi (pesan), dan penerima. Tetapi dalam tradisi Islam, menurutnya hanya dua komponen pertama yang dominan, sementara komponen ketiga tidak mendapatkan porsi yang cukup. Itulah mengapa pembicaraan tentang wahyu dalam dunia Islam selalu tersita untuk berbicara tentang Tuhan (sebagai pengirim) dan Nabi sebagai penyampainya, tanpa ada perhatian pada “manusia” sebagai penerima pesan wahyu. Padahal komponen inilah kutub utama proses komunikasi. Akibat dari konsepsi yang keliru ini adalah dominasinya model berfikir tekstualis yang menganggap teks sebagai standar analisis. <br />Menurut cara berfikir seperti ini, seolah-olah teks adalah segala-galanya termasuk dianggap sebagai sesuatu yang melahirkan realitas, sehingga realitas selalu dilihat dari bunyi teks. Padahal menurut Hassan Hanafi, ini adalah kekeliruan karena semestinya adalah realitaslah yang menjadi standar. Jadi, bukan wahyu yang menyebabkan lahirnya berbagai peristiwa empiric (realitas), tetapi sebaliknya, yaitu supremasi realitas atas wahyu (teks), karena realitas akan selalu menjadi acuan teks yang tanpa acuan ini, teks menjadi hampa. <br />Hanafi berpendapat bahwa setiap teks selalu merupakan refleksi realitas social tertentu, teks merupakan penulisan semangat zaman yang terungkap dalam oengalaman individu dan masyrakat pada banyak situasi. Teks bukan semata-mata sebagai gambaran internal gagasan penulisnya, tapi teks juga merupakan sarana pembentukan kesadaran akan realitas tertentu yang terefleksi dalam teks. Tidak ragu-ragu Hanafi mengatakan bahwa “teks sebagai praktik ideology”; bahwa penulisan teks senantiasa tunduk pada factor-faktor subyektif, perspektif tentang kenyataan, perspektif dalam membaca dan menentukan orientasi tertentu. <br />Selanjutnya, Hanafi berpandangan bahwa teks tidak mengandung makna objektif apapun. Sebaliknya, pembacaan yang tidak dikaitkan dengan kepentingan itulah yang justru ideologis, karena berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari teks yang objektif padahal ia sama sekali tidak mmberi tafsiran yang objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu. Penafsiran, singkatnya, pada gilirannya, tidak memiliki parameter benar salah, kecuali tafsir kepentingan (al-tafsir al-qasdi) itu sendiri, makna berkorelasi dengan teks. Bagi Hanafi, penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah. <br />Teks selalu merupakan praktik manusiawi semenjak penciptaan pertama hingga pembacaan terakhir. Meskipun terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang melahirkan teks, namun ia tetap bukan menjadi pendasaran bagi penafsiran masa kini, karena sumber-sumber sejarah tetap tidak akan relevan. Baginya, penafsiran adalah kegiatan produktif, berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya, bahkan yang dimaksudkan oleh makna awalnya. Hal ini terkait dengan akumulasi pengetahuan yang tidak pernah disadari sebelumnya. Di samping berkaitan juga dengan kesadarannya akan realitas social dan individu di mana ia hidup. <br />Sebagai kegiatan produktif dan untuk menemukan dimensi baru pembacaan terhadap teks, Hanafi merinci tiga prasyarat yang tidak mungkin diabaikan dalam suatu pembacaan teks. Yaitu:<br />1) Pijakan pada situasi tertentu yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai prapaham atau kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (mengenai apa yang dibutuhkan dan dituju oleh penafsir). Tanpa dibekali kepentingan, penafsir tidak akan menemukan apa-apa. Makna bagi Hanafi, adalah tujuan yang telah ditentukan sebelum pembacaan dilakukan<br />2) Mengungkapkan kepentingan umum. Karena baginya, penafsiran adalah perjuangan antar kelas; yang menguasai dan yang dikuasai. Keberpihakan terhadap kepentingan public menolak pembacaan yang bertendensi ideologis dan teologis yang berpihak pada penguasa.<br />3) Penafsiran harus berpijak pada “bahasa realitas”. Jadi teks dalam pengertian “realitas”. Penafsiran mentransformasikan bahasa kepada masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi antara teks dan realitas. Boleh dikatakan bahwa pada tahap ini penafsiran dapat disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah yang menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.<br /><br />E. TEORI PENAFSIRAN HASSAN HANAFI<br /><br />a. Kritik Hermeneutika Tradisional<br />Menurut Hanafi, hermeneutika klasik Islam mengalami dua krisis akut yang kemudian menyebabkan kehilangan semangat dinamis dan progresifnya. <br />1. Krisis orientasi. <br />Disipliner-metodologis yang sarat dengan kepentingan<br />Bagi Hanafi, interpretasi adalah membaca. Membaca tidak hanya ungkapan vokal, tetapi merupakan sebuah proses pemahaman dengan mengubah seluruh teks menjadi realitas yang dimilikinya. Membaca berarti membawa teks kepada pusat hidup, dari masa lampau hingga masa kini, dari dunia eksternal dan objektif menuju dunia internal dan subjektif. Hermeneutik adalah ilmu interpretasi. Alat untuk menafsirkan, alat untuk memahami, dan alat untuk menjalankan. Hermeneutik adalah alat yang memainkan sebuah bagian perdamaian dari agama menuju revolusi, dan menyatukan legalitas agama dan revolusi menjadi satu. Hermeneutika pun merupakan kebenaran dalam menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang, dan alat untuk membaca tradisi dalam kepentingan revolusi. Untuk itu, sebuah aktifitas penafsiran mestilah mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat, mencerminkan kebutuhan kaum muslimin dan mencerap isu-isu kontemporer. Sebuah penafsiran mestilah punya tujuan, orientasi atau misi, yang menurutnya, untuk kepentingan transformasi sosial umat, pembelaan terhadap kondisinya dan memperjuangkan hak-haknya. <br />Orientasi-orientasi ini yang hilang dalam wacana hermeneutika klasik. Akibatnya, tafsir tradisional tidak otonom, melainkan terjebak pada orientasi yang lebih ‘metodologis’ dari berbagai disiplin keilmuan klasik Islam. Dalam konteks ini, penafsiran lebih banyak digunakan justifikasi bagi berbagai kepentingan. Tegasnya, hermeneutika klasik tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer. Di samping itu, Al-Qur’an lebih banyak digunakan sebagai justifikasi dalam menguatkan posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an menjadi alat yang berfungsi memapankan disiplin lain dan, baru setelah itu, digunakan kembali untuk menafsirkan Al-Qur’an. Padahal bagi Hanafi, AL-Qur’an sama sekali bukan buku panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, filsafat, mistik, atau buku pengetahuan, panduan sosila-politik, atau buku tentang metafor. Bagi Hanafi, AL-Qur’an lebih dilihat dan berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi tindakan. <br />Komentar Membujur yang tercerabut dari Kebutuhan Jiwa dan Semangat Zaman<br />Di samping terjebak dalam corak penafsiran disipliner, tafsir-tafsir tradisional dari segi bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan al-tafsir al-tahliliy, sebuah penafsiran yang disebutnya kegiatan bertele-tele.................................... <br />Di samping itu, dalam Tafsir tradisional, teks tidak mengarahkan kritik dan perubahan terhadap realitas, demi mempertahankan sistem yang ada. Untuk itu, Hanafi menawarkan tafsir sosial untuk mengkritik realitas sosial, menawarkan teks kepada masa kini bukan masa lalu dalam rangka perubahan kondisi sosial-politik masa kini, dan dalam rangka memberikan sumbangsih bagi gerak sosial-politik. Dengan kredo Kiri Islam-nya, Hanafi melampaui tafsir historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah Al-Qur’an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu.<br />”Kita membangun tafsir perspektif (al-syu’uriy) agar Al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik. Tafsir semacam ini telah dimulai oleh Sayyid Quthb dalam Fie zhilal al-Qur’an. Kita melampaui tafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang. Kita bangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia, dan sistem sosial. Kita tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan akidah ke dalam ideologi revolusi.” <br />2. Krisis epistemologis. <br />Bagi Hanafi, wacana klasik tak memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang terarah pada kepentingan tertentu. Tafsir klasik hanya berfungsi sebagai penjelasan tautologis dan repetitif tentang berbagai masalah yang tak berkaitan sama sekali dengan kepentingan dan realitas nyata masyarakat. Ciri tafsir seperti ini adalah kegemarannya mengulang-ulang pendapat klasik dan sifat apologetisnya dalam memformulasikan beragam argumen. Penafsiran dulu terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-Qur’an atau asfek linguistik dan sejarah turunnya Al-Qur’an. Padahal, keduanya mereduksi makna. Tafsir klasik juga membatasi pada kasus-kasus spesifik yang menjadi sebab turunnya ayat, sehingga terkesan ada ‘parsialitas’ makna dan relevansi. Padahal, semangat yang dikandung teks boleh jadi bersifat universal, tidak spesifik untuk satu komunitas atau satu sebab.<br />Pengujian yang Hanafi lakukan, sebagaimana diakuinya, benar-benar berpijak pada analisa sosial. Sehingga pemahaman seorang penafsir tidak tertutup kepekaannya untuk menangkap berbagai krisis sosial pada zamannya, serta menangkap trend peradaban. Menurut Hassan Hanafi, pemikiran tradisional Islam dalam rangka menganalisis masyarakat bertumpu pada metodologi baca teks semata, yakni model ”pengalihan” yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang bisa berbicara sendiri. Padahal metode demikian memiliki banyak kelemahan yang penting sebagaimana Hanafi ungkapkan sebagai berikut;<br />Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Dan karena setiap argumentasi haruslah otentik maka penggunaan teks sebagai argumentasi haruslah merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih dahulu sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya, dan ini elitis. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-kitab dan bukan otoritas rasio. Padahal otoritas seperti ini tidaklah argumentatif karena terdapat banyak sekali kitab suci, smentara realitas dan rasio hanya satu. Keempat, teks adalah pembuktian (al-burhan) asing karena ia datang dari luar dan tidak datang dari realitas. Padahal dalam pembuktiannya, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, teks selalu terkait dengan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, bahkan akan menyelewengkan maksud teks-teks yang sesungguhnya sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya, sehingga tidak mungkin untuk beriman pada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak pada penafsir ke dalam pola fikir yang parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentingannya, sebagaimana sang sosialis akan melakukan hal yang sama terhadap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks sehingga di dalam realitas, perbedaan dan pertikaian para mufassir akan menjadi sumber pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan, dan sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, namun tidak mengarah pada rasio dan kenyataan keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan tekstual bukan metode ilmiah untuk menganalisis realitas kaum muslim, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi lebih jauh rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip, namun tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir, kesebelas, kalaupun mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status dan tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan terhadap realitas sampai pada fakta ”siapa memiliki apa”. <br /> Selanjutnya bagi Hassan Hanafi, metode ”kiri Islam” adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu pada konteksnya (asbab al-nuzul), dan Kiri Islam langsung merujuk secara objektif pada konteks tersebut dan mendefinisikannya secara kuantitatif. Dengan begitu, Hassan Hanafi ingin mengatakan bahwa yang mendasari penukilan suatu teks adalah menjadikan rasio dan persaksian sebagai aksioma (dalil) disertai penajaman eksperimentasi, realitas kuantitatif, dan penggunaan bahasa angka-angka.<br /> Bagi Hanafi, setiap tafsir tradisional, baik yang disebut bi al-ma’tsur maupun bi al-ma’qul, pada dasarnya tidak dapat menghindarkan diri dari analisis nalar. Hal ini karena penafsir bagaimanapunnselalu menarik makna dengan pemikiran murni, baru setelah itu beralih pada pemberian justifikasi, baik berdasarkan riwayat maupun argumen fikiran. Kebenaran riwayat hadits shahih dalam tafsir riwayat, maknanya tetaplah hipotetis. Kebenaran riwayat tidak mempengaruhi makna-makna yang ditulis mufassir. Begitu pula yang ma’qul, sebab makna yang diperoleh secara hipotetis tidak mungkin menjadi positif hanya dengan argumen yang sama-sama hipotetisnya. <br />Bagi Hanafi, Metode linguistik mencerabut penafsir dari prinsip-prinsip metode pengalaman eksperimental (manhaj al-tajribiy al-istiqra’iy) yang tidak lain menjadi dasar penetapan hukum dalam Islam. Di samping itu, metode linguistik mengabaikan pemahaman komprehensif terhadap teks yang dapat diperoleh melalui persepsi langsung, tanpa harus melalui aturan-aturan struktural kebahasaan. <br />Untuk menanggulangi kekurangan itu, Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode analisis pengalaman (manhaj tahlil al-khubrat). Metode ini bersumber dari disiplin fenomenologi bagi teks-teks keagamaan. Menurut Hanafi, analisis bertumpu pada pengalaman hidup tidak saja membwa kepada makna teks, namun bahkan pada realitas itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang diungkap teks. Oleh Hanafi, inilah yang dimaksud al-ta’wil. Prosedur pendekatan ini adalah orang yang ingin menafsirkan teks terlebih dahulu menganalisis pengalamannya sendiri sebelum mulai menafsirkan teks atau menulisnya. Tujuannya adalah untuk memunculkan pada diri penafsir berbagai kepentingan, motivasi, dan imajinasi tertentu yang mendasari dan mengarahkan penafsiran. Setelah itu barulah hasil-hasilnya dikorelasikan dengan teks. <br /><br />b. Teori Interpretasi<br />Menafsirkan dalam pandangan Hanafi tidak hanya dipahami sebagai tindakan analisis, tapi juga mensintesis; bukan hanya membagi suatu keutuhan ke dalam urain parsial, tetapi juga menyimpulkan begian-bagian teks ke dalam suatu pandangan global. Dengn kata lain menafsirkan adalah mencari inti sesuatu, focus dari objek. Menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks, menggeneralissikannya ke dalam suatu pengetahuan umum, suatu hal yang sebelumnya belum diketahui dan tidak terkatakan menuju level terdalam dari teks yang koresponden dengan kesadaran yang paling dalam. Menafsirkan hampir serupa dengan menulis teks baru, sebab merefleksikan Al-Qur’an di hadapan individu. <br />1. Prinsip-Prinsip Metodologis<br />Sebagai seorang pemikir yang serius komitmentnya terhadap pemikiran kondisi actual umat sehingga sampai menempatkan supremasi realitas sedemikian rupa, Hassan Hanafi tidak sepakat apabila tafsir hanya diidentifikasi sebagai sekedar teori memahami teks. Untuk itulah ia mengajukan tawaran metodologis yang disebut sebagai al-manhaj al-ijtima’ fi al-tafsir. <br />Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dari metode ini, Hassan Hanafi mengusulkan beberapa kaidah dasar yang mesti difahami sebelum kegiatan penafsiran dimulai. Pertama, wahyu diletakkan dalam “tanda kurung” (ápoché), tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Bahwa dalam tafsir teks Al-Qur’an, tidak perlu dipertanyakan asal-usul maupun sifatnya. Ini mengingat tafsir tidak terkait dengan masalah kejadian teks melainkan berkait dengan isi.<br />Kedua, Al-Qur’an sebagai teks tidak dibedakan dari teks-teks kebahasaan lainnya. Artinya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak dibangun atas asumsi bahwa Al-Qur’an adalah teks sacral dengan segala keistimewaannya.<br />Ketiga, penafsiran tidak mengenal penilaian normative benar atau salah. Karena perbedaan pendekatan penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Akibatnya pluralitas penafsiran adalah kenyataan yang tidak bias dihindarkan, karena pada dasarnya setiap penafsiran merupakan salah satu ekspresi komitmen social-politik pelakunya.<br />Keempat, tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman para penafsir. Teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Teks hanyalah bentuk, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.<br />Terakhir, kelima, konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis. Jadi, teori sebenarnya hanyalah kedok epistemologis. Setiap poenafsiran mengungkapkan komitmen sosio-politik penafsir. Penafsiran adalah senjata ideologis yang digunakan banyak kekuatan sosio-politik, baik dalam ragka mempertahankan kekuasan atau merubahnya. Penafsiran konservatif menciptakan status quo, sementara penafsiran revolusioner untuk mengubahnya.<br />Kaidah dasar ini sengaja dicanangkan untuk mem-back up komitmennya sendiri terhadap realitas yang sejak awal sudah disadarinya. Barangkali, dengan kesadarannya ini pula, dia menegaskan ketidaksepakatannya atas anggapan para mufassir modern tentang dapat ditemukannya makna objektif Al-Qur’an. Ketidakmungkinan ditemukannya makna sejati Al-Qur’an menurut Hassan hanafi tidak saja lantaran adanya jarak waktu yang begitu jauh antara sejarah teks Al-Qur’an dengan penafsirannya, tetapi seperti pengalamannya sendiri menunjukkan, pebafsiran selalu dibangkai oelh kepentingan penafsir, posisi sosialnya, juga kondisi cultural dimana teks Al-Qur’an ditafsirkan. Apalagi tafsir yang dimaksudkan oleh motif membaca teks, tetapi lebih sebagai upaya pemecahan problem social kemanusiaan tertentu.<br />2. Karakteristik Interpretasi<br />Sebagai hermeneutika bertujuan praksis, hermeneutika pembebasan berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, sekaligus mengarah perhatian pada tafsir tema-tema social Al-Qur’an. Untuk tujuan itu, Hassan Hanafi menggariskan beberapa karakteristik hermeneutika pembebesan sebagai berikut:<br />Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafsir al-juz’i). tafsir diarahkan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam Al-Qur’an dan bukan menafsirkannya secar keseluruhan.<br />Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik, mengingat tidak menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan sistematika konkordasinya. Tetapi lebih senang menafsirkan keseluruhan ayat Al-Qur’an dalam tema-tema tertentu.<br />Ketiga, hermeneutika Al-Qur’an bersifat temporal. Sebagai penafsiran yang berorientasi sosial, hermeneutika tidak diarahkan kepada proses pencarian makna universal, tetapi diarahkan untuk memberi gambaran tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa mendatang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer dimana ia muncul.<br />Keempat, realistic. Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraan mereka dan bukan tafsir yang tercerabut dari masyarakat.<br />Kelima, berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata. Karena wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi, dan kepentingan, yakni kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiawi, rasional, dan natural.<br />Keenam, tafsir eksperimental. Dengan kata lain, ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup penafsir.<br />Ketujuh, perhatian pada problem kontemporer. Upaya penafsiran dilakukan didahului oleh adanya perhatian atau penelitian akan masalah-masalah kehidupan.<br />Kedelepan, posisi social penafsir. Posisi seseorang dalam kapasitasnya sebagai mufassir ditentukan secara social sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran adalah bagian dari struktur social, apakah penafsir merupakan bagian golongan atas, menengah atu bawah.<br />3. Metode Sistematis<br />Untuk mendukung hermeneutika pembebesan dengan berbagai karakteristik dia atas, Hassan Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis atau prosedur interpretasi yang berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika penafsiran Al-Qur’an dilakukan. Aturan-aturan tersebut sebagaimana berikut:<br />Pertama, merumuskan komitmen social politik. Penafsir bukanlah seorang yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis pada masanya. Ia adalah seorang reformis, actor social, dan revolusioner.<br />Kedua, mencari sesuatu. Ia harus mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Ia bukan orang yang memiliki kesadaran netral, ia harus berpihak. Ia mencari solusi atas suatu masalah. Kesadaran itu adalah kepentingan.<br />Ketiga, berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Demi menemukan orientasi umumnya, melalui pengumpulan ayat-ayat yang concern dengan tema tertentu secara seksama, dibaca secara simultan, dan dipahami berulang-ulang.<br />Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistic. Demi menemukan makna melalui analisa linguistic. Bagi Hanafi bahasa sebagai bentuk pemikiran membawa penafsir ke dalam makna.<br />Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistic memberi orientasi makna, penafsir berusaha membangun suatu struktur, beranjak dari makna menuju suatu objek, dari noesis menuju noema. Makna dan objek adalah satu koin yang sama. Makna adalah objek yang bersifat subjektif, sementara objek adalah subjek yang objektif.<br />Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil. Setelah proses membangun struktur, memberikan tema kualitatif dan analisa fakta social member status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, penafsiran membandingkan struktur ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi factual yang diinduksi oleh statistic dalam ilmu-ilmu social.<br />Kedelapan, deskripsi model-model aksi. Sekali ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi social merupakan langkah berikutnya dari proses interpretasi (transformasi social). Namun bukan mengarah kepada kekerasan, dilakukan melalui tindakan gradual antara teks dan aksi.<br /><br />F. SEBUAH CATATAN PENUTUP<br />Dengan karakternya yang realis, tematis, temporal, transformatif dan eksperimental, metodologi tafsir Hassan Hanafi disamping menunjukkan bingkai pembaruan pemikirannya juga sekaligus tampak digiring untuk melegitimasi proyek pembaharuannya yang bercorak kiri. Keberpihakan ini menjadikan Hassan Hanafi buru-buru menolak pretense objektivistik sebagaimana yang lazim ditemukan dalam hermeuneutika Al-Qur’an modern. Justru dengan karakter di atas, Hassan hanafi ingin menegaskan subjektifitas dan kepentingan (ideologis) yang menjadi tujuan penafsirannya.<br />Dampak dari bais kepentingannya ini adalah terjadinya kontradiksi dalam pemikiran hermeneutisnya. Di satu pihak, membalik paradigma tekstualis hermeneutika klasik menjadi paradigm realis. Sementara di pihak lain, orientasi ilmiah objektif hermeneutika Al-Qur’an modern dikembalikan pada orientasi subjektif seperti dalam hermeneutika klasik. Pada gilirannya dapat disimpulkan bahwa pendekatan fenomenologi dan marxis dengan cirri utama analisis konflik antar kelas dalam masyarakat, begitu menonjol walau dibalut dengan dalih teori asbab al-nuzul maupun masalih al-ummah. <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008 <br />Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.<br />Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1986.<br />Azyumardi Azra, Menggugat Tradisi, Menggapai Modernitas: Memahami Hassan Hanafi dalam Pengantar Buku Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, Jakarta: Paramadina, 2003<br />Cecep Sumarna, Rekonstruksi ilmu, Bandung: Pustaka pelajar, hlm. 55.<br />E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan: gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, Jakarta: Logos, 1999.<br />Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002<br />Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Autopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.<br />F. Budi Hardiman, melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003<br />Hassan Hanafi, Islamologi 3; Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,Yogyakarta: LKiS, 2004<br />Hassan Hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki (Lampiran Jurnal)<br />Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, dan Hermeneutik, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003<br />Hassan Hanafi, Humum Al-Fikr Al-Wathan (Opposisi Pasca Tradisi, Terj.)….,<br />Hassan hanafi, Islam Wahyu Sekuler, Jakarta: INSTAD, 2001.<br />Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi, Jakarta: Paramadina, 2003<br />Hassan Hanafi Dkk, Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.<br />Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001.<br />J.B.A.F. Mayor Polak, Sosiologi; Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Penerbit dan Balai Buku “Ikhtiar”. 1960), Cet. ke-2,<br />Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan… <br />Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakrta: LKiS, 2007<br />Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas, 2004.<br />M. Mansur, Metodologi Tafsir “Realis”; Telaah Kritis terhadap Pemikiran Hassan Hanafi, sub judul dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir”, Yugyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002<br />Muqaddimah fie ‘Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat, Terj.), Jakarta Selatan: Paramadina, 2000<br />Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas…., Yogyakarta: Belukar, 2008<br />Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1994<br />W. Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung Pustaka Setia, 2004.desyahida_dedensyarifhidayathttp://www.blogger.com/profile/08886549868609365114noreply@blogger.com0