Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

SISTEM PERBUDAKAN DALAM ISLAM Sebuah Kajian Sosiologis Historis

Oleh: Deden Syarif Hidayat

PENDAHULUAN
Dalam diskursus tentang Al-Qur’an secara keilmuan, pembahasan tentang Perbudakan termasuk kepada kelompok sosio-historis (B). Karena ayat-ayat yang membicarakan tentang perbudakan tersebut mencakup dalam ranah kemasyarakatan. Pada kesempatan ini akan dibahas bagaimana secara sosio-historis perbudakan muncul dan berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Bagaimana latar belakang dan kondisi sosio-historis turunnya ayat-ayat tentang perbudakan. Sehingga akan menimbulkan pembahasan yang lebih luas dilihat dari pendekatan historis-sosiologis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap keterkaitan antara kemunculan ayat-ayat perbudakan dan relevansinya dengan konteks kekinian dalam struktur masyarakat Islam. Lebih lagi, apakah Islam mengakui atau melegitimasi adanya sistem perbudakan dan bagaimana realitas yang rerjadi di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin pada khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Ayat-ayat perbudakan, sebagaimana ayat-ayat yang lain, dari segi turun dan keberadaannya adalah empirik (E). yaitu dalil yang dilatarbelakangi oleh turunnya ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang perbudakan yang dikaitkan dengan budaya masyarakat setempat. Tetapi dari segi isi, ayat-ayat perbudakan membawa misi filosofis. Semua isi itu disebut dalil normatif (D).

PERBUDAKAN DALAM LINTAS SEJARAH
Sejak kapan mulai adanya budak dan sistem perbudakan, tidak ada satu keterangan pun yang dapat memastikannya. Yang jelas usia perbudakan mungkin sudah se-tua umur peradaban manusia itu sendiri. Bahkan di masa Nabi Yusuf As., hukum yang diberlakukan bagi pencuri ialah dengan jalan memperbudaknya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam QS Yusuf ayat : 75
            
Mereka menjawab: "Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, Maka dia sendirilah balasannya (tebusannya)". Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang zalim.
Perbudakan merupakan hal yang umum pada masyarakat pra-Islam, Timur Tengah dan Afrika serta Asia, adalah lembaga yang diterima dalam Islam seperti Yahudi dan Kristen yang merupakan lanjutan yang telah lama dianut oleh rumpun Semit Kuno, dan yang legalitasnya diakui oleh Perjanjian Lama, namun Islam memperbaiki kondisi para budak di tengah-tengah realitas social praktik perbudakan.
Ketika Islam datang, perbudakan telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia. Bahkan ia merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial yang terus berkembang tanpa ada seorang pun berfikir untuk merombaknya. System ini berlanjut pada masa Dinasti-Dinasti Islam pasca kekhalifahan. Pada masa dinasti Umaiyah, masyarakat di seluruh kerajaan terbagi kepada empat kelas social. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristocrat Arab; kelas mu’allaf, yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga, secara teoritis, Negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga Muslim; anggota-anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen, dan Saba’ yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam; terakhir kelas yang paling rendah adalah golongan budak.
Demikian pula, gejala perbudakan harus diakui pernah marak di masa Dinasti Abbasiyah. Posisi teratas dalam tingkatan social ditempati oleh khilafah dan keluarganya, para pejabat pemerintahan, keturunan Bani Hasyim dan orang di sekitar mereka. Kelompok terakhir meliputi para prajurit dan pengawal istana, sahabat dekat, para mawla, dan pembantu. Para pembantu itu hamper semua adalah budak yang direkrut secara paksa dari kalangan non-muslim, baik yang ditawan pada masa perang atau dibeli pada masa damai. Gagasan maraknya praktik perbudakan bias dilihat dari tingginya jumlah budak yang dimiliki oleh keluarga kerajaan. Diriwayatkan bahwa istana Muqtadir (908-932) memiliki 11.000 laki-laki Yunani dan Sudan yang dikebiri. Al-Mutawakkil diriwayatkan memiliki 4.000 orang selir yang senuanya diajak tidur menemaninya. Pada suatu kesempatan, Al-Mutawakkil menerima hadiah sebanyak 100 budak dari salahsatu jenderalnya.
Demikian maraknya perbudakan di kalangan kerajaan saat itu. Namun begitu, pada masa Abbasiyah ini, banyak diantara budak-budak ini yang memiliki posisi strategis dalam kerajaan. Dinasti Abbasiyah memperkenalkan lembaga prajurut budak (Mamluk), yang menjadi unsur penting banyak kerajaan Muslim; kerajaan budak mulai menempati posisi penting di militer, menjadi Jenderal dan gubernur propinsi yang kuat. Termasuk setelah itu, terjadi pada masa dinasti-dinasti Timur. Diceritakan bahwa salah seorang budak Turki disukai dan dihargai oleh kerajaan Samaniyah, serta dianugrahi pos penting dalam pemerintahan, dia adalah Alptigin, yang memulai karirnya sebagai pengawal.
Lalu bagaimana sebenarnya Al-Qur’an memandang system perbudakan ini? Dan bagaimana cara-cara penghapusan yang ditawarkan Islam?

PERBUDAKAN DALAM AL-QUR’AN
Makna budak secara bahasa menunjukkan seseorang yang menjadi abdi, hamba, jongos atau orang yang dibeli untuk dijadikan budak. Sedangkan perbudakan mengacu pada sistem sosial di suatu masa dimana segolongan manusia merampas kepentingan golongan manusia lain. Dalam memandang masalah budak dan perbudakan, maka Islam melihat ada dua permasalahan penting yang harus dipecahkan. Yang pertama adalah menyangkut budak itu sendiri, sebagai mahluk yang menjadi barang perniagaan, selalu direndahkan harkat dan martabatnya, tidak merdeka dan diperjual belikan. Sedang permasalahan kedua menyangkut sistem perbudakan, yaitu menyangkut penyebab timbulnya perbudakan dan bagaimana Islam berupaya menghapuskan dan mengaturnya.
Dengan syariatnya yang mulia, Islam hadir untuk melepaskan budak dan sistem perbudakan. Syariat Islam datang dengan misi membebaskan para budak (Ar Roqiq/fakk raqabah) dan memperlakukannya secara terhormat dan manusiawi. Islam memandang para budak dari sisi bahwa mereka itu adalah manusia juga yang sama dengan manusia merdeka lainnya. Terutama pada fitrah insaniyah-nya. Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya. Islam datang dengan menyatakan:
 ••           •      •    
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
                          •       •
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,( Al-Nisa: 36)
                        
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. ( QS. Al-Nahl: 71)
Dalam kasus perbudakan, mengikuti pendekatan Fazlur Rahman, yang dibidik oleh Al-Qur’an sebagai sarana ideal moralnya adalah pemerdekaan budak. Al-Qur’an memang mengakui hukum praktik perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan sebagai solusi yang bersifat segera dan sementara. Pada saat itu, tidak ada alternative lain untuk meniadakan praktik yang telah berurat-berakar dalam struktur masyarakat Arab, masyarakat penerima Al-Qur’an pertama. Pelarangan secara mendadak tentu saja akan menimbulkan masalah baru, sementara masalah lama tetap tidak selesai. Cara seperti ini tidak akan menuai keberhasilan. Nampaknya memang Al-Quran Al-Karim sendiri dalam menangani masalah perbudakan tidak menggunakan sistem pengharaman secara eksplisit. Misalnya "budak itu haram dan jangan ikut-ikutan punya budak". Kita tidak mendapatkan nash yang berbunyi demikian. Jadi persoalannya ada dalam cara dan pendekatan menghapus system perbudakan.
Al-Qur’an perlahan menciptakan lingkungan yang bebas dari perbudakan. Dan penghapusan perbudakan ini dirasa berat melihat kepada kondisi yang telah berurat akar tadi.
       
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang ditentukan menurut kondisi sang budak, maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu. Tuannya tidak boleh menolaknya, seperti ditegaskan Al-Qur’an:
    •                     •                    •      
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (QS. Al-Nur: 33)
Dalam ayat ini, menurut Rahman , kita lagi-lagi dihadapkan pada situasi di mana logika yang jelas dari sikap Al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah. Kalimat “jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”, bila dipahami dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri dan berdikari, dan karenanya mungkin lebih baik ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapi sebaliknya, seorang budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta pemerdekaan dirinya dengan menebus segala syaratnya, maka tuannya harus memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an, pembahasan tentang perbudakan ini, bukan untuk melegalkan atau bahkan mempertahankan atau melestrarikan, namun justru untuk menghapuskan. Islam mengupayakan pembebasan yang sebenarnya bagi para budak, dari dalam dan dari luar. Dari dalam dengan jalan menyadarkan para budak, dari kedalaman sanubarinya, melalui keyakinannya bahwa ni'mat kebebasan itu sangatlah tinggi dan menggalakkan mereka agar mendapatkan kemerdekaan, sekalipun dengan pengorbanan yang berat dan mahal. Dari luar syariat Islam mengupayakan berbagai jalan untuk membebaskan budak, seperti yang tercermin dalam beberapa sarana berikut:
1. Memerdekakan budak karena mengharap Ridha Allah SWT dan mengharapkan surga-Nya.
Cara ini adalah pembebasan budak dari pihak tuannya atau pemilik budak yang mengharapkan pahala dan ganjaran di sisi Allah SWT dan terbebas dari api neraka. Dalam hal ini Islam sangat menggalakkan dan mendorong (targhib) para tuan agar memerdekakan budaknya. Sebagaimana firman-Nya:
       
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. (QS. Al-Balad: 13-14)
Di dalam nash-nash hadist Nabawi banyak kita dapati hadits yang menjelaskan keutamaan memerdekakan budak dan menggalakkan pembebasannya, diantaranya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من أعتق نسمة مسلمة أو مؤمنة وقى الله بكل عضو منها عضوا منه من النار
“Dari Ali R.a, Rosulullah SAW bersabda: Siapa saja memerdekakan seorang budak mukmin maka Allah menjanjikan akan membebaskan dengan setiap anggota tubuh budak itu, setiap anggota tubuhnya dari api neraka". (HR Abu Dawud dan Nasa'i)
Juga sabda Rosul ini:
عن البراء أن أعرابيا قال لرسول الله علمني عملا يدخلني الجنة؟ قال: أعتق النسمة وفك الرقبة. قال: أوليستا بواحدة؟ قال: لا إن عتق الرقبة أن تفرد بعتقها، وفك الرقبة أن تعين في عتقها
"Dari al-Barra' bin 'Azib, ia berkata: Ada seseorang Arab Badui datang kepada Rosulullah SAW seraya berkata: Wahai Rosulullah, ajarilah aku suatu amalan yang dapat memasukkan aku ke dalam sorga! Lalu Rosulullah SAW bersabda: "Merdekakanlah hamba sahaya dan lepaskanlah budak dari perbudakan". Orang Arab Badui itu bertanya: "Wahai Rosulullah tidakkah keduanya sama? "Rosulullah SAW menjawab: "Tidak, yang pertama berarti kamu sendiri yang memerdekakannya, sedangkan yang kedua berarti kamu membantu dalam memerdekakannya". (HR Imam Ahmad)
Hasil seruan syariat ini berdampak bagi kaum muslimin pada masa Rasul. Para sahabat bergegas memerdekakan para budak dengan ikhlas mengharap ridla dari Allah SWT. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan dengan memerdekakan beberapa budak yang berada di tangannya, kemudian teladan ini diikuti oleh para Sahabat. Abu Bakar ra telah menginfaqkan sejumlah hartanya untuk memerdekakan para budak dari tangan bangsawan Quraisy di Mekkah. Dan banyak sahabat lainnya yang berbuat serupa. Belum pernah ada dalam sejarah bangsa-bangsa terdahulu, terjadinya pembebasan budak secara besar-besaran, seperti di masa Islam.
2. Memerdekakan budak dengan kafarat
Kafarat merupakan sarana yang paling penting dalam memerdekakan budak. Al-Qur'an di dalam berbagai kesempatan menetapkan bahwa "memerdekakan budak" sebagai kafarat (penghapus) bagi beberapa pelangggaran syari'at dan dosa-dosa eksidental yang dilakukan oleh seorang muslim. Padahal pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam realitas kehidupannya sehari-hari sudah barang tentu tidak sedikit. Ini berarti Islam bersungguh-sungguh dalam memerdekakan budak sebanyak mungkin di dalam masyarakat Islam.
Diantara sarana pembebasan dengan kafarat sebagaimana disebutkan Al-Qur'an:
a. Orang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja) maka kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak dan membayar diyat kepada keluarganya.
b. Orang yang membunuh seorang dari kaum kafir yang sedang dalam perjanjian damai antara mereka dan kaum muslimin. Kafaratnya adalah memerdekakan budak.

     •      •                                                      
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa : 92)
Suatu saat Al-Harts bin Yazid bin Nabisyah dari Bani ‘Amir bin Luaymenyiksa Iyasy bin Abi Rabi’ah bersama Abu Jahl. Kemudian dia keluar menuju Nabi SAW, dan bertemu dengan Iyasy. Lalu ia menghunuskan pedangnya, sedangkan ia mengira bahwa Iyasy itu orang kafir. Kemudian ia mendatangi Nabi dan menceritakan kejadian itu. Sehingga turunlah ayat tersebut.
c. Orang yang melanggar sumpah, maka kafarat-nya adalah diantaranya memerdekakan budak.
                                                  
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Al-Maidah: 89)


d. Orang yang men-zhihar istrinya kemudian bertaubat maka kafaratnya adalah memerdekakan budak.
                       
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Al-Mujadalah: 3
e. Orang yang membatalkan puasa di bulan Ramadhan dengan sengaja (tanpa udzur syar'i) maka kafaratnya memerdekakan seorang budak; sebagaimana disebutkan oleh hadist Rasul ini :
"Dari Abu Hurairoh berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkata: "Wah...Celaka aku ya Rosulullah. Lalu Nabi menanyakan: "Apa yang membuatmu celaka? Laki-laki itu menjawab: "Aku telah 'mengumpuli' istriku di bulan Ramadlan." Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Apakah ada padamu budak yang bisa engkau merdekakan?. "Dia menjawab: Tidak ada ya Rasul. Rosul bertanya lagi: "Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan penuh secara simultan? "Dia pun menjawab: "Aku tidak mampu ya Rosul:. Lalu Rosul pun bertanya: "Apakah kamu mampu memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang?" Lagi-lagi lelaki itu menjawab tidak mampu. Akhirnya Rasul mengambil beberapa buah kurma dan menyuruh lelaki itu untuk menyedekahkannya kepada fakir miskin. lelaki itu kemudian berkata: "Adakah keluarga yang lebih fakir dariku di wilayah sini? "Maka Rosulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya, lalu kemudian berkata pada lelaki itu: "Pergilah engkau dan berikanlah kurma itu pada keluargamu."
3. Memerdekakan budak dengan Mukatabah.
Mukatabah ialah memberikan kemerdekaan bagi budak bila ia menuntutnya sendiri dengan imbalan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua pihak (tuan dan budak nya) dan akan ditunaikan oleh pihak budak secara berangsur; bila ia telah menunaikannya maka merdekalah sang budak tersebut.
    •                     •                    •       
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. QS An Nur : 33
Dalam ayat ini, salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perbudakan, yaitu seorang hamba boleh meminta pada tuannya untuk dimerdekakan, dengan perjanjian bahwa budak itu akan membayar jumlah uang yang ditentukan. Pemilik budak itu hendaklah menerima perjanjian itu kalau budak itu menurut penglihatannya sanggup melunasi perjanjian itu dengan harta yang halal. Untuk mempercepat lunasnya perjanjian itu hendaklah budak- budak itu ditolong dengan harta yang diambilkan dari zakat atau harta lainnya.

وروى النسائي عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (ثلاثة كلهم حق على الله عز وجل عونهم المجاهد في سبيل الله والناكح الذي يريد العفاف والمكاتب الذي يريد الأداء).
Al-Nasa’I meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: Ada tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah; yaitu orang yang berjuang di jalan Allah, ornag yang menikah karena ingin kesucian, dan orang yang membuat perjanjian untuk ditepati.
4. Memerdekakan dengan memberikan Zakat sebagai bagian dari mustahik zakat.
Bahkan dalam pembagian harta zakat, budak termasuk yang berhak mendapatkannya. Harta itu dapat digunakannnya untuk menebus dirinya dari perbudakan.
                        
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. QS. Al-Taubah: 60.
5. Dengan menikahi budak.
                                                  
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Al-Nisa: 2-3
            •  •                            •     
          •                                                       
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al-Nisa: 24-25.
Imam Al-Suyuthi menceritakan bahwa Al-Thabrani telah meriwayatkan sebuah hadit dari Ibnu Abbas berkaitan dengan hadits ini, dia berkata: ayat ini turun pada saat perang Hunain dimana kaum muslimin mendapatkan tawanan wanita yang memiliki suami. Ketika mereka bermaksud menikahi wanita itu, mereka menjawab bahwa mereka memiliki suami. Lalu ditanyakanlah persoalan tersebut kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini (Al-Nisa:24).
Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu tentang wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi (muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam wanita yang dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali budak-budak yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka tafsiran ayat "illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah "Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi, walaupun masih dalam status punya suami.
Dalam banyak penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami namun dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan atau dijual oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan dan suaminya tidak tertahan, maka oleh sebagian ulama dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula, jika seorang budak wanita dijual oleh tuannya, sementara suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis pula terceraikan dari suami tersebut. Dengan demikian, jika seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini, jangan ragu (boleh) karena tidak lagi berstatus bersuami.
Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah, justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut. Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka". Artinya, konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan: "Fa mimmaa malakat aemaanukum min fatayaatikumul mu'minaat". Oleh departemen agama secara lugas dan transparan diterjemahkan: "ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah jelas, bahwa jika tak mampu menikahi wanita merdeka (biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga kehormatan lelaki tersebut, tidaklah apa-apa menikahi (mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan karena tidak mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh menggauli budak tanpa nikah.
PENUTUP
Kasus perbudakan sebenarnya tidak didukung oleh Al-Qur’an. Kesan seolah-olah Al-Qur’an melaglkan praktik perbudakan tidak lain hanyalah untuk menyesuaikan dengan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Arab saat itu. Islam datang bukan dalam ruang hampa. Islam datang di tengah berbagai budaya dan tradisi yang telah mengakar di lingkungan suku-suku yang fanatik. Tidak mungkin begitu datang, Islam langsung meruntuhkan segala tradisi yang dianut oleh masyarakat. Bila itu dilakukan, justru akan bertentangan dengan semangat penegakan moral dan peradaban yang dicanangkan Al-Qur’an sendiri. Caranya dikikis secara perlahan hingga dimungkinkan hilang sama sekali.
Maka segala bentuk perbudakan dalam kisah kehidupan hari ini pun harus dihapuskan. Karena tidak dipungkiri terjadi kasus-kasus perbudakan gaya baru, baik itu tertuju kepada perseorangan, bangsa, ataupun negara. Segala yang sifatnya mengekang, mengeksploitasi, dan menjajah, dapat dikategorikan sebagai perbudakan gaya baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar