Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Jumat, 08 Januari 2010

FORMAT DAN FORMATISASI TEKS KAJIAN ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS MAKKIY - MADANIY DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGAJARAN

Oleh: Deden Syarif Hidayat

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an hanya bisa dipahami secara mendalam setelah memandang berbagai seginya (Hadits). Dengan kata lain, Al-Qur’an menjadi wahyu yang harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya adalah memahami Al-Qur’an sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Sebagai teks bahasa, Al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Bila Al-Qur’an sebagai bahasa, maka di dalamnya mesti terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya. Peradaban dan kebudayaan dibangun oleh dialektika manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain.
Teks pada dasarnya merupakan produk budaya. Teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun. Akan tetapi, bahwa teks merupakan budaya dalam konteks Al-Qur’an merupakan fase pembentukan dan kematangan, yaitu teks di mana teks setelah itu berubah menjadi teks yang hegemonik yang menjadi acuan dan landasan bagi teks-teks lain.
Perbedaan antara dua fase sejarah teks adalah perbedaan antara teks yang mempengaruhi dan mengubah budaya. Dengan demikian, dalam memahami Al-Qur’an harus disadari bahwa bahasa Al-Qur’an dibentuk dalam realitas budaya sehingga dapat menjadi solusi segala permasalahan masyarakat. Lalu sesuai dengan fungsi idealnya, yaitu rahmatan lil ’alamin dengan tidak mengenal ruang dan waktu.
Mengingat pembentukkan teks yang tidak terlepas dari konteksnya, dalam menafsir Al-Qur’an, analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab konsep ”wahyu” itu tidak akan dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan adanya hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Sesorang tidak mungkin memahami hanya dengan mengenal teks di luar realitas. Oleh karena itu, asbabunnuzul menjadi sangat penting digunakan untuk memahami suatu kondisi. Selain asbabunnuzul, untuk menentukan periodisasi ayat dan surat Al-Qur’an inilah kajian tentang Makkiy dan Madaniy menemukan momentumnya.
Perbedaan Makkiy dan madaniy dalam teks merupakan perbedaan antara dua fase penting yang memiliki andil dalam membentuk teks, baik tataran isi ataupun struktur. Dengan mempelajarinya kita akan memahami tahapan-tahapan sejarah pensyari’atan sebagaimana Allah mendahulukan ajaran-ajaran aqidah pada periode Makkah dan kemudian mengajarkan hukum-hukum dan syari’at-syari’at praksis pada periode Madinah.

B. PENGERTIAN DAN BATASAN MAKKIY DAN MADANIY
a. Pengertian Makkiy - Madaniy
Ada beberapa definisi tentang Makkiy dan Madaniy yang diberikan ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk mengklasifikasikan Makkiy dan Madaniy sebuah surat atau ayat. Secara garis besar perbedaan itu dapat dikategorisasikan kepada tiga kelompok, yaitu:
1. Kategori tempat (makani); berarti Makkiy adalah surat atau ayat yang diturunkan di kota Makkah dan sekitarnya. Sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya.
2. Kategori waktu (zamani)’ berarti Makkiy adalah ayat atau surat yang turun sebelum hijrah (periode Makkah), sedang Madaniy adalah ayat atau surat yang turun setelah amsa hijrah (periode Madinah)
3. Kategori obyek pewahyuan (mukhattab); berarti Makkiy adalah ayat-atau surat yang turunkan dengan mnyinggung orang-orang Makkah, sedang Madaniy adalah ayat-atau surat yang menginggung penduduk Madinah.
Menurut kebanyakan ulama, kategori yang kedua inilah agaknya yang lebih kuat. Kategori berdasarkan tempat dan obyek pewahyuan kurang hisa memuaskan karena tidak nisda diterapkan secara penuh pada seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, berbeda dengan kategori berdasarkan pada waktu yang mudah diaplikasikan untuk seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat Mekkah atau Madinah dapat diketahui dengan dua cara:
1. Naqly: Yaitu melalui informasi riwayat yang menjelaskan secara gamblang tentang penurunan ayat-ayat itu.
2. Qiyasi: Yaitu melalui proses-proses analogis, sesuai dengan karakter-karakter khusus yang ada pada ayat-ayat Mekkah atau Madinah.
Menurut Ibnu Zaid , kriteria klasifikasi, pada satu sisi, seharusnya didasarkan pada realitas, dan pada sisi lain didasarkan pada teks. Didasarkan pada realitas, karena gerak teks berkaitan dengan gerak realitas. Sementara didasarkan pada teks, apabila ditinjau dari kandungan dan strukturnya. Hal ini karena gerak teks dalam realitas berpengaruh di dalam pembentukkan teks dengan kedua sisinya; isi dan struktur.
Apabila kita perhatikan gerak realitas, maka kita harus menyadari bahwa peristiwa hijrah dari Makkah ke Madinah bukan sekedar pindah tempat. Apabila fase dakwah Makkah nyaris terbatas pada batas-batas indzar/ tugas member peringatan, belum sapai menyentuh batas-batas risalah, kecuali hanya sedikit maka perpindahan ke Madinah mengubah wahyu menjadi risalah. Yang membedakan antara indzar dan risalah adalah bahwa indzar berkaitan dengan pergulatan (perubahan) konsep-konsep lama pada taraf kognitif dan terkit dengan seruan menuju konsep-konsep baru. Dengan demikian, indzar menggerakan kesadaran bahwa ada kerusakan dalam realitas, dan oleh karena itu harus diadakan perubahan.
Sementara risalah bertujuan membangun ideology masyarakat baru. Transformasi ini tidaklah mungkin terjadi secara tiba-tiba. Fase kedua ini dimulai secra nyata ketika Nabim –setelah sebagian orang muslim hijrah ke Habasyah- mengadakan pembicaraan dengan para utusan yang dating ke Makkah pada musim haji. Kemudian, beliau dibai’at oleh penduduk Yastrib (madinah) bahwa mereka akan membelanya sebagaimana mereka membela istri dan anak-anak mereka sendiri setelah mereka menerima Islam. Peristiw ini sebagai petanda terjadinya perubahan baru dalam sejarah dakwah, dan berarti juga perubahab dalam gerak teks.
Dari sudut pandang inilah Abu Zaid memandang bahwa criteria klasifikasi yang didasarkan pada realitas ini harus didasarkan pada asas pembedan antara dua fase ini. Dengan demikian Abu Zaid memilih kategorisasi berdasarkan pada zamaniy. Namun dengan keterbatasan –dan pasti tidak ada-, data naqliy dalam penentuan Makkiy dan Madaniy itu (yang bersifat ijtihadiyyah), maka para ulama membuat beberapa criteria yang berkaitan dengan kandungan teks (struktur dan isi) itu, sebagaimana akan dibahas di bawah ini.

b. Ciri-ciri Khas Makkiy-Madany
Para ulama telah meneliti surah-surah Makkiy dan Madaniy; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

Ketentuan Makkiy dan Ciri Khas Temanya
Menurut Qaththan , Karakteristik Makkiy berdasarkan struktur/ketentuan dan isi/temanya adalah sebagai berikut:
1. Setiap surah yang di dalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makkiy.
2. Setiap surah yang mengandung lafal kalla, berarti Makkiy. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur’an. Dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
3. Setiap surah yang mengandung ya ayyuhan nas dan tidak mengandung ya ayyuhal lazina amanu, berarti Makkiy, kecuali Surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ya ayyuhal lazina amanur-ka’u wasjudu. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makkiy.
4. Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.
5. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makkiy, kecuali Surah Baqarah.
6. Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lainnya, adalah Makkiy, kecuali surah Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedang surah Ra’d masih diperselisihkan.
Ini adalah dari segi ketentuan, sedang dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlah diringkas sebagai berikut:
1. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat; dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka; dan sebagai hiburan buat Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah; seperti surah-surah yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.

Ketentuan Madaniy dan Ciri Khas Temanya
1. Setaip surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madaniy.
2. Setiap surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madaniy, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makkiy.
3. Setiap surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab adalah Madaniy.
Ini dari segi ketentuan, sedang dari segi cirri khas tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
1. Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
2. Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki di antara sesama mereka.
3. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
4. Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
Namun juga, seluruh karakteristik/criteria ini tidak exhaustis (lengkap dan sempurna), sebagaimana yang disadari ulama kuno. Semua itu hanyalah karakteristik yang menonjol saja. Demikian pula, criteria “isi” juga tidak pasti entry point ala fiqhiyyah mengasumsikan adanya perbedaan yang sangat jelas dan tajam yang dapat dibuktikan dalam membedakan antara yang Makkiy dan Madaniy. Untuk itu, criteria waktu harus tetap dioertimbangkan secara berbarengan dengan criteria teks tu sendiri, baik dari segi isi maupun strukturnya.

c. Kronologis Surat-surat Makiyah dan Madaniy
Sudah semenjak lama upaya penyusunan ayat-ayat Al-Quran oleh para ulama berdasarkan kronologi nuzulnya, sehingga disimpulkan bahwa surat-surat Al-Quran, baik yang termasuk Makiyah maupun Madaniy dengan merujuk kepada al-Naisaburi, dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase awal (al-marhalah al-ibtidaiyyah), fase pertengahan (al-marhalah al-mutasithah) dan fase akhir (al-marhalah al-khitamiyyah).
Dalam diskursus kronologi Makiyah dan Madaniy ini, sebenarnya tidak terlalu sulit jika si peneliti selalu merujuk kepada sumber dan riwayat yang valid (shahih). Untuk menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Madaniy, misalnya relatif lebih mudah ketimbang menyusun urutan fase-fase dari surat-surat Makiyah. Alasannya, Islam dapat berkembang pesat di sana dan para pemerhati Al-Quran mulai dari para pembaca, penghapal dan penulis serta penyalin Al-Quran semakin concern untuk meneliti dan mengamalkan ajaran yang dikandungnya.
Berbeda dengan fase Makiyah, karena hanya sekelompok kecil saja orang-orang yang beriman, maka banyak dari mereka yang tidak termasuk orang-orang yang pertama menganut Islam (al-sabiqun al-awwalun) yang kesulitan mengetahui fase-fase dinuzulkan wahyu. Namun, masalah yang dianggap paling sulit adalah berhadapan dengan surat-surat yang masih diperselisihkan, termasuk surat-surat Makiyah atau surat-surat Madaniy. Bahkan, para ulama klasik seperti Ibn ‘Abbas, Qatadah dan Muhammad Ibn Basir masih berbeda pendapat dalam masalah penanggalan beberapa surat.

Fase-fase dari Surat-surat Makiyah
1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)
Pada fase ini, surat-surat Al-Quran yang telah disepakati dinuzulkan di Mekah, diantaranya surat al-‘Alaq, surat al-Muddatsir, surat al-Takwir, surat al-A’lay, surat al-Layl, surat al-Insyirah, surat al-‘Adiyyat, surat al-Takatsur dan surat al-Najm.
Surat al-‘Alaq, misalnya, merupakan surat Al-Quran yang pertama dinuzulkan. Surat ini mempunyai relevansi signifikan dengan pertemuan Nabi Muhammad dan Jibril di Gua Hira ketika beliau menerima wahyu pertama kali. Di awal surat dijelaskan tentang keharusan Nabi Muhammad berkomunikasi dengan Allah, mengingat beliau seorang yang ummi.
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kedudukan orang berilmu. Orang-orang yang dapat menguasai ilmu pengetahuan maka ia akan mengetahui rahasia alam semesta yang bermanfaat bagi kebahagiaan hidupnya. Untuk itulah, Allah memerintahkan manusia untuk belajar.
Adapun surat al-Muddtsir dinuzulkan sesudah terjadi fatrah wahyu yang berisi seruan agar Nabi meninggalkan tempat tidurnya dan bersiap menjalankan tugas sebagai Rasul Allah. Disamping itu Nabi Muhammad diperintahkan untuk mensucikan dari perbuatan-perbuatan syirik dan dosa serta diperintahkan untuk senantiasa dalam kesabaran ketika ditimpakan ujian dan ikhlas dalam beramal.
2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat ‘Abasa, surat al-Qariah, surat al-Tin, surat al-Qiyamah, surat al-Murasalat, surat al-Balad dan surat al-Hijr.
Surat al-Tin, misalnya, menggambarkan hakekat fitrah manusia dalam keadaan baik dan dalam keadaan menyimpang. Allah telah memuliakan manusia dengan seperangkat kemampuannya yang terdiri dari jasmani dan rohani. Namun, karena manusia lupa akan fitrahnya, maka akhirnya ia menyimpang dari ajaran Allah.
3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Dukhan, surat al-Zukhruf, surat al-Shaffat, surat al-Sajdah, surat Ibrahim, surat al-Kahf, dan surat al-Dzariyyat.
Surat al-Shaffat, misalnya, mengemukakan beberapa hal yang bermacam-macam secara beruntun yang ada relevansinya antara satu dengan yang lainnya, yang semuanya menunjuk kearah pembinaan aqidah Islam yang bersih dari syirik.
Setelah Allah bersumpah dengan para malaikat yang berbaris dilangit menghadap Allah, maka Dia menegaskan bahwa Allah itu Esa, baik zat-Nya maupun Af’al-Nya. Disamping itu, surat ini berisi juga bantahan keras terhadap sangkaan orang-orang Arab bahwa antara Allah dan jin ada hubungan kerabat, karena, menurut anggapan mereka, Allah mengawini jin perempuan kemudian melahirkan para malaikat. Para malaikat menurut mereka adalah puteri-puteri Allah. Untuk penjelasan selanjutnya dapat dilihat dalam Al-Quran surat bersangkutan.

Fase-fase dari Surat Madaniy
1. Fase Awal (al-Marhalah al-Ibtidaiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Baqarah, surat al-Anfal, surat Ali ‘Imran, surat al-Ahzab, surat al-Mumtahannah, surat al-Nisa dan surat al-Hadid.
2. Fase Pertengahan (al-Marhalah al-Mutawasithah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat Muhammad, surat al-Zukhruf, surat al-Thalaq, surat al-Hasyr, surat al-Nur, surat al-Munafiqun, dan surat al-Mujadalah dan surat al-Hujrat.
3. Fase Akhir (al-Marhalah al-Khitamiyah)
Surat-surat yang dinuzulkan pada fase ini adalah surat al-Tahrim, surat al-Zukhruf, surat al-Jum’ah, surat al-Maidah, surat al-Tawbah dan surat al-Nashr.
Dari sekian banyak surat-surat Al-Quran yang termasuk Madaniy, ada beberapa surat lagi yang masih diperselisihkan untuk dikategorikan sebagai surat Madaniy. Jumlah surat-surat itu tersebut ada 12 surat, diantaranya surat al-Fatihah, surat al-Ra’d, surat al-Rahman, surat al-Shaf, surat al-Taghabun, surat al-Tahfif, surat al-Qadr, surat al-Bayyinah, surat al-Zalzalah, surat al-Ikhlash, surat al-falaq, dan surat al-Nas.
Salah satu analisis isi yang termasuk dalam kategori Madaniy adalah suat al-Anfal. Surat ini telah memuat pokok-pokok masalah yang terdapat pada sebagian besar surat-surat Madaniy dalam ketiga fase diatas, yaitu: (a) hukum-hukum syariat yang mengatur ibadah dan muamalah; (b) hukum-hukum syariat mengenai halal dan haram; (c) hukum-hukum syariat yang mengatur kehidupan pribadi, keluaga dan masyarakat (negara); (d) prinsip-prinsip syariat Islam yang mengatur pemerintahan, politik dan sosial ekonomi; (e) hukum damai dan hukum perang; (f) peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam peperangan; dan sebagainya.
Diskursus al-Makiy dan al-Madaniy ini banyak diamati pula oleh para sarjana Barat, terutama kaum orientalis (al-mustasyriq) yang concern terhadap ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, Gustav Weil, Theodor Noldeke, William Muir, Hubert Grimme dan lain-lain.

d. Kedudukan dan Kegunaan al-Makkiy wal-Madaniy
Lepas dari perbedaan pendapat para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an tentang status ilmu al-makkiy wal-madaniy apakah dia sebagai ilmu sima’i atau ilmu ijtihadi, yang pasti ilmu ini memiliki kedudukan penting dan strategis serta sekaligus mempunyai nilai guna yang sangat berarti dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu al-makkiy wal-madaniy mempunyai kedudukan yang signifikan bagi mufassir, paling sedikit sebagai ilmu penopang/pendukung atau ilmu bantu. Bahkan, bagi mufassirin yang mengikuti keberadaan konsep nasakh mansukh dalam al-Qur’an, hampir dapat dipastikan harus menjadikan ilmu al-makkiy wal-madaniy sebagai salah satu perangkat bagi mereka. Sebab, seperti diketahui umum, diantara prasyarat nasikh-mansukh ialah bahwa ayat mansukhah (yang di nasakh) harus diturunkan lebih dulu dari pada ayat yang me-nasakh (nasikhakh). Demikian pula ketika dihubungkan dengan penafsiran ayat-ayat ‘am dengan ayat-ayat khash dan lain-lain yang sejenis.
Itulah sebabnya mengapa ada diantara ulama tafsir yang memandang eksistensi ilmu al-makkiy wal-madaniy jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan ilmu sebab nuzul misalnya. Di antara alasannya, kata mereka, mengingat ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul. Ilmu al-makkiy wal-madaniy, ujar Subhi as-Shalih, jauh lebih luas dan bersifat menyeluruh dibandingkan dengan ilmu asbabin-nuzul yang bersifat partikel (juz’i).
Alasan lain yang juga layak dikemukakan ialah bahwa penggolongan ilmu asbabin-nuzul kedalam ilmu-ilmu riwayat yang dengan demikian maka sifatnya menjadi terbatas; sedangkan ilmu al-makkiy wal-madaniy bisa juga digolongkan kedalam kelompok ilmu-ilmu ijtihadi di samping ada juga yang lebih tepat digolongkan ke dalam lingkungan ilmu-ilmu sima’i (riwayat).
Berkenaan dengan kelebihan ilmu al-makkiy wal-madaniy, Abu Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi misalnya mengungkapkan demikian: “Di antara tanda dari kebesaran ilmu-ilmu al-Qur’an ialah ilmu tentang turunnya, ilmu tentang berbagai seginya, serta ilmu tentang tertib turunnya di Makkah pada saat permulaan, pertengahan dan penghabisan; demikian pula ketika di Madinah pada saat permulaan, pertengahan dan masa-masa akhirnya…” yang mengisyaratkan keluasan ruang lingkup jangkauan ilmu al-makkiy wal-madaniy.
Adapun mengenai faedah (kegunaan) mempelajari ilmu al-makkiy wal-madaniy, terdapat rumusan yang bervariasi di kalangan ahli-ahli ilmu al-Qur’an. Yang terpenting daripadanya ialah:
1. Ilmu al-makkiy wal-madaniy sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi klasifikasi berbagai periwayatan, pembenaran teks-teks (an-mushush) dan pembelaan terhadap penelusuran kebenaran sejarah. Itulah sebabnya mengapa dalam banyak atau bahkan hampir dalam keseluruhannya ilmu al-makkiy wal-madaniy lebih dibutuhkan daripada ilmu asbabin-nuzul yang pernah dijelaskan sebelum ini.
2. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seorang mufassir dan atau yang lainnya dapat mengenali dan sekaligus menelusuri jejak (napak tilas) rangkaian fase-fase dakwah Islamiyah dari awal hingga akhir dan sekaligus akan memperoleh inspirasi dalam memunculkan cara-cara yang prima dalam membangun sistem berfikir keislaman.
3. Dengan mengenali ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang mampu menghayati proses turunnya al-Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat, dari satu tempat ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu serta dari kelompok sosial yang satu kepada kelompok sosial yang lain. Ilmu al-makkiy wal-madaniy laksana cuplikan miniatur dan lorong-lorong potret al-Qur’an yang proses turunnya seakan-akan baru saja kita saksikan.
4. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, kita dapat mengetahui pensyari’atan hukum Islam (tasyri’ul-islami) dan perkembangannya yang bijaksana serta bersifat umum. Dengan demikian, kita dapat meningkakan keyakinan akan penyebaran Islam termasuk hukum yang ada di dalamnya – yang demikian bijaksana dalam mendidik umat manusia baik secara perorangan maupun kolektif.
5. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, seseorang dapat mengetahui sejarah perjalanan Nabi Muhammad Saw dari celah-celah ayat-ayat al-Qur’an. Turunnya al-Qur’an yang demikian rapi, teratur dan dilakukan secara bertahap namun juga tuntas dapat dijadikan landasan dalam menapak tilas sejauh perjalanan dan sepak terjang perjuangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
6. Dengan ilmu al-makkiy wal-madaniy, umat Islam dapat meningkatkan keyakinan akan kebenaran, kebesaran, kesucian dan kemurnian (originalitas) al-Qur’an; mengingat betapa besar perhatian umat Islam terhadap al-Qur’an sejak di masa-masa awal penurunannya sampai perkembangan berikutnya; dan sejak dari masalah-masalah besar sampai dengan masalah-masalah yang sekecil-kecilnya. Pendeknya, apa pun yang berhubungan dengan al-Qur’an, mereka bahas dengan tidak henti-hentinya.
7. Bagi para ulama yang menerima konsep nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, ilmu al-makkiy wal-madaniy dianggap memiliki peran penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya saja teori tentang keberadaan nasikh-mansukh dalam al-Qur’an ada juga ulama yang mengingkarinya.
8. Ilmu al-makkiy wal-madaniy dapat menghindarkan atau sekurang-kurangnya memperkecil (meminimalisir) seseorang dari kemungkinan salah dalam menafsirkan al-Qur’an.
Kegunaan kedelapan inilah agaknya yang paling urgen dari keberadaan ilmu al-makkiy wal-madaniy, dalam kancah penafsiran al-Qur’an. Betapa banyak orang yang kurang tepat atau malahan salah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hanya karena tidak mengetahui ilmu al-makkiy wal-madaniy. Sebagai ilustrasi, tidak jarang orang mengesankan Islam dan umatnya sebagai orang atau ajaran yang berpenampilan lembut dan bahkan lembek hanya karena mengacu kepada ayat; Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali sebagai (pembawa) rahmat bagi semua orang. (Al-Anbiya’ (21):107).
Bahwa Nabi Muhammad Saw pembawa rahmat, sehingga dengan demikian beliau demikian santun kepada siapapun termasuk kepada musuh, itu tidak perlu diragukan lagi. Dan penafsiran ini betul adanya. Tetapi tidak berarti sikap santun dan kasih sayang yang dimiliki serta diajarkan Nabi kepada umatnya itu tanpa batas sehingga mengesankan umat Islam identik dengan lembek dan loyo ketika dihadapkan pada situasi yang benar-benar memusuhi Islam dan umatnya. Selain karena ayat diatas (al-Anbiya (21):107) tergolong kedalam kelompok surat dan ayat makkiyah, juga terlalu banyak ayat yang terpaksa mewajibkan umat Islam bersikap tegas dan jika perlu bahkan harus konfrontatif melalui peperangan sekalipun. Perhatikan misalnya ayat 216 surat al-Baqarah (2) dan sejumlah ayat senada lainnya baik dalam surat al-Baqarah maupun surat-surat lainnya.
Jika kelompok surat makkiyah dan surat madaniy ini disampaikan secara benar, adil dan berimbang bahkan saling melengkapi, maka niscaya ghirah umat Islam terhadap agamanya pada satu misi akan tetap continue dan lestari; sebaliknya, pada sisi yang lain juga tidak akan lahir orang-orang ekstrim yang tidak memberi tempat dan kebebasan bagi orang-orang yang berlainan agama. Di sinilah antara lain terletak arti penting dari kemampuan seseorang mufassir menguasai ilmu al-makkiy walmadaniy dalam menafsirkan al-Quran.
Atas dasar ini maka penafsiran al-Qur’an yang bersifat holistik itu sangat perlu memperhatikan keserasian dan keselarasan antara ayat yang satu dengan ayat lain, baik di dalam surat yang berbeda dan lebih-lebih dalam surat yang sama. Guna mewujudkan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara serasi dan selaras ini sudah tentu seseorang memerlukan pengetahuan tentang ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok surat dan ayat makkiyah serta mengetahui surat dan ayat-ayat yang tergolong ke dalam kelompok madaniy.

C. IMPLIKASI ANTROPOLOGIS-SOSIOLOGIS KAJIAN MAKKIY - MADANIY DALAM PENGAJARAN
Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya. Demikian juga, umat Islam sangat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respon manusia; tetapi, diatas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya meneliti dengan cermat turunnya Qur’an ayat demi ayat, baik dalam hal waktu, tempat, ataupun pentahapannya.
Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode pengajaran-dakwah, macam-macam seruan, dan pentahapan dalam penetapan hukum dan perintah. Mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas’ud r.a.:“Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, setiap surah Qur’an kuketahui dimana surah itu diturunkan; dan tiada satu ayat pun dari Kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu daripadaku mengenai Kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti aku pacu untaku kepadanya.“
Syari’at diturunkan secara bertahap mengandung pengertian bahwa syari’at itu bersifat realistis, mengarahkan dan membantu manusia secar bertahap dan sedikit demi sedikit untuk melepaskan diri dari kejahiliyahan dan adat istiadat yang telah mengakar, dan untuk menjadikan Islam dan nilai-nilai moral tinggi sebagai karakter utama. Semangat ini tepat sekali diterapkan pada setiap proses pendidikan. Pendidikan dan pengajaran harus dilakukan bertahap dan disertai dengan metode dan pola pengajaran yang sesuai dengan kondisi objeknya.
Dalam teori dakwah, tingkatan peradaban masyarakat biasanya menjadikan pokok pangkal penentuan strategi dakwah. Artinya masalah tingkat peradaban suatu masyarakat dijadikan perhatian yang pertama kali sebelum meperhatikan hal-hal yang lain.
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadapi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannnya ditentukan, sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Surat-surat dalam Al-Qur’an, baik yang termasuk Makiyyah maupun Madaniyyah memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi topik pembicaraannya, susunan kalimat-kalimatnya maupun isi yang kandung masing-masing surat tersebut. Ciri-ciri khas tersebut telah memberikan ilustrasi tentang berbagai langkah bijaksana yang telah direkayasa Allah dalam rangka implementasi dakwah. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataannya, bahwa metode dakwah bagi penduduk Mekkah berbeda dengan metode dakwah untuk penduduk Madinah.
Sehubungan dengan sasaran (khithab) dakwah Nabi ini, maka Ahmad ‘Adil Kamal dalam bukunya, ulum Al-Qur’an, menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad berada di Mekkah, beliau menghadapi kaum Musyrikun dan kaum Pagan serta orang-orang pengingkar agama yang senantiasa militan terhadap kepercayaan nenek moyang mereka. Oleh karena itu, isi kandungan Al-Qur’an, pada umumnya, berisi mengetuk hati mereka, bahkan bernada keras dan tegas untuk menunjukkan kebodohan mereka.
Berbeda dengan di Madinah, Nabi Muhammad menghadapi empat golongan besar, yaitu al-Muhajirun (kaum pendatang), al-Anshar (kaum pribumi), Yahudi dan Munafiqun. Pada umumnya ayat-ayat itu berisi penegasan tentang ajaran-ajaran Allah sebagaimana yang telah diperolehnya. Dari kenyataan yang dihadapi Nabi ini, maka tidak heran jika ayat-ayat Makiyyah berbeda dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Mengenai kondisi sosio-historis Makkiy dan Madaniy ini, Al-Qaththan pun menjelaskan bahwa pada zaman jahiliah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir dan mereka mengatakan:
“Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, benarkah kami akan dibangkitkan kembali?” (Ash-Shaffat [37]:16)
“Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan yang akan membinasakan kita hanyalah waktu.” (A-Jasiyah [45]:24).
Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makkiy juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi sangat tegas dan kuat. Semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka yang ada didalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam Qur’an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai pelajaran dan peringatan.
Demikianlah, akan kita lihat Qur’an Surah Makkiy itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam Surah Qari’ah, Gasyiah dan Waqi’ah, dengan huruf-huruf hijaiyah pada permulaan Surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Qur’an Surah Makkiy.
Setelah terbentuk jemaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan Rasul-Nya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta aqidahnya telah diuji dalam berbagai cobaan dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada di sisi Allah daripada kesenangan hidup duniawi – maka di saat itu kita melihat ayat-ayat Madaniyah yang panjang-panjang membicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkurban di jalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar perundang-undangan, meletakkan kaidah-kaidah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan internasional dan antar-bangsa. Juga menyingkapkan aib dan isi hati orang-orang munafik, berdialog dengan Ahli Kitab dan membungkam mulut mereka. Inilah ciri-ciri umum Qur’an yang Madaniy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar