Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

KANDUNGAN ISI AL-QUR'AN; TEMA TENTANG ALAM SEMESTA

Oleh: Deden Syarif Hidayat


A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an merupakan himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW. Ia adalah kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan bathin. Allah menyebut Al-Qur'an dalam berbagai ayat, diantaranya, sebagai tibyan, al-Furqan, al-Zikr, al-Kitab, Syifa,dan huda.
Dalam mencapai fungsi di atas, terutama sebagai huda, Al-Qur'an tidak hanya menyebut dasar-dasar peraturan hidup manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam interaksinya dengan sesama manusia, tetapi ia juga menyebut hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan kealaman. Memang pada dasarnya Al-Qur'an merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun pembicaraan dan kandungan isinya tidak terbatas pada bidang keagamaan saja. Ia menghimpun bermacam-macam persoalan seperti perekonomian, falak, tumbuhan, manusia, alam semesta dan lainnya, demikian juga halnya dengan informasi tentang penciptaan dan fenomena alam semesta dalam Al-Qur'an. Masalah ini tidak terhimpun dalam satu kesatuan fragmen, tetapi ia diungkapkan dalam berbagai ayat-ayat yang tersebar dalam beberapa surat dalam Al-Qur'an. Perlu penulis tekankan di sini bahwa pembahasan tentang alam ini berkaitan dengan alam semesta, jagat raya, yang dalam bahasa Inggrisnya diistilahkan dengan universe.
Quraisy Syihab mengatakan bahwa Al-Qur'an menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan, an sebagainya, agar manusia mendapat manfaat berganda: (a) ia menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan, dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
Untuk itu, perlu diungkap di sini peta kandungan isi Al-Qur'an tentang alam semesta, mulai dari istilah alam dalam Al-Qur'an, bentuk-bentuk pengungkapan penciptaan dalam Al-Qur'an dan proses penciptaan dan fenomena alam semesta. Ini dilakukan untuk memberikan gambaran awal dan pandangan dasar mengenai Al-Qur'an pada dimensi kandungan isi khusus berhubungan dengan tema tentang alam semesta.
B. ALAM SEMESTA DALAM AL-QUR'AN
Dalam Al-Qur'an, sedikitnya ada beberapa terma sebagai asumsi awal yang mempresentasikan kata alam. Secara lebih luas, pembicaraan tentang realitas alam semesta dalam Al-Qur'an menurut Tanthawi Jauhari berjumlah 750 ayat. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat. Diantara terma sentral dalam pembahasan ini adalah 'alam dan al-samawati wa al-ardl. Di bawah ini akan dikupas mengenai dua terma tersebut.
1. 'Alamin.
Istilah alam atau dalam bahasa Arab adalah 'alam dalam Al-Qur'an hanya datang dalam jamak 'alamin, disebut sebanyak 73 kali yang disebar dalam 30 surat. Lokus yang memuat kata ini adalah:
Al-Syu'ara sebanyak 12 kali, Al-A'raf sebanyak 7 kali: Ali Imran, dan Al-An'am sebanyak 5 kali: Al-Baqarah dan Al-Ankabut sebanyak 4 kali: Al-Maidah, Al-Anbiya, Al-Shaffat dan Ghafir sebanyak 3 kali: Yunus, Al-Naml, Al-Jasiyat, Al-Takwir sebanyak 2 kali: Al-Fatihah, Yusuf, Al-Hijr, Al-Furqan, Al-Dukhan, Al-Waqi'at, Al-Hasyr, Al-Qalam, Al-Haqat, Al-Qashash, Rum, Al-Sajdat, Al-Zumar, Fushilat, Al-Zukhruf, Al-Shad, Muthaffifin masing-masing 1 ayat.
Menurut Raghib, dalam bentuk mufrad, 'alam adalah istilah untuk benda (falak) serta isinya yang meliputi materi-materi (jawahir) dan sifat-sifatnya (a'radl). Demikian pula dalam Lisan Al-Arab bahwa ‘alam adalah keseluruhan ciptaan (al-khalq kulluh), dengan kata lain apa-apa yang dikandung oleh perut semesta (ma ihtawahu buthnu al-falaq). Jamaknya, ‘alamun berarti unsur-unsur ciptaan (ashnaf akl-khalq).
Untuk menguji hipotesa di atas, perlulah kiranya diuraikan dua konotasi kata al-‘alamin dalam Al-Qur’an.
a. Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh ciptaan Allah.
Pemahaman ini diambil dari ungkapan QS. Al-Fatihah: 2:
    
Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Dari kata al-’Alamin ini sedikitnya penulis melihat beberapa penafsiran yang dilakukan beberapa ahli yang cukup sedikit berbeda, diantaranya:
1) Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh ciptaan Allah baik yang berakal maupun yang tidak berakal, yang nyata maupun yang ghaib.
Pemahaman ini dikemukakan oleh Imam Suyuti dalam tafsirnya yang menyatakan bahwa Rabb al-‘alamin pada surat Al-Fatihah itu bermakna Rabb manusia, Jin, Malaikat, Syetan, Rabb ciptaan dan Rabb setiap sesuatu (رب الإنس والجن والملائكة والشياطين ورب الخلق، ورب كل شيء).
Pengungkapan kata dengan bentuk jamak dikarenakan bahwa setiap jenis yang merupakan bagian dari 'alamin ini dinamakan 'alam, seperti halnya alam manusia, alam air, dan alam neraka. Diriwayatkan bahwa Allah memiliki tidak lebih dari 10.000 alam.
2) Al-‘Alamin yang berkonotasi makhluk yang berakal atau yang mendekati berakal, yang nyata maupun yang ghaib yaitu jin, manusia dan bukan yang lainnya.
Pemahaman ini direpresentasikan kepada Ibnu Abbas bahwa al-‘Alamin dalam ayat tersebut adalah Jin dan manusia, bukan yang lain seperti halnya binatang.
Hal ini sesuai dengan QS. Al-Furqan: 1;
  •      • 
Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
'Alamin di sini dipahami Jin dan manusia karena kedua makhluk inilah yang memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil (furqan).
3) Al-‘Alamin yang berkonotasi makhluk yang berakal atau yang mendekati berakal yang ada di dunia. Seperti
Menurut Quraisy Shihab, istilah 'alamin yang dimaksudkan Al-Qur'an adalah kumpulan yang sejenis dari makhluk Tuhan yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati makhluk yang berakal.dan inilah yang kemudian dipegang oleh Sirajuddin yang sangat kental dipengaruhi oleh pendapat Muhammad Abduh. Arti ini di dasarkan pada kata 'alamin yang menunjukkan jamak mudzakkar yang berakal. Sebab itu dikenal alam malaikat, alam manusia, alam jin, alam tumbuhan, dan lainnya, tetapi tidak dikenal istilah alam batu dan alam tanah, karena batu dan tanah tidak memiliki criteria di atas.
4) Al-‘Alamin yang berkonotasi seluruh spesies yang ada di dunia, benda hidup maupun benda mati.
Menurut Mujiono, dalam konotasi seluruh spesies ini, jumlah kata al-‘alamin berjumlah 46 tempat. Dengan rincian berupa frase possesif (idlafiyyah) sejumlah 41 tempat, seluruhnya adalah frase rabbun al-’alamin, dan berupa gabungan kata dengan kata depan sebanyak 5 kali.
Kata rabbun merupakan salah satu nama baik dan predikat khusus bagi Allah SWt, bahkan kata tersebut hanya digunakan untuk Tuhan semata, kecuali dalam keadaan khusus. Sedangkan kata al’alam yang berarti nama, dunia, organisme dan spesies. Oleh karena itu, al’alamin berarti banyak spesies yaitu meliputi seluruh spesies biotik seperti manusia, binatang, mikroba, dan spesies abiotik seperti tumbuh-tumbuhan, benda mati, mineral dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan QS. 17: 14; Dan lihat juga QS. 24: 41; dan 24: 16.
Adapun penyebaran kata seluruh spesies, al-’alamin yang digabung dengan kata depan berjumlah 5 kali, yaitu dalam QS. 2: 251; 3: 37; 3: 106; 29: 6; dan 37: 79. sebagai contoh, dalam QS. 2: 251 difirmankan:
                 ••           
Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
Dikatakan demikian sebab berdasarkan kontes wicaranya semua tidak hanya berkaitan dengan manusia melainkan berbicara dengan seluruh spesies.
Dalam konteks ini, Al-Raghib dengan mengutip Ibnu Abbas membagi alam ini kepada dua, ada alam besar (kabir) ada alam kecil (shaghir). Alam besar adalah alam semesta beserta isinya, sedangkan alam kecil adalah manusia, karena manusialah yang menjadi representasi (haiat) dari alam itu.
b. Al-‘Alamin yang berkonotasi (seluruh) spesies manusia.
Sedangkan kata al-‘alamin yang berkonotasi makhluk berakal yakni spesies manusia diungkapkan dalam Al-Qur’an sejumlah 25 kali.
Secara teknis ke-25 kali penggunaan tersebut seluruhnya digolongkan dengan beberapa kata depan. Sebagai sampel dapat disajikan sebabagi berikut:
QS. 2: 47, 3: 96, 3: 97, 7: 80. Al-Syu’ara: 165.
           
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas segala umat. (QS. 2: 47)
Indikasi utama dalam pembicaraan ini adalah bahwa pembicaraan dan kata kunci yang digunakan dalam konteks pembicaraannya adalah tepat untuk arti spesies manusia sebagai makhluk berakal. Kata kunci tersebut antara lain adalah kata hidayah, hudan, peringatan, dzikran, nurani, shudr, risalah, rasulan dan sebagainya. Bahkan ketika berbicara surat Al-Baqarah/2: 47, Al-Raziy menmbahkan bahwa fadldlaltukum ‘ala al-‘alamin di situ terbatas pada masa bani Israil dahulu kala ketika para Nabi itu ada.
Dari pemaparan di atas, ada hal yang menarik dari yang diungkapkan Al-Thabari dengan mengutip Abu Ja’far bahwa: pengungkapan Al-‘Alam dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak, tidak ada satupun lafadl yang bernadakan bentuk singular (wahid). Dan ‘alam adalah sebuah nama untuk unsur-unsur penghuninya. Setiap unsur dari penghuni itu adalah ‘alam. Dan penghuni masing-masing zaman itu adalah alam zaman itu. Dengan demikian, manusia adalah alam, dan penghuni masing-masing zaman adalah ‘alam zaman itu. Demikian juga dengan alam Jin. Dan digunakannya bentuk jamak karena ‘alam adalah kumpulan dari msesuatu yang beragam. Maka, dijadikannya ‘alam sebagai bentuk singular, ia adalah kumpulan dari sesuatu yang gradual. Atau dengan kata lain ‘alam berbentuk mufrad bermakna jamak.
Dalam Al-Qur’an secara eksplisit dikatakan bahwa al-‘alamin adalah Al-Samawat wa Al-Ardl wa ma Bainahuma, yaitu dalam firman-Nya:
               
Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". (QS. Al-Syu’ara: 23-24)
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan Al-Samawat wa Al-Ardl wa ma Bainahuma dalam Al-Qur’an?.

2. Al-Samawati wa Al-Ardl wa Ma Binahuma dalam Al-Qur'an
Pembahasan lain tentang alam dalam Al-Qur'an diungkapkan dengan menggunakan istilah al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma yang berjumlah sebanyak 20 kali, tersebar dalam 15 surat. Lokus yang memuat istilah dimaksud adalah surat Al-Maidah dan Shad sebanyak tiga kali, Al-Dukhan sebanyak 2 kali, Al-Hijr, Maryam, Thaha, Al-Furqan, Al-Syu'ara, Al-Rum, Al-Sajdat, Al-Shaffat, Al-Zukhruf, Al-Ahqaf, Qaf, Al-Naba masing-masing 1 kali.
Seperti QS. Al-Maidah: 17;
    •                    •                      
Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika dia hendak membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Juga QS. Maryam: 64-65;
 •                                 
64. Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa. 65. Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan dia (yang patut disembah)?
Untuk mengetahui pengertian kata tersebut seutuhnya perlu dilihat dalam konteks ayat sebeluknya; surat Maryam: 84 yang artnya kepunyaan Allah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya... Dengan demikian secara secara umum atau secara keseluruhan, kata al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma adalah kepunyaan Allah dan Dia yang mengaturnya sesuai dengan ketentuann-Nya. Oleh sebab itu, Sirajuddin menganggap kata al-samawat wa al-ardi wa ma bainahuma dalam ayat-ayat di atas itu yang mengacu pada alam semesta. Kata ini mengacu pada alam fisik dan non-fisik atau ghaib, seperti alam malaikat, jin, roh dan lainnya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan alam semesta adalah seluruh alam, baik fisik maupun non-fisik. Pandangan ini sejalan dengan isyarat yang terkandung dalam kata al-samawat wa al-ardl wa ma bainahuma, yang berarti banyak alam, yang berbeda bentuk dan hukum-hukumnya antara satu dengan yang lainnya. Dengan istilah lain bahwa yang dimaksudnya bukanlah alam yang didiami manusia saja, termasuk alam non-fisik atau shadow world.
A. Al-Samawat
Secara lebih detail, penggunaan al-sama’ dan derivasi bentuk jamaknya yakni al-samawat dalam Al-Qur’an secara kuantitas berjumlah 387 kali. Bentuk tunggal yakni al-sama’ diulang dalam Al-Qur’an sebanyak 287 kali dan bentuk jamak yakni al-samawat diulang sebanyak 177 kali. Pada dasarnya, kata sama’ berarti segala sesuatu yang ada di atas. Adapun sampel secara kontekstual terma al-sama’ dan derivasinya dengan berbagai konotasinya adalah;
a. Berkonotasi jagad raya dalam QS. 2:22,
              •          
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.
b. Berkonotasi ruang udara, seperti dalam QS. 16-79.
             •     
Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.
c. Berkonotasi ruang angkasa, seperti dalam Qs. 25: 61.
           
Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.
Meskipun data pengungkaan Al-Qur’an tentang terma al-sama’ bervariasi konotasinya yakni berkonotasi ruang udara, ruang angkasa dan ruang jagad raya. Namun jika dicermati keseluruhan, konotasi tersebut bermuara pada alam jagad raya. Karena jagad raya terdiri dari ruang udara dan ruang angkasa.


B. Al-Ardl
Demikian juga kata al-ardl. Dalam Al-Qur’an, secara kuantitas penggunaan kata tersebut sebanyak 463 kali baik muncul secara sendirian atau digabungkan dengan kata tugas. Pada dasarnya kata al-ardl ini berarti segala sesuatu yang berada di bawah sebagaimana langit berada di atas. Secara kualitas, kata al-ardl memiliki dua variasi makna. Pertama bermakna lingkungan planet bumi yang sudah jadi dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme atau jasad renik, wilayah tempat kehidupan manusia dan fenomenba geologis. Kedua, bermakna lingkungan planet bumi dalam proses menjadi yakni proses penciptaan dan kejadian planet bumi. Adapun penyebaran ayat ekologis yang menggunakan kata al-ardl dengan berbagai konotasinya adalah sebagai berikut:
a. Berkonotasi niche ekologis bumi, dalam QS. 2: 164.
•       •        ••       •                     
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.
b. Berkonotasi lingkungan hidup, QS. 2: 22, 5: 21, 7: 24, 7: 100, 14: 14.
              •          
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.
c. Berkonotasi ekosistem bumi, QS. 16: 15.
           
Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,
d. Berkonotasi daur ulang dalam ekosistem bumi, QS. 22: 5 dan yang semakna.
•           ••               
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang Telah kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.
Tetapi kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Qur'an sama dengan kitab ilmu pengetahuan, atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah. Ketika Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likuli syaiin (QS. 16:89), bukan bermaksud menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Qur'an terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrawi. Pada umumnya, ayat-ayat kauniyah ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan, mempelajari, dan meneliti alam semesta. Rujukan ini bertujuan mengantarkan manusia agar mereka menyadari bahwa di balik "tirai" alam semesta ini ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Esa, yakni Allah SWT.

C. BENTUK-BENTUK PENGUNGKAPAN PENCIPTAAN DALAM AL-QUR'AN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah memformulasikan setiap firman-Nya dalam bahasa umat masing-masing. Ini dimaksudkan Allah untuk memudhkan para Rasul menjelaskan misinya dengan bahasa yang mudah difahami kaumnya. Serta menggunakan bahasa Arab, yang keistimewaannya berupa redaksinya yang ringkas, teliti lagi padat serta kaya akan isi dan makna yang dalam.
Dalam mengungkapkan pengertian penciptaan, Al-Qur'an menggunakan beberapa terma, yaitu:
1. Khalq
Salah satu kata yang berarti penciptaan dalam Al-Qur'an adalah khalq. Perubahan bentuk atau tashrifnya dalam kumpulan wahyu Allah sebanyak 261 kali yang tersebar dalam 75 surat. Lokus pemuatannya ialah surat al-A'raf dan Al-Nahl masing-masing 11 kali; surat al-Mukminun, Al-Rum, dan Yasin masing-masing 10 kali; Al-Zumar 8 kali, Ali Imran, Al-An'am an Al-Isra masing-masing 7 kali; Al-baqarah, Yunus, Al-Hijr, Al-Furqan, al-Shaffat, Shad, Al-Zukhruf masing-masing 6 kali, Al-Ra'd, Al-Ankabut, Luqman, Fathir masing-masing 5 kali; Al-Nisa, Al-Taubah, al-Kahfi, Al-Anbiya, Al-Hajj, Al-Syu'ara, Al-Sajdat, Ghafir, Fushilat, Al-Ahqaf, Qaf, dan Al-Mulk masing-masing 4 kali; Al-Maidah, Ibrahim, Thaha, Al-Thur, Al-Rahman, Al-Waqi'ah masing-masing 3 kali; Hud, Maryam, Al-Nur, Al-Naml, A-Syura, Al-Dukhan, Al-Jasiyat, Al-Dzariyat, Al-Taghabun, Al-Ma'arij, Nuh, Al-Insan, 'Abasa, Al-Thariq dan Al-'Alaq masing-masing 2 kali; Al-Qashash, Saba, Al-Hujurat, Al-Najm, Al-Qamar, Al-Hadid, Al-Hasyar, Al-Thalaq, Al-Qalam, Al-Mudatsir, Al-Qiyamat, Al-Mursalat, Al-Naba, Al-Nazi;at, Al-Infithar, Al-A'la, Al-Ghasiyat, Al-Fajr, Al-Balad, Al-Lail, Al-Tin, dan Al-Falaq maing-masing 1 kali.
Dari bentukan kata khalq dia atas, ada sebanyak 11 kali yang tersebar dalam 7 surat. Penekanan artinya selain penciptaan, kendatipun arti ini masih bersumber dari arti penciptaan.
a. Ikhtilaq, yang berkonotasi perkataan dusta atau dusta yang diada-adakan.
Bentukan pertama dengan kata ikhtilaq (masdar bab tsulatsi mazid dua huruf). Menurut Ibnu Manzhur, ikhtilaq berarti ikhtirash dan kidzb yang berarti dusta. Kata ini terekam dalam surat Shad/38: 7.
          
Kami tidak pernah mendengar hal Ini dalam agama yang terakhir; Ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,
b. Khalaq, yang berkonotasi keuntungan.
Menurut Al-Raghib, khalaq berarti keuntungan yang diupayakan oleh manusia. Bentukan kedua dengan kata khalaq (sifat al-musyabahat) sebanyak 6 kali. Lokus yang memuat kata ini adalah surat Al-Baqarah/2: 102 dan 200 dua kali, Ali Imran/3: 77 satu kali, dan At-Ataubah/9: 69 tiga kali. Seperti;
                    
Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 102)
  •          ••             
Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.( Al-Baqarah/2: 200)

c. Khuluq, yang berkonotasi akhlak atau budi pekerti.
Bentukan yang ketiga dengan kata khuluq (isim), lokus yang memuatnya adalah surat Al-Syu'ara/26: 137 dan Al-Qalam/68: 4 masing masing satu kali.....
    • 
(agama kami) Ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Al-Syu'ara/26: 137).
    
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Al-Qalam/68: 4)
d. Mukhallaqat, yang berkonotasi ciptaan yang sempurna.
Bentukan yang keempat dengan kata mukhallaqat (isim). Kata ini tertuang dalam surat Al-Hajj/22: 5 sebanyak 2 kali.....
 ••                                         
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan.
Khalq artinya al-taqdir al-mustaqim (Ukuran atau ketentuan yang tetap). Hal ini berarti penciptaan dengan menggunakan kata khalq menurut asalnya mengharuskan adanya substansi sebagai bahannya.
Untuk menangkap pengertian kata khalq dalam Al-Qur'an perlu diteliti redaksi ayat-ayat yang menggunakannya. Dilihat dari obyek pemakaian kata ini, Maka, pengertiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Apabila objeknya selain alam semesta, maka ternyata kata ini berarti penciptaan sesuatu dari materi yang sudah ada (ijadu l-syai' min al-syai'). Adapun obyek yang dimaksd ditemukan dalam Al-Qur'an terdiri atas:
1) Penciptaan manusia.
Dalam Al-Qur'an penciptaan manusia (Adam dan keturunannya) dari materi yang sudah ada, disebutkan Allah secara eksplisit sebanyak 28 kali yang tersebar dalam 24 surat. Lokus pemuatannya, ialah surat Al-Hijr/15: 26, 28, dan 33; Al-Mukminun/23: 12 dan 14; Shad/38: 71 dan 76; Ali Imran/3: 59; Al-An'am/6: 2; Al-A'raf/7: 12; Al-Nahl/16: 4; Al-Isra/17: 61; Al-Kahfi/18: 37; Taha/20: 55; Al-Hajj/22: 5; Al-Furqan/25: 54; Al-Rum/30: 20; Al-Sajdah/32: 7; Fathir/35: 11; Al-Shaffat/ 37: 11; Ghafir/40: 67; Al-Rahman/55: 14; Al-Qiyamat/75: 38; Al-Insan/76: 2; Al-Mursalat/77: 20; 'Abasa/ 80: 19; Al-Thariq/86: 5-6; dan Al-'Alaq/96: 2.
       • 
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (Al-Hijr/15: 26)
2) Penciptaan Iblis/Jin
Iblis atau Jin diciptakan Allah dari materi yang sudah ada. Hal ini ditemukan dalam Al-Qur'an secara eksplisit dengan menggunkan kata khalq sebanyak 4 kali, yakni Al-A'raf/7: 12; Al-Hijr/15: 27; Shad/38: 76; dan Al-Rahman/55: 15.
                  
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" menjawab Iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (Al-A'raf/7: 12)
3) Penciptaan jenis hewan
Dalam Al-Qur'an kata khalq digunakan pula kepada penciptaan jenis hewan. Informasi ini ditegaskan Allah dalam surat Al-Nur/24: 45.
  •   •   •     •     •          •      
Dan Allah Telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Nur/24: 45)
b. Apabila objek kata al-khalq itu alam semesta, maka Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang penciptaannya, apakah dari tiada atau dari materi yang sudah ada. Dlam Al-Qur'an pemakaian kata khalq kepda alam semesta sebagai objeknya ditemukan sebanyak 38 ali dalam 32 surat. Lokus pemuatannya, ialah surat Ali-Imran/3: 191; Al-An'am/6: 1 dan 73; Al-A'raf/7: 54; Al-Taubat/9: 36; Yunus/10: 3; Hud/11: 7; Ibrahim/14: 19 dn 32; Al-Hijr/15: 85; Al-Nahl/16: 3; Al-Isra/17: 99; Al-Kahfi/18: 51; Thaha/20: 4; Al-Anbiya/21:16; Al-Furqan/25: 59; Al-Naml/27: 60; Al-Ankabut/29: 44 dan 51; Al-Rum/30: 8; Lukman/31: 25; Al-Sajdat/32: 4; Yasin/36: 81; Shad/38: 27; Al-Zumar/39: 5 dan 38; Fusshilat/41: 9-12; Al-Zukhruf/43: 9 dan 38; Al-Dukhan/44: 38 dan 39; Al-Jasiyat/45: 22; Al-Ahqaf/46:3 dan 33; Qaf/50: 38; Al-Hadid/57: 4; Al-Taghabun/64: 3, da Al-Thalaq/ 65: 12.
                    •  .
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ali-Imran/3: 191
        •    •      •       
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Al-Thalaq/ 65: 12
Dari pengamatan terhadap seluruh ayat-ayat di atas dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menyebutkan tentang penciptaan semesta dari materi yang sudah ada atau tiada. Namun, bila dilihat dari segi ini, maka pendapat Al-Raghib yang mengatakan bahwa kata khalq jika dipakaikan pada alam semesta, ia akan berarti penciptaan sesuatu dari bahan yang belum ada (ibda al-syai' min ghairi ashl wa ihtidza).
2. Bad'
Menurut Raghib, kata bad' berarti menciptakan atau mengadakan perbuatan tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi perbuatan tersebut adalah perbuatan baru, pertama kali dan mula-mula yang belum pernah ada sebelumnya.
Dalam Al-Qur'an, kata bad' dan derivasiya disebutkan sebanyak 4 kali dalam 4 surat. Lokus pemuatannya ialah surat Al-Baqarah: 117; Al-An'am:101: Al-Ahqaf: 9; dan Al-Hadid:27. Dua yang pertama mengandung arti penciptaan yang dipakaikan kepada Allah SWT. Sementara dua lainnya, penekanan artinya lain dari dua yang pertama, namun ia tidak terlepas dari artian bad' pada umumnya, karena memang berasal dari akar katanya dan ia dipakaikan kepada selain Allah. Berikut penjelasannya berdasarkan derivasinya.
a) Bentukan pertama adalah dengan kata Badi’ yang mengandung arti pencipta (mubdi’).
Badi’ adalah salah satu nama Allah yang menunjukkan bahwa Dia telah membuat ada sesuatu. Dia-lah Pencipta pertama, baru. Dia yang mengawali, dan hasilnyapun sangat menakjubkan. Sebagaimana firman-Nya:
            
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, Maka (cukuplah) dia Hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" lalu jadilah ia. Al-Baqarah: 117
              •      
Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengetahui segala sesuatu. Al-An'am: 101
Dengan demikian, Badi’ itu menunjukkan kepada penciptaan tanpa ada contoh sebelumnya. Jadi titik tekannya pada penciptaan tanpa bahan, dan sangat mengagumkan,
b) Bentukan kedua adalah Bid’.
               •          
Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan". Al-Ahqaf: 9
Menurut Ibnu Manzhur kata bid’ berarti sesuatu yang pertama kali atau mula-mula (al-syai’ al-ladzi yakunu awwalan). Dengan demikian ayat di atas menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah Rasul yang pertama kali, sebelumnya Allah telah mengutus Rasul-rasul yang lain.
c) Bentukan yang ketiga adalah Ibtida’
               •              •  
Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. (Al-Hadid:27)
Menurut Ibnu Manzhur, kata ibtida’ berarti ata bi bid’ah (ia mengada-ada atau membuat bid’ah). Dengan demikian, ayat di ats menunjukkan bahwa umat Nabi Isa mengada-adakan rahbaniyyah.
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa penciptaan dengan kata badi’ menunjukkan pada penciptaan yang pertama, baru yang belum ada contoh sebelumnya. Namun Al-Qur'an secara ekplisit tidak meginformasikan tentang bentuk penciptaan alam semesta yang indah, diciptakan tanpa contoh sebelumnya. Karenanya berpeluang diinterpretasikan antara penciptaan dari materi yang sudah ada dan tiada.
3. Fathr
Kata fathr dan derivasinya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 20 kali yang tergelar dalam 17 surat. Lokus yang memuanya adalah surat Al-An'am, al-Rum, dan Al-Syura masing-masing 2 kali; sementara Al-Isra, Thaha, Hud, Yasin, Al-Zukhruf, Al-Anbiya, Maryam, dan Al-Muzammil masing-masing satu kali.
Menurut Al-Raghib arti asal fathr adalah Al-Syaqq (pecah atau belah). Arti ini dipakaikan pula pada tafaththur dan infithar dengan segala bentuknya. Berangkat dari statemen ini, maka kata yatafaththarna (fi'l mudhri) yang terdapat dalam surat Maryam/19: 90 dan Al-Syura/42: 5; infatharat (fi'l madli) dalam surat Al-Infithar/82: 1; Futhur (jama' dari Fathr) pada surat Al-mulk/67: 3; dan kata munfathir (Ism fa'il) dalam surat al-Muzammil/ 73: 18 mengandung arti pecah belah. Namun demikian tidak semua arti asal yang terpakai dalam kelima ayat tersebut berkonotasi jelek atau kerusakan (al-fasad), akan tetapi ada diantaranya ia yang berkonotasi baik (al-ashlah).
Adapun kata futhur berarti al-syaqq yang berkonotasi jelek atau kerusakan seperti terekam dalam surat Al-mulk/67: 3;
      •              
Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Adapun kata munfathir berarti al-syaqq yang berkonotasi baik (al-shalah) seperti firman Allah dalam QS. Al-Muzammil/73: 18;
       
Langit(pun) menjadi pecah belah pada hari itu. adalah janji-Nya itu pasti terlaksana.
Kemudian kata fathr juga mengandung arti penciptaan. Arti ini terdapat sebanyak 14 kali dari 20 kata fathr yang ada di dalam Al-Qur'an. Lokus yang memuatnya, yakn surat Al-An'am/6: 14 dan 79; Hud/11: 51; Yusuf/12: 101; Ibrahim/14: 10; Al-Isra/17: 51; Thaha/20: 72; Al-Anbiya/21: 56; Al-Rum/30:30; Fathir/35: 1 Yasin/36: 22; Al-Zumar/39:46; Al-Syura/42:11; dan Al-Zukhruf/43: 27.
Ayat-ayat tersebut terdiri dari enam kali diantaranya membicarakan penciptaan manusia. Sedangkan sisanya sebanyak 8 kali membicarakan tentang penciptaan alam semesta. Ayat yang memuat penciptaan manusia, ialah Hud/11: 51; Al-Asra/17:51; Thaha/20: 72; Al-Rum/30: 30; Yasin/36: 22; dan Al-Zukhruf/43: 27. sebagai contoh:
    •           
Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang Telah menciptakanku. Maka Tidakkah kamu memikirkan(nya)?"
Sedangkan ayat-ayat yang memuat penciptaan alam semesta, ialah surat Al-An'am/6: 14 dan 79; Yusuf/12:101; Ibrahim/14: 10; Al-Anbiya/21: 58; Fathir/35: 1; Al-Zumar/39: 46; dan Al-Syura/42:11. Sebagai contoh, Al-An'am/6: 14;
                  •        
Katakanlah: "Apakah akan Aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintah supaya Aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik."
Sementara sisanya satu kali, yakni al-fithrat dalam surat Al-Rum/30: 30 mengandung arti bahwa Allah menciptakan potensi makrifat al-iman (pengetahuan iman) pada diri manusia berbarengan dengan waktu penciptaannya. Potensi ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri dengan bantuan daya akal dan adanya pengutusan Rasul yang akhirnya mengantarkan ia beriman kepada Allah SWT.
         ••             ••   
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Al-Rum/30: 30)
Dalam pembahasannya, Sirajuddin melihat bahwa penciptaan manusia dan alam semesta yang mengunkan kata fathr, tidak mengandung informasi tentang bentuk penciptaan secara rinci. Akan tetapi bila dlihat pada ayat-ayat lain, penciptaan manusia berasal dari materi yang sudah ada. Sedangkan penciptaaan alam semesta pada ayat-ayat yang lain pun tidak ditemukan penjelasannya secara rinci. Penciptaaan dengan kata fahr menunjukkan penekanannya pada penciptaannya dari permulaan, sejak awal tanpa contoh sebelumnya, sedangkan bad' titik tekannya adalah tiada contoh sebelumnya. Namun tetap tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit apakah ari materi yang sudah ada atau dari tiada.
4. Shun'
Menurut Raghib, kata shun' mengandung arti membuat baik perbuatan (ijadat al-fi'l). Kata shun' penekanannya pada suatu perbuatan yang telah begitu mengakar dalam jiwa atau tabiat yang sudah sentral dan tidak mungkin berubah lagi.
Dalam Al-Qur'an kata shun' dengan derivasinya terulang sebanyak 20 kali yang brserakan dalam 14 surat. Lokus yang memuatnya adalah surat Thaha sebanyak 4 kali, Hud sebanyak 3 kali, Al-Maidah sebanyak 2 kali; dan surat Al-A'raf, Al-Ra'd, Al-Nahl, Al-Kahfi, Al-Anbiya, Al-Mukminun, Al-Nur, Al-Syu'ara, Al-naml, Al-Ankabut, dan Fathir masing-masing satu kali, Sebagai contoh:
Al-Maidah/5: 63:
              
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.
Al-Naml/27: 88;
             •       
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam penelitiannya, Sirajuddin menyimpulkan bahwa kata shun' mengandung arti penciptaan satu bentuk baru dari beberapa bahan atau materi yang sudah ada sebelumnya. Akan tetapi dalam Al-Qur'an, penciptaan dengan emmpergunakan kata shun' tidak ada membicarakan tentang penciptaan alam semesta atau jagat raya.
5. Ja'l
Ja'l adalah lafal atau kata-kata yang menunjukkan secara umum tentang seluruh perbuatan. Dalam Al-Qur'an kata ini dengan derivasinya terulang sebanyak 346 kali dalam 66 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Al-An'am sebanyak 19 kali; Al-Furqan: 17 kali; Al-Baqarah, Al-Isra, dan Al-Kahfi masing-masing 15 kali; Al-Nahl sebnayk 14 kali; Al-Anbiya dan Al-Zukruf masing-masing sebanyak 12 kali; Maryam dan Al-Qashash masing-msing 11 kali; A-Nisa dan Al-A'raf masing-masing 10 kali; Al-Maidah dan Yunus masing-masing sebanyak 9 kali; Al-Naml sebamyak 7 kali; Ali Imran, Al-Hajj dan Nh masing-masng sebanyak 6 kali; Yusuf, Al-Ra'd, Al-Hijr, Al-Mukminun, Yasin, Al-Waqi'at, dan Al-Naba masing-masing sebanyak 5 kali; Al-Anfal, Ibrahim, Al-Syu'ara; Al-Ankabut, Al-rum, Al-Sajdat, Saba', Al-Sfahhat, Shad, Fushshilat, Al-Syura, Al-Hadid, dan Al-Thalaq masing-masing sebanyak 4 kali; Thaha, Al-nur, Al-Ahzab, Fathir, Al-Zumar, Ghafir, Al-Jasiyat, Muhammad, Al-Mudatstsir dan Al-Mursalat masing-masing sebanyak 3 kali; Al-Taubat, Hud, Al-Fath, Al-Dzariyat, Al-Mumtahanah, Al-Qalam, dan Al-Fil masing-masing sebanyak 2 kali; Al-Ahqaf, Al-Hujurat, Qaf, Al-Hasyir, Al-Haqqat, Al-Jinn, Al-Muzammil, Al-Qiyamat, Al-Insan, Al-A'la, dan Al-Balad masing-masing sebanyak 1 kali.
Dalam Al-Qur'an kata ja'l mengandung beberapa pengertian:
1. Ja'l, apabila ia mempunyai satu subyek, maka pada umumnya berarti ijad dan khalq (mengadakan atau menciptakan). Pengertian ini terkandung dalam firman Allah diantaranya surat Al-An'am/6: 1.
               
Segala puji bagi Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.
Berkaitan dengan ayat ini, arti ja'l diarahkan kepada menjadikan sesuatu dari bahan atau materi yang sudah ada, atau keberadaannya terkait atas wujud lain.
2. Ja'l berarti menjadikan atau mengadakan sesuatu dari sesuatu (fi ijad min syai' wa takwinih). Pengertian ini terkandung dalam firman Allah, diantaranya surat Al-Nahl/16: 72; Al-Syu'ara/42: 11; dan Rum/30: 21.
                      
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (Al-Nahl/16: 72)
3. Ja'l menunjukkan penamaan yang dusta. Arti ini terkandung dalam firman Allah, diantaranya surat Al-Hijr/15: 91; Al-Zukhruf/43: 19.
    
(yaitu) orang-orang yang Telah menjadikan Al Quran itu terbagi-bagi. (Al-Hijr/15: 91)
4. Ja'l apabila ia mempunyai dua obyek, maka pada umumnya ia berarti mengadakan sesuatu dengan pemindahan atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Pengertian ini terdapat pada firman Allah diantaranya pada surat Al-Baqarah/2: 22; Al-Naba/78: 10; dan Nuh/71: 16.
              •          
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah/2: 22)
5. Ja'l berarti menetapkan atau memutuskan sesuatu untuk sesuatu yang lain, baik benar maupun salah. Adapun keputusan yang bersifat benar sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Qashash/28: 7.
                        
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.
Menurut penelitian Sirajuddin, kata ja'l yang terdapat dalam Al-Qur'an pada umumnya mengandung arti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Memang dalam salah satu pengertian, kata ja'al mengandung arti khalq, namun pada haklikatnya ia tetap menunjukkan adanya materi lain yang menjadi bahannya atau adanya sebab yang dapat dinalari daripadanya. Kata ini juga pada umumnya mennujukkan betapa besar manfaat ciptaan Allah tersebut. Sebagaimana shun', kata ja'l juga tidak pernah menyertai atau mengiringi kata al-samawat wa al-ardl (alam semesta).
6. Amr
Amr dengan jamak awamir berati perintah, adalah antonim kata dari nahiy dengan jamaknya nawahiy, yang berarti larangan. Sedangkan amr dengan jamak umur diantaranya mengandung arti penciptaan (amr takwiniy). Kata-kata ini terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 11 kali. Lokus pemuatannya dalah surat Ali Imran/3: 47 dan 59 sebanyak 2 kali; Al-Baqarah/2: 117; Al-An'am/6: 73; Al-A'raf/7: 54; Al-Nahl/16: 40; Al-Isra/17: 85; Maryam/19: 35; YAsin/36: 82; Ghafir/40: 68; dan Al-Qamar/54: 40 masing-masing satu kali.
Sebagai contoh; surat Ali Imran/3: 47;
                         
Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin Aku mempunyai anak, padahal Aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah Hanya cukup Berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.
Dalam penelitiannya, Sirajuddin melihat bahwa penciptaan Allah dengan menggunakan amr (amr takwiniy) tergantung dengan undang-undang Allah pada sesuatu tersebut. Dengan redaksi lain, penciptaan yang berkaitan dengan alam dunia atau alam fisis tidak menunjukkan terjadi seketika, akan tetapi ia terwujud sesuai dengan sunnatullah yang telah ditetapkan Allah di alam ini. Sedangkan penciptaan yang berkaitan dengan alam non-fisis, maka ciptaan tersebut tertwujud sesuai pula dengan undang-undang Allah di alam fisis tersebut, yang berbeda undang-undangnya dengan alam fisis.
7. Nasy'
Menurut Al-Raghib, apabila kata nasy' ini bermashdar nasy' dan nasy'at, maka ia berarti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada. Sedangkan apabila ia bermashdar insya', maka ia berarti penciptaan sesuatu bisa dari ada dan bisa juga dari tiada.
Kata nasy' dengan derivasinya dalam Al-Qur'an terulang sebanyak 28 kali yang tersebar dalam 14 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Al-Waqi'at sebanyak 6 kali; Al-Mukminun sebanyak 5 kali; Al-An'am sebanyak 4 kali; Al-Anabut dan Al-Najm masing-masing sebanyak 2 kali; Hud, Al-Ra'd, Al-Anbiya, Al-Qashash, yasin, Al-Zukhruf, Al-Rahman, Al-Mulk, dan Al-Muzammil masing-masing sebanyak satu kali.
Kata yang berarti penciptaan dari sesuatu yang sudah ada dapat dilihat berikut ini.
            •   •      
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Ankabut/29: 20)
Sedangkan kata nasy’ yang berarti penciptaan bisa dari sesuatu yang ada bisa juga dari tiada adalah:
Dari ada; Dia menciptkan manusia dari materi atau jasad dan immateri. Secara materi, ia diciptakan dari bahan yang sudah ada dan ia mengalami proses perkembangannya secara gradual. Sedangkan secara immaterinya (roh) tidak dijelaskan apakah dari bahan yang sudah ada atau dari tiada.
              
Dan dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, Maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya Telah kami jelaskan tanda-tanda kebesaran kami kepada orang-orang yang Mengetahui. (Al-An’am/6: 98)
Dari tiada; Dia menciptakan bidadari-bidadari di surga tanpa melalui proses kelahiran.
     • 
Sesungguhnya kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung. (Al-Waqi’at/56: 35-36)
Menurut Sirajuddin, kata nasy' dipakaikan kepada penciptaan secara keseluruhan (materi dan immateri) baik dari ada maupun tiada. Adapun penciptaan yang berunsur materi mengalami proses gradual, sebaliknya yang berunsur immateri tidak mengalami proses gradual.
8. Bad`
Kata bad` berarti permulaan, pertama, dan yang dahulu melakukan suatu perbuatan. Kata ini dengan derivasinya terulang dalam Al-Qur'an sebanyak 15 kali yang tersebar dalam 11 surat. Lokus pemuatannya adalah surat Yunus sebanyak 3 kali; Al-Ankabut dan Al-Rum masing-masing sebanyak 2 kali; Al-A'raf, Al-Taubat, Yusuf, Al-Anbya, Al-Naml, Al-Sajdat, Saba', dan Al-Buruj masing-masing sebanyak satu kali. Pemakaiannya kebanyakan kepada Allah dan kadang kepada selain Allah. Contoh:
Kepada selain Allah;
                             •        
Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf/12: 76
Kepada Allah;
         •     
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, Kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al-Ankabt/29: 19)
Dalam pengamatannya, Sirajuddin menyimpulkan bahwa kata bad` yang bersubyek Allah ternyata hanya dipergunakan kepada penciptaan manusia dan tidak ada hubungannya dengan penciptaan alam semesta. Dengan demikian, kata ini menyatakan penciptaan Allah dari materi yang sudah ada sebelumnya dengan penekanan penciptaan yang pertama. Sedangkan bentuknya merupakan bentuk baru yang belum ada sebelumnya.

D. AYAT-AYAT PENCIPTAAN ALAM DALAM AL-QUR'AN
Al-Qur'an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam. Mengenai metafisika penciptaan, Al-Qur'an hanya mengatakan bahwa alam semesta beserta segala sesuatu hendak diciptakan olah Allah di dalamnya tercipta sekedar dengan firman-Nya "jadilah" (QS. 2:117; 3: 47,59; 6:73; 16:40; 19:35; 36:82; 40:68). Oleh sebab itu Allah adalah pemilik yang Muthlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal di samping pemeliharanya yang maha Pengasih. Penciptaannya dimulai bukan karena kebetulan, tetapi terjadi karena maksud yang pasti dari Allah. Dia tidak menciptakan sesuatu yang tidak berguna dan hanya untuk "main-main". Penciptaan dilakukan dengan hak. Dengan demikian penciptaan memiliki nilai dan kepentingan yang tinggi.
Mengenai penciptaan alam ini, ada beberapa catatan. Yaitu:
1. Hud/11: 7, diciptakan dalam enam periode.
                    •            
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, ika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Dari ayat ini dapat diperoleh informasi mengenai penciptaan alam semesta berlangsung selama enam tahapan atau periode dan ‘arasy Allah ketika berlangsungnya proses penciptaan alam semesta di atas zat air atau sop kosmon (al-ma’).
2. Al-Anbiya/21: 30, dari kepaduan mengembang (Big Bang)
    •          •      
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
Dalam ayat ini diperoleh informasi terkait pokok-pokok tentang al-sama’ dan al-ardl yang sebelum dipisahkan, adalah sesuatu yang padu (ratq, kemudian mengembang atau dalam istilah sains dikenal dengan teori Big Bang. Dibicarakan pula tentang air (al-ma’) yang daripadanya dijadikan segala sesuatu.
3. Al-Sajdat/32: 4, Allah bersemayam di ‘Arasy.
                          
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Ayat ini menegaskan surat Hud/11: 7 tentang penciptaan alam semesta selama enam periode ditambah dengan informasi bahwa Allah bersemayam di ‘Arasy.
4. Al-Dzariat/51: 47. Alam semesta memuai/berekspansi.
     
Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa
Diinformasikan dalam ayat ini bahwa langit ini kemudian memuai atau berekspansi. Pemuaian ini sesuai dengan kehendak dan undang-undang Allah.

5. Al-Fushilat/41: 9-12, dua tahapan penciptaan al-samawat wa al-ardl dan 4 tahapan penciptaan gaya-gayanya.
                                           •                  •          
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam". Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini menginformasikan yang bersifat rincian tentang enam tahapan atau periode penciptaan alam semesta, yakni dua tahapan atau periode penciptaan al-ardl, termasuk al-sama’, dan empat tahapan penciptaan gaya-gayanya.
6. Al-Thalaq/65: 12, tujuh langit dan bumi.
        •    •      •       
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
Dalam ayat ini diinformasikan tentang jenis al-samawat sama dengan jumlah jenis al-ardl, yakni tujuh. Juga tentang undang-undang Allah yang ditetapkan pada ketujuh al-samawat dan al-ardl.
7. QS. Al-Nahl/16:8, penciptaan terus berlanjut.
Berbicara tentang penciptaan, Allah membuat pernyataan bahwa proses penciptaan masih berlanjut baik untuk makhluk hidup maupun benda mati. Indikasinya dapat dilihat dalam.
          
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

8. QS. Al-An'am: 2, penciptaan manusia dari tanah liat.
Dalam penciptaan makhluk dan juga manusia, beberapa ayat Al-Qur'an menyatakan pentingnya peran tanah liat. Seperti dalam; Am-Mukminun: 12; Al-Sajdah: 5-6; Al-Shaffat: 11-14.
                
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
9. QS. Yasin: 36, diciptakan berpasang-pasangan.
Al-Qur'an menegaskan bahwa semua benda mati dan makhluk hidup di alam semesta ini diciptakan berpasang-pasangan. Seperti dalam QS. Yasin: 36; Al-Ra'd:3; Al-Syu'ara:7; Al-Dzariyat:49.
             
Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
10. QS. Yasin: 38-40, Keseimbangan dan keteraturan alam semesta.
                            •      
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua[1267]. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
Seperti dalam QS. Al-Anbiya:23; Yasin: 38-40 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan ruang angkasa, matahari, bulan, siang dan malam. Ciptaan-ciptaan Allah tersebut berputar menurut garis edarnya yang sudah tertentu.
11. QS. Ibrahim: 33, Bintang dan planet
Dalam membicarakan benda-benda angkasa, Al-Qur'an juga sudah membedakan bintang dari planet. Bintang aalah benda langit yang memancarkan sinar, sedangkan planet hanya memantulkan sinar yang diterima dari bintang. Dengan demikian, ntang mempunyai sumber sinar sedangkan planet tidak. Hal ini terdapat dalam QS. Ibrahim:33; Al-Taubah: 36; Yunus:5.
         • 
Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.
12. QS. Al-Anbiya:104, Akhir alam semesta
Sebagaimana juga telah dikemukakan, alam semesta dimulai oleh suatu ledakan hebat dan dikenal dengan big bang. Mulai dari sini, alam kemudian berkembang meluas sampai kini lalu hancur. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Anbiya:104; Al-Zumar: 67.
         •        •  
(yaitu) pada hari kami gulung langit sebagai menggulung lembaran - lembaran kertas. sebagaimana kami Telah memulai panciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati; Sesungguhnya kamilah yang akan melaksanakannya.

E. CARA MEMAHAMI ALAM SEMESTA (AYAT KAUNIYYAH)
Ketika membicarakan alam semesta, menurut Quraisy Shihab, paling sedikit ada tiga hal yang dapat dikemukakan:
1. Al-Qur'an memerintahkan atau menganjurkn kepada manusia untuk memperhatikan dan mempelajari alam semesta dalam rangka memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan bagi kehidupannya, serta untuk mengantarkannya kepada kesadaran akan ke-Esaan dan kemahakuasaan Allah SWT.
2. Alam dan segala isinya beserta hukum-hukum yang mengaturnya diciptakan, dimiliki, dan di bawah kekuasaan Allah SWT serta diatur dengan sangat teliti.
3. Redaksi ayat-ayat kauniyyah bersifat ringkas, teliti lagi padat, sehingga pemahaman atau penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut dapat menjadi sangat bervariasi, sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing penafsir.
Menurut Sirajuddin, menurut Al-Qur'an cara yang digunakan untuk memahami alam semesta yaitu pengamatan, daya nalar dan wahyu atau ilham. Dalam beberapa tempat, Al-Qur'an menunjukkan bahwa salah satu cara memahami alam raya ini dapat dilakukan dengan penglihatan, pendengaran, perasa, pencium dan peraba. Semua alat ini daat membantu manusia umtuk melakukan pengamatan dan eksperimen. Namun dalam ayat-ayat lain ditegaskan pula bahwa saluran ini belumlah cukup dan dibutuhkan saluran lain, yaki penalaran atau akal. Saluran ini sangat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan yang tidak bisa diselesaikan melalui pengamatan. Tanpa saluran penalaran, manusia tidak akan mampu menafsirkan proses alamiah dan menemukan hubungan-hubungan di antara kejadian di jagat alam raya ini. Karena daya nalarlah yang mampu menguak tabir, mengungkapkan misteri dan menghubung-hubungkan tanda-tanda atau sinyal-sinyal yang dipancarkan alam yang teramati lewat pengamatan.
Al-Qur'an juga menunjukkan bahwa masih ada cara lain di samping cara pengamatan dan daya nalar, yakni melalui wahyu dan ilham. Akan tetapi cara ini tidaklah semua orang dapat menikmatinya melainkan hanya dianugerahkan Allah lepada para Rasul dan Nabi. Sedangkan manusia hanya dapat memperoleh ilham. Namun antara keduanya terdapat perbedaan. Perbedaannya menurut Harun Nasution mengutip Dr. M. Abdullah Diraz, ahíla ilham terjadinya didahului oleh ide dan barulah kemudian ide itu diungkapkan dalam kata-kata. Sementara wahyu yang terjadi pada diri nabi tidak ada ide sebelumnya.
Sedangkan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an tentang alam semesta (ayat-ayat kaunyyah) ini, atau yang berkaitan dengan cirak ilmiah, Quraisy Shihab mengatakan bahwa salah satu sebab pokok kekeliruan dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an adalah keterbatasan pengetahuan seseorang menyangkut subyek bahasan ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufassir mungkin sekali terjerumus ke dalam kesalahan apabila ia menafsirkan ayat-ayat kauniyyah tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang astronomi, demikian pula dengan pokok-pokok bahasan ayat-ayat lain. Sedangkan cara-cara memahaminya harus pula mengikuti cara-cara yang sudah dibakukan para saintis secara rinci.
Dengan demikian, ulama-ulama tafsir mempeingatkan perlunya para mufassir –khususnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penafsiran ilmiah- untuk menyadari sepenuhnya sifat penemuan-penemuan ilmiah, serta memperhatikan secara khusus bahasa dan konteks ayat-ayat Al-Qur’an.
Selanjutnya, Andi Rosadisastra mengemukakan beberapa prisnsip analisis yang harus diterapkan oleh para aktifis tafsir ilmiy dalam melakukan analisis terhadap ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ilmu alam, yaitu:
1. Prinsip ke-Esaan Allah dalam alam; menyadaari bahwa Tuhan tak terbatas dalam segala hal dan IA melingkupi semua realitas alam. Sehingga alam adalah sebuah keteraturan, kesatuan, dan koordinasi yang padu dan sistematis.
2. Keyakinan terhadap realitas dunia eksternal; memahami adanya realitas-realitas lain yang berbeda dan tidak tergantung dari pikiran kita. Citra mental terhadap obyek-obyek tertentu dapat berhubungan dengan realitas-realitas tersebut, sehingga tidak menjadikannya sebagai khayalan yang tidak dapat membimbing menuju realitas sebenarnya.
3. keyakinan terhadap realitas supra fisik dan keterbatasan pengetahuan manusia.
4. memahami filsafat ilmu alam terkait atas pembahasan yang sedang diteliti.
5. Isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat pada ayat Al-Qur’an tidak termasuk untuk ayat yang berbicara secara langsung tentang akidah, dan penetapan ibadah ritual.
6. Ayat-ayat ilmu pnegetahuan yang terdapat dalam Al-Qur’an bertujuan supaya manusia dapat mempercayai adanya Allah dan hendaknya para mufassir menetukan tema tertentu yang dihubungkan dengan fenomena atau tema lain yang masih bersifat kauniyyah. Sehingga diperoleh pembahasan yang komprehensif, sesuai bidang ilmu yang terkait.
7. Isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an bersifat umum dan universal.
8. Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Tuhan yang ilmunya mencakup segala sesuatu.
9. Mufassir tafsir al-ilmi tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya sebagai ajaran aqidah qur’aniyyah dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan kaidah kebahasaan. Juga ia tidak meletakkannya dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi –paling tidak- menjadikannya dalam kerangka psikologi sosial.
10. mengaktifkan rasio dan kemampuan di bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya atau yang akan ditafsirkannya guna mengetahui watak hubungan yang seimbang antara ayat Al-Qur’an dengan premis-premis ilmiah demi mencari faedah atau manfaat dari corak atau orientasi baru dalam dunia tafsir Al-Qur’an.
11. Menyeimbangkan antara bidang spesialisasi ilmu yang dimilikinya dengan kemampuan dirinya dalam mentafsirkan atau menjepaskan makna ayat yang memungkinkannya untuk menyingkap petunjuk yang dimaksud oleh ayat Al-Qur’an.
12. Berpegang teguh pada essensi, substansi dan eksistensi Al-Qur’an.
13. Landasan penafsiran tafsir ayat-ayat sains secara berurut adalah Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan utama, kemudian hadits-haditas Nabi.
14. Memanfaatkan hakikat ilmiah yang fleksibel dengan indikasi adanya universalisme dan kontuniutas tanpa henti.

F. PENUTUP
Demikian sekilas gambaran tentang kandungan isi Al-Qur'an terkait tema tentang alam semesta. Begitu banyak beragam kajian. Ini mengindikasikan betapa pentingnya pembahasan tentang alam semesta ini. Selain persoalan kosmologi yang sangat berpengaruh terhadap keyakinan umat manusia terhadap adanya sang Pencipta, alam semesta bisa menjadi kajian ilmiah yang sangat diperlukan demi menunjang khazanah keilmuan alam dan sains. Di sinilah tuntutan bagi kaum cendikiawan muslim menemukan momentumnya untuk menelusuri keagungan ciptaan-Nya. Sehingga bisa memunculkan teori-teori ilmiah tidak hanya mengklaim atas teori ilmiah yang telah ada. Bahkan islamisasi sains dan sainisasi Islam menjadi hal yang tidak bisa dipinggirkan oleh kaum cendikiawan muslim atau yang kita kenal dalam istilah Al-Qur'an sebagai Ulu Al-Albab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Husna Al-Maqdisiy, Fath Al-Rahman. Indonesia, Maktabah Dahlan. Tt,
Al-Raghib Al-Asfahaniy, Mu'jam Mufradat Alfadl Al-Qur'an, Tahkik Nadhim Mar'asyiliy. Beirut: Darul Fikr, 1972.
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah, 2007.
Ari Budiman Dkk. Membaca Gerakan Alam Semesta; Mengenali Jejak Sang Pencipta. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. 2005.
CD Program “Muhaddits”
Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains, dan Al-Qur'an. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada. 1994.
Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.
Fazlur Rahman, Tema pokok Al-Qur'an. Bandung: Penerbit Pustaka, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar