Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

PEMIKIRAN TAFSIR ANWAR AL-TANZIL WA ASRAR AL-TA’WIL KARYA AL-BAIDLAWIY

Oleh: Deden Syarif Hidayat

A. PENDAHULUAN
Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidlawiy dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat). Populeritas kitab Tafsir Al-Baidlawiy di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir Al-Baidlawiy ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin) sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata (Al-Shina’iyyat al-Lafdhiyyah). Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut
Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali komentar (hasyiyah) dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir Al-Baidlawy itu “hanya” sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.

B. SETTING HISTORIS-BIOGRAFIS AL-BAIDLAWIY
Kitab tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil ini dikarang oleh Qadhiyul Qudhat Anshiruddin Abdullah bin Amuhammad ‘Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Nama lengkapnya Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali Al-Baidlawiy Al-Syafi’iy. Beliau berasal dari sebuah kota di Persia , tepatnya di daerah Syiraz, Iran selatan. Di sanalah mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai bersentuhan dengan ulmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan sastra kepada ilmu-ilmu syara’ dan hukum. Selain itu, menurut Qadli Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat Qadli (hakim agung) di Syiraz.
Al-Baidlawiy hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Mungkin, karena pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, syaikh Muhammad Al-Khata’I yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan Al-Baidlawiy mengundurkan diri dari jabatan hakim agung.
Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim agung, Al-Baidlawiy mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarh Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarh Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushl fiqh), Syarh Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarh Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir).

C. SEPUTAR KITAB TAFSIR ANWAR AL-TAMNZIL WA ASRAR AL-TA’WIL

1. SEJARAH PENULISAN
Kitab tafsir Al-Baidlawiy dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi:
“Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil”.
Al-Baidlawiy menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi Al-Baidlawiy, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tamnzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’I, ulama yang menyarankan Al-Baidlawiy untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan Al-Baidlawiy karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya.
Beberapa penilaian terhadap tafsir Al-Baidlawiy menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (disarikan dalam hal I’rab, ma’ani dan bayan), Mafatih Al-Ghayb karya Fakhruddin Al-Razit (disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy (disarikan dalam hal asal-usul kata).
Terlepas dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, Al-Baidlawiy mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan dalam sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Perta,a, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum Al-Baidlawiy. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh Al-Baidlawiy. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin KA’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zayd bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, Al-Baidlawiy mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali.
Sementara dari para mufassir pendahulunya, Al-Baidlawiy tidak menyebutkan nama mufassir yang telah ada sebelumnya. Alih-alih menyebut nama mufassir dan kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy hanya menyebut nama-nama teolog semisal Abu Hasan Al-Asy’ari (2 kali), Al-Jubba’i (1 kali) dan nama-nama kelompok seperti Al-Barahim (1 kali), Al-Khawarij (5 kali), Mujbirah (1 kali), Mujassimah (1 kali), Mu’attilah (2 kali) dan Mu’tazilah (35 kali).
Menurut Jean Smith, Al-Baidlawiy melakukan hal demikian karena memang sudah merupakan praktik yang umum sat itu, yakni abad ketujuh, dimana sistem skolastik sudah berdiri dengan kokoh, bahwa seseorang bisa mengadopsi materi atau pendapat orang lain dalam karyanya, bahkan untuk mengutipnya secara verbal.
Seakan mengantisipasi kemungkinan keberatan-keberatan yang muncul kemudian, Al-Baidlawiy sendiri menyatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa beliau memang berupaya untuk mensarikan pandangan-pandangan ulama sebelumnya. Namun demikian, beliau juga mengakui bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbath yang beliau lakukan sendiri.

2. BENTUK DAN CORAK PENAFSIRAN AL-BAIDLAWIY
Tafsir karangan Al-Baidlawy ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi (yang terpuji) sekaligus. Artinya bahwa Al-Baidlawiy tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir mafatih al-ghaib dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir Al-Raghib Al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-kasysyaf karya Al-Zamakhsariy, Al-Baidlawiy dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadl, tarakib, dan nakt al-balaghah. Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlussunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir mafatih al-ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Raziy.
Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis Al-Kasysyaf ini. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlussunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, Al-Baidlawiy mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlussunnah, Mu’tazilah, dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlussunnah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Baidlawiy sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini dukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran Al-Baidlawiy memang cenderung kepada madzhab yang yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, Al-Baidlawiy memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan Al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini Al-Baidlawiy terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin al-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ {10}
”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidlawiy menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang yang menguap menjadi ether kemudian menyala....
`Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari ”hanya: dua jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkaty dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini.
Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalajiy, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir Al-Baidlawiy ini.

3. METODOLOGI YANG DIGUNAKAN
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al_Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Al-Baidlawiy memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang cemerlang.
Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan Al-Baidlawiy adalah menjelaskan tempat turunnya surat (makkiy atau madaniy) dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, Al-Baidlawiy menjelaskan makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadit-hadits nabi maupun qira’ah.
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain (atau sering disebut dengan ”hubungan internal”) merupakan bagian penting dalam tafsir Al-Baidlawiy. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an. Penggunaan ”hubungan internal” (miunasabah) ini tampak sangat kentara dalam tafsir Al-Baidlawiy.
Di akhir hampir setiap surat, Al-Baidlawiy menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca srat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsari dalam tafsirnya. Namun sayang, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan, dla’if, atau maudlu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudlu’ menurut kesepakatan ulama hadits. Walaupun begitu adanya, Al-Baidlawiy memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf , hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyyat yang menjadi ”bagian penting’ dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir Al-Baidlawiy diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, Al-Baidlawiy menyebutkannya dengan menggunakan istilah ”ruwiya” (diriwayatkan) atau ”qila” (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa Al-Baidlawiy mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyyat tersebu yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22}
Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”.
Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadl makatsa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, Al-Baidlawiy mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebuih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan Al-Baidlawiy. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya. Dalam hal ini, Al-Baidlawiy menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, emnjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan Al-Baidlawiy untuk menguraikan maknanya. Dari sini sangat nampak bahwa Al-Baidlawiy memang sangat menguasai beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawaih, Al-Khalil, Al-Mubarrad, Tsa’lab dan lain-lain.
Dalam hal qira’at, Al-Baidlawiy tidak hanya menggunakan tujuh qira’at yang sering dianggap sebagai al-qiraat al=masyhurah (mutawatir), yaitu bacaan al-Qur’an yang disandarkan pada tujuh imam; Ibnu Amir, Ibnu Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi, dan Al-Kisa’i, tetapi juga menambahkan bacaan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qira’ah yang lain, seperti Ya’qub Al-Hadlrami, Abu Bakar, dan lain-lain yang masuk dalam kategori syadzdzah.
D. BEBERAPA KOMENTAR TERHADAP TAFSIR AL-BAIDLAWIY
Kitab tafsir Al-Baidlawiy jelas memperoleh perhatian tersendiri dari umat Islam, juga di dunia Barat. Hal ini, antara lain, terbukti dengan begitu banyaknya hasyiyah yang meberikan catatan dan komentar terhadap tafsir tersebut. Sebagaimana dikemukakan di awal, penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Sebuah perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan ke dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut.
Terlepas dari banyaknya hasyiyah tersebut, kitab tafsir tersebut memperoleh tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuiji, sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif. Berikut ini akan dikemukakan tanggapan yang bermunculan di sekitar tafsir karya Al-Baidlawiy tersebut.
Kebanyakan komentar terhadap tafsir ini beranggapan bahwa Al-Baidlawiy merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khusunya Al-Kasysyaf. Haji Khalifah dalam kitabnya kasyf al-dhunun memberikan komentar bahwa ”Kitab tafsirnya ini merupakan kitab yang sangat penting, kaya akan penjelasan. Di tempat lain ia menyatakan, ”Kitab ini merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan baik oleh para pemuka agama dan ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut.
Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini :meliputi rangkuman pendapat banyak imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit.... Berbeda dengan tanggapan Yusuf Rahman yang menulis tentang ”unsur hermeneutika tafsir Al-Baidlawiy menyatakan bahwa sikap Al-Baidlawiy yang tidak menyebutkan sumber dalam penafsiran yang dilakukan itu ”membuat kita menuduhnya sebagai seorang ’plagiat’”.
Sedangkan Quraisy Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy merupakan salah satu tafsir yang ”cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal”.
Namun pada akhirnya langkah baiknya kita kemukakan tanggapan Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa kita tafsir Al-Baidlawiy ini merupakan ”salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah SWT, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya’.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
Arsyif Multaqa Ilmu Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987..
Nashruddin Al-Baidlawiy, Tafsir Al-Baidlawiy. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Quraish Sihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar