Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

KRITIK TAFSIR HASSAN HANAFI

Oleh: Deden Syarif Hidayat

A. TAFSIR AL-QUR’AN DAN TANTANGAN MODERNITAS
Salah satu persoalan terbesar dan terus menerus menjadi agenda pembaharuan dalam Islam dan kehidupan kaum muslimin adalah bagaimana memandang hubungan antara tradisi (al-turats) dan modernitas (al-hadatsah). Sikap apapun baik menolak maupun menerima rekonstruksi keduanya dalam kehidupan kaum muslimin, tentunya sangat mempengaruhi corak pembaharuan yang hendak diadvokasikan. Setidaknya, terdapat dua golongan dalam menghadapi situasi seperti ini; ada yang cenderung menerima gagasan-gagasan Barat secara mentah-mentah dan memberinya pembenaran-pembenaran dari Al-Qur’an. Golongan ini kita kenal sebagai ‘modernis muslim’. Ada pula yang cenderung menolak setiap gagasan dari Barat akibat kekhawatiran yang berlebihan atas ekses-ekses yang mungkin ditimbulkan oleh modernism Islam, inilah yang kemudian kita kenal sebagai ‘neorevivalis Islam’. Pendirian yang sama-sama ekstrim ini disinyalir lebih mencerminkan sebuah pandangan yang a priori dalam memandang tradisi, di satu sisi, dan modernitas, di sisi lain.
Menghadapi arus modernitas ini, secara mendasar para pemikir Islam memandang perlu merumuskan metode penafsiran Al-Qur’an yang lebih tepat dan memadai. Sehingga mampu merumuskan nilai-nilai umum dari Al-Qur’an yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam dalam merespon modernitas. Terkait hal ini, Amin Abdullah memetakan setidaknya ada dua perhatian dan keperihatinan umat Islam dewasa ini tentang bagaimana memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana kita dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal (rahmatan li al-‘alamin) secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan social yang begitu cepat? Hal ini perlu dirumuskan kembali lantaran diperkuat oleh asumsi bahwa setiap perubahan membawa serta perubahan pemahaman orang terhadap alam, manusia, Tuhan, termasuk di dalamnya pemahaman kita terhadap Al-Qur’an. Kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar Al-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negative dari deru roda perubahan social pada era modernitas seperti pada era ini. Apakah konsepsi-konsepsi Al-Qur’an masih cukup applicable dalam mencari solusi dan terapi kegalauan social yang diakibatkan modernitas dan perubahan social yang begitu cepat? Keperihatinan yang kedua ini lebih terkait pada peran Al-Qur’an sebagai ajaran yang bersifat normative dihadapkan dengan realitas social.
Menghadapi perhatian dan keperihatinan di atas, diperlukan sebuah pembacaan ulang terhadap Al-Qur’an, atau meminjam istilah Amin Abdullah , perlunya shifting paradigm (pergeseran paradigma) di dalam cara orang memahami Al-Qur’an, dengan asumsi bahwa tuntutan manusia dan masyarakat pada periode sejarah tertentu pasti berbeda dengan tuntutan mereka pada penggal sejarah yang lain. Perubahan paradigm ini berawal dari pembacaan yang melulu berpusat pada teks atau filologi klasik dan studi sejarah, kepada orientasi baru mengenai keterkaitan antara teks, sejarah, dan realitas social. Melalui kerangka teori the history of idea of Qur’anic interpretation, Abdul Mustaqim membagi pergeseran paradigma epistemology tafsir ini kepada tiga, yaitu era formatif dengan nalar mitis, era afirmatif dengan nalar ideologis, dan era reformatif dengan nalar kritis.
Era kontemporer ini, berlangsung paradigma penafsiran model era reformatif dengan nalar kritis dan bertujuan transformative. Secara umum, menurut Abdul Mustaqim , struktur epistemology tafsir era reformatif dengan nalar kritis ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber Penafsiran Metode dan Pendekatan Validitas Penafsiran Karakteristik dan Tujuan Penafsiran
Al-Qur’an, realitas, akal (ra’yu), yang berdialektika secara sirkular dan fungsional.
Sumber hadits jarang digunakan.
Posisi teks Al-Qur’an dan penafsir sebagai objek dan subjek sekaligus. Bersifat interdisipliner, mulai dari tematik, hermeneutic, linguistic, dengan pendekatan sosiologis, antripologis, historis, sains, semantic, dan disiplin keilmuan masing-masing. 1. Coherence antara hasil penafsiran dengan proposisi-proposisi yang dibangun sebelumnya.
2. Correspondent; sesuai dengan fakta empiris.
3. Pragmatism, solutif, dan sesuai dengan kepentingan transformasi umat. Kritis, transformative, solutif, non-ideologis.
Menangkap “ruh” Al-Qur’an.
Tujuan penafsiran untuk transformasi dan perubahan, tidak hanya mengungkap makna (meaning), tapi juga maghza (significance).
Era tersebut dimulai dengan munculnya era modern di mana tokoh-tokoh Islam seperti Sayyid Ahmad Khan, Abduh dan Rasyid Ridha terpanggil melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran para ulama dulu yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu dilanjutkan oleh para penafsir kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Mohammad Arkoun, Amina Wadud, Nasr Hamid Abu Zaid, Mahmud Muhammad Thaha, Riffat Hassan, Ashgar Ali Engineer, Ali Harb, Hassan Hanafi dan sebagainya. Adapun menurut Ilham B. Saenong yang memperkenalkan metode-metode baru banyak dirintis, antara lain, oleh Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, dan Hassan Hanafi. Ketiga pemikir ini tidak saja dikenal dengan “proyek-proyek peradaban” mereka, tapi juga dalam konteks ini, terutama pada apa yang disebut sebagai pelopor studi-studi “hermeneutika al-Qur’an”.
Berbeda dengan Hassan Hanafi, beliau mencoba mengembangkan apa yang oleh Muhammad Mansur disebut sebagai “metode tafsir realis”. Realis karena yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah realitas sendiri. Bagi Hanafi, penafsiran bukanlah sekedar upaya untuk membaca teks, namun lebih dari itu harus menjadi upaya transformative dan solusi bagi problem social yang terjadi dalam kehidupan. Inilah yang kemudian diistilahkan oleh Ilham B. Saenong sebagai “Hermeneutika Pembebasan” untuk merepresentasikan gagasan model tafsir social Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi. Untuk lebih lanjut, kita akan coba mengkaji kritik tafsir Hassan Hanafi dan bagaimana bangunan pemikiran tafsir yang beliau tawarkan.

B. BIOGRAFI INTELEKTUAL HASSAN HANAFI
a. Setting Historis Kehidupan Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir dari leluhur Berber dan Badui Mesir 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir, tepatnya di perkampungan al-Azhar dekat benteng Salahuddin. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim di seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas al-Azhar. Selanjutnya perjalanan hidupnya menempuh serangkaian perkembangan kesadaran. Perkembangan dan perubahan yang dialaminya dari satu kesadaran ke kesadaran lain sangat terkait pula dengan perubahan situasi lingkungan yang lebih luas di Mesir.
Kesadaran pertama muncul semenjak beliau masih remaja di saat duduk di sekolah menengah Khalil Aga, yaitu “kesadaran Nasional” pentingnya suatu “ideology tanah”, sebuah teologi yang ia imajinasikan sebagai Nasionalisme, kekuatan pembebasan dari kolonialisme. Kesadaran seperti ini mendorong Hanafi menjadi relawan perang Palestina tahun 1948. Sayang, keinginan beliau tidak pernah terealisasi mengingat dunia Islam-pun sudah menganut system Negara-bangsa (nation-state) dimana tidak dikenal lagi adanya kesatuan imperium Islam. Akibatnya, ia kesulitan mendapat izin meninggalkan negaranya. Pada akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa Nasionalisme Arab tidak lebih daripada sebuah ideology yang sangat rapuh.
Gagal ke Palestina, menjelang akhir 1950-an, secara alamiah Hanafi bergeser kepada Islam. Ia menyalurkan semangat revolusionernya dalam gerakan-gerakan politik keagamaan di negaranya sendiri. Melanjutkan ke Universitas kairo (sampai dengan tahun 1956), pada tahun 1952 ia tercatat sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, hingga perkumpulan tersebut dinyatakan dilarang oleh pemerintah Mesir. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islam Harakah Ibdaiyyah fie al-fann wa al-hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Dari sinilah kesadaran keagamaan Hassan Hanafi menemukan momentumnya. Ia membaca Hassan Al-Bana, Sayyid Quthb, Abul Hasan An-Nadwi, Muhammad Al-Ghazali dan pemikir-pemikir Islam kontemporer lainnya. Sejak itulah ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari kesadaran Islam dan Ummatnya, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, Negara, masa depan, dan misi kehidupannya.
Namun, dari hasil pembacaannya itu, ia mendapatkan banyak keganjilan dan pengetahuan yang dirasa asing dan seolah-oleh bukan merupakan tradisi Islam. Ia mempertanyakan isi dan metodologi pemikiran Islam harakah tersebut, yang dalam pandangannya telah kehilangan relevansinya dan kosong dari diskursus tentang prroblematika dan tantangan yang dihadapi umat dan dunia Islam. Saat itu, ia mencabut diri dari filsafat Islam sebagaimana ia melepaskan diri dari ilmu kalam yang semata-mata teoritis dan tidak menyentuh realitas kehidupan umat Islam. Di sini ia berada pada posisi minoritas. Dan pada tahun yang sama, ketika berada di tingkat tiga, ia mendengar Iqbal berbicara tentang hidup, penciptaan, inovasi, potensi, jihad, esensialisme, al-gha’iyyah, dan umat. Di situ ia menyadari bahwa pemikiran Islam mengakumulasikan masa lampau dan masa kini, dan mengonsepsi realitas umat muslim. Baginya, inilah jenis filsafat yang diinginkan. Dari sini ia mulai aktif untuk memantapkan sebuah al-minhaj al-islam al-‘amm yang didasarkan pada rasionalitas baik dan buruk, kesatuan kebenaran, kebaikan, dan keindahan (estetika).
Krisis kehidupan intelektual di berbagai universitas Mesir, penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin, dan krisis penelitian intelektual Islam dikombinasikan dengan krisis diri Hassan Hanafi yang pada akhirnya memberi dukungan utnuk berkonsentrasi pada proyek pembaharuan Islam. Pada tahap inilah Hassan Hanafi mulai bergeser kepada tingkat kesadaran baru, yaitu kesadaran filosofis. Bacaannya terhadap Al-Qur’an membuatnya semakin meyakini pentingnya alam kesadaran filosofis, dan sekaligus tentang keharusan untuk melanjutkan perjuangan.
Ketika usianya menginjak dua puluh satu tahun, pada tahun 1956, ia memperoleh gelar Sarjana Muda Bidang Filsafat dari University Of Cairo. Sepuluh Tahun kemudian (1966), Hanafi telah mengantongi gelar Doktor dari La Sorbonne, sebuah universitas paling terkemuka di Perancis. Di sana, ia mengambil spesialisasi Filsafat Barat Modern dan pra-Modern. Dan di sinilah konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi dimantapkan.
Di tempat ini, Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealism ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu, ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoritis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zuruck zu den sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri), Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai essensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi; manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan,kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being ang Time (ada dan waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontology).
Di Sorbonne, Hanafi sangat tertarik mendalami idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Di samping itu, fenomenologi dari Edmund Husserl yang sangat menghargai individu dalam teori pengetahuan dan kenyataan, juga menarik minatnya. Kekaguman terhadap filsafat Jerman ini sebenarnya sudah beliau mulai sejak studi di Universitas Kairo, terutama fichte, filsafat perlawanan, dan ego yang menempatkan subyek ego berlawanan dengan non-ego, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl.
Persentuhannya dengan pelbagai pemikiran dan pendirian metodologis tersebut, mendorong Hanafi untuk mempersiapkan sebuah proyek pembaharuan menyeluruh terhadap pemikiran Islam. Ia ingin menciptakan metodologi dan teologi Islam baru dengan pendekatan-pendekatan baru pula. Proyek tersebut kemudian ia tuangkan dalam proposal doktoralnya dengan judul al-manhaj al-islami al-‘amm (the general Islamic method). Judul ini menggambarkan keinginan beliau untuk untuk merumuskan Islam sebagai metode yang umum dan komprehensif dalam kehidupan personal dan social. Namun, karena pembahasannya yang begitu luas, jelas, komite disertasi menolaknya. Kecuali diapresiasi oleh dua sarjana orientalisme caliber dunia; Henry Corbin dan Louis Massignon. Keduanya menyarankan Hanafi meneruskan rencana penelitiaannya dengan beberapa modifikasi yang difokuskan pada suatu bidang yang lebih spesifik. Akhirnya Hanafi memutuskan untuk memulai pembaharuan pemikiran Islam dengan meneliti metodologi pemikiran Islam menurut para ushuliyyun (para ahli legislasi dan yurisprudensi muslim) dalam disertasinya yang berjudul Les Metodes d’Exegese, essau sur La Science des Fondaments de La Comprehension, ilm Ushul al-Fiqh (1965).
b. Karya-karya intelektual Hassan Hanafi.
Hassan Hanafi membuat tulisan dengan kondisi yang sedang berlangsung pada saat itu. Pada fase awal pemikiran ini, tulisan-tulisan Hassan Hanafi bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Hal itu mengisyaratkan, bahwa fungsi pembebasan jika kita inginkan, dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan. Periode selanjutnya pada tahun 80-an Hassan Hanafi mulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas”. Dalam hal ini, buku al-Turas Wa al-Tajdid yang terbit pada tahun 1980 menampilkan makna Turas wa Tajdid. Kemudian ia menulis al-Yasar al-Islami (Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka, buku Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid) yang ditulis hampir sekitar 10 tahun dan baru terbit pada tahun 1988, memuat uraian rinci tentang pembaharuan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu kalam (teologi Islam klasik).
Karya selanjutnya adalah Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (1991) yang merupakan karya monumental lainnya yang sempat dirampungkan Hassan Hanafi, yang di dalamnya ia memperkenalkan Ilm al-Istigrab atau oksidentalisme. Secara ideologis, Oksidentalisme versi Hassan Hanafi diciptakan untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain, harus dibatasi. Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya. Melalui ilm al-istighrab (Oksidentalisme), Hassan Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif historis-kultural Barat sendiri.
Sebagai dosen filsafat Kristen, Hanafi harus mengajar selama dua tahun pertama (1966-1967) tanpa referensi yang jelas. Demi mengatasi kesulitan pengajaran subjek ini, Hanafi memutuskan untuk menulis sebuah buku daras yang berjudul Namadzij min al-Falsafah al-Masihiyyah fi al-Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-Imam al-Bahis ‘an al-Aql la Taslim, al-Wujud al-Mahiyah li Tuma al-Akwini (Berbagai contoh filsafat Kristen abad pertengahan: ajaran Agustine, kepercayan butuh penalaran, bukan penerimaan; bentuk dan esensi menurut Thomas Aquinas).
Hanafi baru kembali menuliskan pengantar teoretis untuk proyek peradabannya pada tahun 1980. Oleh Hanafi, al-turas wa al-tajdid dimaksudkan sebagai sebuah rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai tantangan intelektual Barat, tapi juga dalam rangka rekonstruksi pemikiran keagamaan Islam pada umumnya. Hanafi merumuskan eksperimentasi al-turas wa al-tajdid berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawfiquna min al-turas al-qadim). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawfiquna min al-turas al-gharb). Agenda terakhir, ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika al-Qur’an yang baru yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai pondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” atau “teori interpretasi”.
Dalam agenda pertama, Hanafi telah menulis lima volume tebal dari buku Min al-‘Aqidah ila al-Saurah: Muhawalah li i’adah Ilm Ushul al-Din (Dari Akidah Ke Revolusi: Upaya Rekonstruksi Teologi Islam) yang merupakan reformasi teologis berdasarkan kesadaran akan hilangnya wacana manusia dan sejarah dalam teologi Islam klasik. Untuk agenda kedua, Hanafi menulis Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat). Buku ini dimaksudkan sebagai peletak dasar bagi kajian ilmiah atas Barat dalam rangka mempelajari perkembangan dan strukturnya dan menghilangkan dominasi Barat atas kaum muslim. Adapun untuk agenda ketiga, Hanafi menunda beberapa waktu sampai tujuh bagian dari agenda pertama dan tiga bagian dari agenda kedua terwujud. Walau pada akhirnya kita dapat melihatnya pada tema-tema yang bertebaran diberbagai karya tulisnya, terutama yang berkaitan dengan karya akademisnya.
Sebagaimana diakuinya, proyek turats wa tajdid-nya Hassan Hanafi lengkapnya sebagai berikut:
Tradisi dan Pembaharuan
Sikap kita terhadap
Tradisi Lama Sikap kita terhadap
Tradisi Barat Sikap kita terhadap Realita
1. Dari teologi ke Revolusi
2. Dari Transferensi ke Inovasi
3. Dari Teks ke Realita
4. Dari Kefanaan Menuju Keabadian
5. Dari Teks ke Rasio
6. Akal dan Alam
7. Manusia dan Sejarah 1. Sumber Peradaban Barat
2. Permulaan Kesadaran Eropa
3. Akhir Kesadaran Eropa 1. Metodologi
2. Perjanjian Baru
3. Perjanjian Lama
Ketiga tradisi di atas mengisyaratkan terjadinya proses dialektika antara ego dengan the other dalam realitas sejarah tertentu. Isyarat tersebut digambarkan sebagai berikut:


Tradisi Barat (masa depan) Tradisi Lama (masa lalu)



Realitas (masa kini)

Buku kiri Islam meskipun berbentuk jurnal, namun aroma ideologisnya sangat kuat. Sehingga dikatakan sendiri oleh beliau sebagai kredo. Konsep Kiri Islam ini mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, yakni imperialisme, zionisme, daqn kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal; serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal.
Di samping sebagai wacana tandingan untuk melawan Orientalisme yang telah lama memperlakukan Timur-Islam sebagai obyek kajian ilmiahnya, yang pada kenyataannya, tak lebih dari “strategi penjajahan berkedok tradisi ilmiah”. Namun, secara umum, karya-karya Hanafi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Pertama, karya kesarjanaan di Sorbonne; kedua, buku, kompilasi tulisan dan artikel; ketiga, karya terjemahan, saduran dan suntingan. Klasifikasi pertama berupa karya kesarjanaannya adalah tiga buah (trilogi) disertasi: Les Metodes d’Exegese, essai sur La science des Fondaments de la Comprehension, ‘ilm ushul al fiqh (1965); L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode phenomenologique et son application au ph’enomene religiux (1965); dan La Phenomenologie d L’exegese: essai d’une hermeneutique axistentielle a parti du Nouvea Testanment (1966).
Klasifikasi kedua dihuni lebih dari sepuluh buku: dimulai oleh Religious Dialog and Revolution (1977); Al-Turast wa al-Tajdid (1980) yang berisikan dasar-dasar proyek pembaruan Hanafi; dan Dirasat Islamiyah (1981) yang mengulas beberapa disiplin keilmuan tradisional Islam seperti Ushul Fiqh dan Teologi Islam, serta kritik atas hilangnya wacana manusia dan sejarah di dalamnya; al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyyah (1981) yang memuat manifesto “Kiri Islam” yang sangat fenomenal; Qadaya Mu’ashirah: Fi Fikrina al-Mu’ashir, dua volume (1983); Dirasat Falsafiyyah (1988); Min al-‘Aqidah ila al-Saurah, empat volume tebal yang merupakan karya monumental dan paling sistematis dari Hanafi (1988), yang berisi rekonstruksi teologi Islam tradisional dalam rangka transformasi sosial; al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1956-1981, delapan jilid, memuat tulisan lepas Hanafi di berbagai media (terbit 1989); Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (1990); Islam in the Modern World, dua volume tebal berbahasa Inggris (1995); Humum al-Fikr al-Wathan, dua jilid (1997); Jalaluddin al-Afghani (1997); dan Hiwar al-Ajyal (1998).
Terakhir, karya-karya awal Hanafi banyak terkait dengan klasifikasi ketiga, yakni saduran dan suntingan, mengingat kebutuhan kuliah dan memperkenalkan materi dan contoh-contoh filsafat Muslim maupun Barat secara cepat dan memuaskan. Diantaranya: Muhammad Abu Husain al-Bashri: al-Mu’tamad fi ‘ilm Ushul al-Fiqh (1964-1965), dua jilid, berisikan diskusi tentang filsafat hukum Islam; al-Hukumah al-Islamiyyah li al-Imam al-Khomeini (1979); Jihad al-Nafs aw Jihad al-Akbar li al-Imam al-Khomeini (1980) yang berisi kekaguman Hanafi pada keberhasilan revolusi Iran.
Dari wilayah filsafat Barat, Hanafi menulis sejumlah buku, antara lain: Namadzij min al-Falsafah al-Masihiyyah fi al-‘Ashr al-Wasith: al-Mu’allim li Aghustin, al-Iman al-bahis ‘an al-‘Aql la taslim, al-wujud wa al-Mahiyah li Thuma al-Akwini (1968); Spinoza Risalah fi al-Lahut wa al-Siyasah (1973); Lessing: Tarbiyyah fi al-Jins al-Basyari wa A’mal al-Ukhra (1977); Jean Paul Sartre: Ta’ali Ana Mawjud (1978).
Secara keseluruhan, latar belakang pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi adalah kegagalan eksperimentasi berbagai ideology pembangunan di Mesir. Diantaranya yang ada pada waktu itu adalah Loberalsme Barat, Sosialisme Negara, Marxisme Klasik, hingga ritualisme kesukuan.

C. HERMENEUTIKA AL-QUR’AN HASSAN HANAFI
a. Model Hermeneutika Hassan Hanafi
Sebagaimana telah disinggung dalam pengantar tulisan ini, perhatian pemikir Muslim modern terhadap problem penafsiran Al-Qur’an demikian meningkat, seiring interaksi kesadaran mereka dengan modernitas. Kesadaran tersebut berkaitan dengan kepentingan menciptakan model-model penafsiran yang memadai terhadap Al-Qur’an dengan bantuan kesadaran dan beragam metodologi ilmiah yang tersedia. Dengan instrument metodologis tersebut, penafsiran Al-Qur’an diharapkan mampu merasionalisasikan doktrin yang ditemukan dalam, atau dirujukkan kepada Al-Qur’an, dan pada saat yang sama, mendemitologisasi berbagai pemahaman mistis dan metafisik di sekitar penafsiran Al-Qur’an. Pada kesempatan ini, metode hermeneutika menjadi trend tersendiri para pemikir Islam.
Dalam melaksanakan upaya penafsiran yang lebih “ilmiah” tersebut, para pemikir muslim modern dapat dibedakan ke dalam dua kategori metodologis berikut. Pertama, mereka yang berangkat dengan titik tekan lebih besar pada upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Seperti yang dilakukan diantaranya oleh Fazlurrahman, Arkoun, dan Nashr Abu Zayd. Sementara itu, kategori kedua berusaha berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an. Seperti halnya yang dilakukan oleh Farid Esack, Amina wadud, dan Ashgar Ali Engineer.
Meminjam kerangka Josef Bletcher , dua tipologi di atas kita anggap masing-masing merepresentasikan pandangan hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat filosofis dan yang bercorak teoritis (metodis). Hermeneutika filosofis beranjak dari dua pijakan. Pertama, heremeneutika pertama-tama berurusan dengan refleksi atas fenomena penafsiran sebelum berurusan dengan metoda dan peristiwa penafsiran apapun. Kedua, dalam kegiatan penafsiran, seorang penafsir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks yang disebut sebagai prapaham. Prapaham tersebut muncul karena seorang penafsir senantiasa dikondisikan oleh situasi dimana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi kesadarannya. Menurut perspektif ini, penafsiran objektif dalam pengertian memperoleh kembali atau mereproduksi makna sejati teks sebagaimana maksud pemikirannya terdahulu sama sekali tidak mungkin tercapai.
Sementara itu, pada tipologi yang lain, hermeneutika yang bersifat metodis lebih banyak mengelaborasi dan memprioritaskan diri pada masalah-masalah teoritik di seputar penafsiran Al-Qur’an, yakni pada “bagaimana” menafsirkan teks AL-Qur’an secara benar dan sedapat mungkin memperoleh makna tafsiran yang benar pula. Disamping dua tipologi itu sebenarnya masih menurut Josef Bletcher ada yang dinamakan dengan hermeneutika sebagai kritik, atau dikenal dengan Kritisisme hermeneutic.
Dihadapkan pada dua kecenderungan teorotis tersebut, hermeneutika Al-Qur’an Hassan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi menerima baik asumsi teoritik hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis, maupun yang bersifat metodis. Bahkan dalam kadar yang relative minim, bercorak pula kecenderungan metodologis dari hermeneutika kritis. Terhadap hermeneutika metodis, Hanafi menolak pemahaman Al-Qur’an yang didasarkan pada hawa nafsu (tidak objektif), sehingga tidak ada pemahaman otentik di sini. Ia menolak tidak diterapkannya prinsip-prinsip linguistic maupun analogi dalam penafsiran.
Di lain pihak, hermeneutika Hanafi sarat dengan tema-tema pembebasan yang merupakan trend hermeneutika filosofis. Baginya, tidak ada hermeneutika per se, absolute dan universal. Hermeneutika adalah hermeneutic untuk digunakan. Ini adalah sebuah bagian perjuangan sosio-politik. Dalam Negara Dunia Ketiga, Agama dan Revolusi adalah dua legalitas; yang satu adalah bagian masa lampau dan ini termasuk eksigensi, dan yang kedua adalah bagian pada saat ini dan ini termasuk dalam kategori urgensi. Hermeneutic adalah sebuah alat yang memainkan sebuah bagian perdamaian dari agama menuju revolusi, dan menyatukan dua legalitas menjadi satu. Dengan demikian, ia menginginkan hermeneutikanya mengeksplisitkan dan mengakui kepentingan penafsir (prapaham) di hadapan teks sebelum peristiwa penafsiran dilakukan. Kecenderungan praksis inilah yang lebih banyak menonjol dalam pemikiran hermeneutiknya. Yang kemudian Saenong menyebutnya sebagai hermeneutika pembebasan.
Dalam kaitannya dengan kritisisme hermeneutic, dengan menerapkan analisis Marxian yang senantiasa mencurigai tendensi kekuasaan dan dominasi di balik teks dan penafsiran, tidak pelak lagi, pemikiran Hanafi telah berada pada separuh jalan ke arah penafsiran kritis sebagaimana yang lazim dalam hermeneutika yang bercorak kritis. Bagi Hassan Hanafi, peran interpreter adalah mengubah status quo, yaitu dominasi pihak pertama (kaya, penindas, minoritas, kaum elit, pengatur) pada pihak kedua (miskin, yang ditindas, mayoritas, kaum masyarakat proletar,yang diatur), dan menghasilkan perebutan kekuasaan antara dua belah pihak dalam membantu pihak kedua melawan pihak pertama, untuk kemenangan perubahan social sebagai sebuah revolusi perdamaian dan bertahap. Dalam tafsir tradisional, teks tidak mengarahkan kritik dan perubahan terhadap realitas untuk mempertahankan system yang ada.

b. Landasan Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi
Sebagai sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat dan filsafat hukum Islam, Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi hermeneutikanya. Ia membangun landasan pemikiran hermeneutisnya di atas empat pilar. Dari khazanah klasik, ia memilih ushul fiqh. Sementara fenomenologi, Marxisme, di samping hermeneutika itu sendiri, dari tradisi intelektual Barat. Beliau “membabad habis” metode penafsiran yang masih terbatas pada penggunaan pendekatan filosofis, hukum, periwayatan atau laporan sejarah, teologi, filsafat, kajian mistik, justifikasi penemuan sains, kajian sosio-politik, hingga pendekatan estetis pada Al-Qur’an.
1. Ushul Fiqh
Digunakannya ushul fiqh dalam hermeneutika Al-Qur’annya sebab secara praktis, ia melihat adanya keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses pembentukkan hukum, di sisi yang lain. Untuk menghadapi tuntutan realitas social, ushul fiqh kompatibel dengan kepentingan hermeneutika Hanafi yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan kontemporer mereka. Baginya, pemahaman juga sangat berkaitan dengan kaidah-kaidah penafsiran dalam logika verbal (hakiki, majazi, dhahir, khafiy, muthlaq, muqayyad dll) sebagaimana diungkapkan ulama ushul fiqh. Hal itu juga berhubungan dengan logika konteks seperti makna kata dan kesalahan ungkapan, hubungan teks dengan realitas dalam “sebab-sebab turunnya wahyu” dan nasikh mansukh .
Oleh Hanafi, asbabun nuzul dimaksudkan untuk menunjukan prioritas kenyataan social dan mengutamakan realitas, bahwa wahyu merupakan respon atas pertanyaan-pertanyaan dalam realitas, pemecahan terhadap problem-problem social. Sementara nasikh-mansukh mengasumsikan gradualisme dalam penerapan aturan hokum, eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah. Dengan kata lain, nasikh mansukh menunjukan adanya graduasi hokum pada era tertentu, tidak di semua waktu. Pemberlakuannya tidak saja pada saat terjadinya nasakh, tetapi juga dalam sejarah selama zaman masih ada.
Adapun konsep makiyyah dan madaniyyah untuk mengembangkan konsep dan system, akidah-syari’at, dan praksis. Semua ilmu itu dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu eksperimentasi, seperti statistic, sosiologi, historiografi, ideology, system politik, dan ekonomi.
Adapun konsep maslahah berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan tuntutan kemashlahatan manusia. Sebagaimana diakuinya sendiri, Hanafi mengikuti paradigma fiqh dan ushl fiqh Maliki, karena ia menggunakan pendekatan kemashlahatan umat (mashalih al-mursalah) serta membela kepentingan umat Islam. Disamping itu, paradigma tersebut lebih dekat dengan realitas dan memberikan keberanian dan kebebasan pada mujtahid dalam membuat keputusan hokum berdasarkan kepentingan umum (maslahah al-‘amm). Dengan kata lain, beliau ingin menggeser paradigma teosentris ke antroposentris.
Hanafi memandang bahwa dengan berafiliasi pada ilmu fiqh niscaya akan kita temukan bahwa totalitas materi ilmu fiqh adalah kehidupan praksis, yakni kehidupan manusia dengan dirinya, keluarga, komunitas social, dan Penciptanya. Untuk itu, fiqh mendeskripsi manusia di dalam dunia. Demikian itu banyak dijelaskan di dalam ilmu ushul fiqh yang berorientasi pada inferensi (putusan rasional ) nilai-nilai yurisprudensi berdasarkan dalil-dalilnya. Dari sela-sela ilmu ushul fiqh inilah Hassan Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini, dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: 1) Kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode Transmisi/transferensi. 2) Kesadaran eidetic untuk menginterpretasikan teks-teks, memahaminya melalui analisis bahasa, dan mencapai maknanya sehingga bias diarahkan pada kehidupan praksis. Dan 3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah wahyu ditransformasikan ke dalam system ideal dunia dari celah-celah usaha dan tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir tindakan, bukan permulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses ‘menjadi’ daripada ‘relitas statis’ (al-kainunah).
2. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer
Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Qur’an juga banyak dipengaruhi oleh hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer. Dalam konteks penafsiran, pemahaman tidak pernah bersifat dan ilmiah. Sebab, pemahaman bukanlah “mengetahui” secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, pada satu tempat khusus dalam kerangka ruang dan waktu. Atau yang kita kenal sebagai “prapaham”. Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan “dinamika perpaduan berbagai macam factor”. Demikian pula, Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi. Gadamer berkeyakinan bahwa penerapan merupakan bagian dari hermeneutic.
3. Fenomenologi Husserl
Lebih lanjut, Hassan Hanafi melengkapi pemikirannya dengan kontribusi fenomenologi, terutama dalam kaitannya dengan kritik eidetic atau usaha transendensi “metafisika” teks, dan sebaliknya, mengupayakan tafsir atas dasar pengalaman eksperimentasi penafsir. Fenomenologi digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena sosial dan pengalaman-pengalaman hidup sebagai basis atau referensi bagi aktifitas penafsiran; serta teori hermeneutika itu sendiri sebagai metode pemahaman atas tek-teks Kitab Suci. Fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938) untuk menunjukan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termenifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori fikiran kita padanya (kembalilah pada realitas itu sendiri). Fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Salah satunya medium untuk memperoleh pengetahuan yang absah hanyalah melalui keputusan intuisi (kesadaran) langsung (tanpa perantara apapun). Kesadaran itu senantiasa merupakan kesadaran yang terarah pada sesuatu “kesadaran akan”. Dalam bahasa fenomenologi, dikenal istilah “intensionalisme” untuk menunjukkan bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu; dan “konstitusi” sebagai proses tampaknya berbagai fenomena bagi kesadaran.
4. Filsafat dialektika dan materialisme historis Marx
Pemikiran lain yang berpengaruh dalam penyusunan kerangka hermeneutika Al-Qur’an yang bersifat social tersebut adalah Marxisme, tepatnya Marxisme klasik dengan filsafat dialektika dan materialisme historisnya, selain inspirasi revolusioner Al-Afghani dan Sayyid Quthb. Marx menitikberatkan aspek ekonomis dari pengertian kelas dan menjadikannya dasar terotisnya tentang perjuangan kelas dan menjadikannya sebagai faktor terpenting dalam perkembangan sejarah. Menurut Hanafi, struktur social adalah rangkap; kaya dan miskin, penindas yang ditindas, yang berkuasa dan pemberontak, minoritas dan mayoritas, kaum elit dan masyarakat. Tugas interpreter adalah mengubah status quo, yaitu dominasi pihak pertama pada pihak kedua, dan menghasilkan perebutan kekuasaan anatar kedua belah pihak, dan menghasilkan perebutan kekuasaan antara kedua belah pihak, untuk kemenangan perubahan social sebagai sebuah revolusi perdamaian dan bertahap. Sehingga kemudian mengasilkan apa yang disebut sebagai hermeneutika progresif; yang dimulai dengan realitasnya sendiri dan akomodasi teks menurut realitas. Teks hanyalah sebagai sebuah alat. Hermeneutika progresif adalah material, penuh, social, terbuka, antroposentrik dan berarti. Konflik keduanya merupakan suatu perjuangan antara dua kekuatan social.

D. LANDASAN METODOLOGI TAFSIR HASSAN HANAFI
a. Domain-Domain Analisis
Sebagaimana telah dibahas di permulaan, bahwa Hassan Hanafi berpegang kepada hermeneutika metodik sekaligus filosofis. Disamping itu, juga harus memperbincangkan dua dimensi lain dari wilayah penafsiran, yakni sejarah teks dan kepentingan praksis dalam kehidupan. Sehingga tujuan akhir dari sebuah teks wahyu adalah bagi transformasi kehidupan manusia itu sendiri. Bagi Hanafi, hermeneutika yang dibangun harus didasarkan kepada trilogy kesadaran sebagai preposisi terhadap teks-teks wahyu yang berkenaan dengan kitab-kitab suci. Yakni, berkenaan dengan kritik historis, kritik eidetic, dan berkenaan dengan cara aksi (kritik paraksis). Ketiga jenis preposisi ini tidaklah berjalan secara terpilah. Kritik historis mengantarkan kepada pemahaman eidetic pasti. Pemahaman atas makna juga mengantarkan kepada cara aksi karena aksi membutuhkan fundamen teoritis.
1) Kritik Historis
Melalui kritik historis, Hanafi pertama-tama bermaksud menemukan otentisitas teks. Dalam konteks yang lebih luas (makro agama-agama), kumpulan teks yang berkenaan dengan kritik historis selalu menyatakan sikap yang sama dengan berbagai cara; teks-teks wahyu tidak sama, tetapi telah dirubah dan digantikan dengan teks-teks non-wahyu. Jadi keseluruhan kitab-kitab suci diragukan kebenaran otentisitasnya. Namun begitu, otentisitas teks hanya dapat dibuktikan malalui kritik sejarah. Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata berbau teologis, filosofis, mistik, spiritual, atau bahkan fenomenologis. Sehingga timbullah apa yang dinamakan kesadaran histories. Bagi Hanafi , perhatian kesadaran histories adalah pada transferensi wahyu, baik oral maupun tulisan, mulai dari Rasul sampai perawi, dan dari perawi sampai pada perawi berikutnya, hingga generasi kita sekarang. Transferensi akan dianggap valid jika ketiga tahapan itu seimbang, dengan tanpa penambahan maupun pengurangan dan tanpa ada intervensi pentransfer melalui orientasi, ambisi, interpretadi tekstual, maupun interpretasi kontekstual-alegoris. Untuk itu, netralitas kesadaran/perasaan perawi merupakan syarat dari transferensi.
Selain itu, keaslian wahyu dalam sejarah, lebih lanjut menurut Hanafi, ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didiktekan langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula didiktekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan, dan lestari sampai saat ini dalam tulisan.
2) Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah dilakukan untuk menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia sebut sebagai kritik eidetic. Bagi Hanafi , kritik eidetic ini dimaksudkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai kesadaran eidetic, yaitu membangun interpretasi teks-teks wahyu untuk memahami dan mencapai maknanya sehingga bisa diarahkan pada kehidupan praksis.
Melalui bahasa, muncul beragam dimensi pendalaman bagi pemahaman di dalam eksplisit dan implicit; muncul dimensi kemungkinan-kemungkinan salah dan pemilihan-pemilihan yang kuat di dalam al-muhkam dan al-mutasyabihat; muncul dimensi indivuidu dalam ámm ¬dan khásh, dan muncul dimensi aksi dalam perintah dan larangan. Demikianlah bahasa ditransformasikan pada dimensi-dimensi manusia… bahasa melakukan eksplorasi tentang dunia internal manusia.
Kritik eidetic, menurut Hanafi, berada pada tiga level atau tahap analisis. Pertama, pada analisa bahasa; kedua, analisis konteks sejarah; dan ketiga, generalisasi. Analisis linguistic terhadap kitab suci memang bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik, demikian diakui Hanafi. Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada pemahaman terhadap kitab suci. Dalam analisis bahasa, Hanafi menunjukkan pentingnya penggunaan fonologi, morfologi, leksiologi, dan sintaksis. Di samping itu, penafsiran harus juga memusatkan diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Menurut Hanafi, terdapat dua jenis situasi, yakni “situasi saat” atau “contoh situasi” dan “situasi sejarah”. Situasi saat adalah kasus dimana teks diturunkan yang menjadi substratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah “situasi saat”nya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi inspirasi berupa wahyu tertentu dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wahyu pada masa berikutnya. Setelah makna linguistic dan latar belakang sejarah ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi di sini berarti mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap terakhir ini, Hassan Hanafi menginginkan diperolehnya makna baru dari kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyikapi beragam kasus-kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.
3) Kritik Praksis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatika Hassan Hanafi. Dari awalpun kita pahami bahwa hermeneutika Hanafi ini merupakan cara baru baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praksis, demi terwujudnya transformasi sosial. Dalam kaitan dengan kredo Kiri Islam-nya, Hanafi bermaksud melampaui tafsir historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah Al-Qur’an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu.
”Kita membangun tafsir perspektif (al-syu’uriy) agar Al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik. Tafsir semacam ini telah dimulai oleh Sayyid Quthb dalam Fie zhilal al-Qur’an. Kita melampaui tafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang. Kita bangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia, dan sistem sosial. Kita tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan akidah ke dalam ideologi revolusi.”

Inilah yang diharapkan Hanafi; suatu kesadaran praksis. Perhatian kesadaran praksis adalah merealisasikan orientasi-orientasi wahyu, pelaksanaan tuntutan-tuntutan pemikiran, dan melakukan tindakan praksis bagi persoalan-persoalan kontekstual. Kesadaran praksis diklasifikasikan menjadi al-maqásid (kepentingan-kepentingan) dan al-ahkám (hokum-hukum). Al-maqasid diartikan sebagai wahyu yang dianggap berpengaruh dan mengarahkan realitas. Al-maqasid terdiri dari dua macam: maqasid al-syar’I (kepentingan pembuat syara’) dan maqasid al-mukallaf (kepentingan manusia), dengan tujuan mewujudkan kepentingan Tuhan di dalam kepentingan manusia. Al-ahkam adalah identifikasi atas kepentingan-kepentingan yang ada di dalam domain-domain yang berbeda-beda bagi perilaku. Al-ahkam pun terdiri dari dua: al-ahkam al-wadl’I (nilai-nilai positif/ azimah-rukhshah) dan al-ahkam al-taklifiy (nilai-nilai formal/al-ahkam al-khamsah).
b. Relasi Wahyu, teks dan Realitas
Menurut Hassan Hanafi, pewahyuan Al-Qur’an adalah sebuah proses komunikasi yang memiliki tiga komponen dasar; pengirim, informasi (pesan), dan penerima. Tetapi dalam tradisi Islam, menurutnya hanya dua komponen pertama yang dominan, sementara komponen ketiga tidak mendapatkan porsi yang cukup. Itulah mengapa pembicaraan tentang wahyu dalam dunia Islam selalu tersita untuk berbicara tentang Tuhan (sebagai pengirim) dan Nabi sebagai penyampainya, tanpa ada perhatian pada “manusia” sebagai penerima pesan wahyu. Padahal komponen inilah kutub utama proses komunikasi. Akibat dari konsepsi yang keliru ini adalah dominasinya model berfikir tekstualis yang menganggap teks sebagai standar analisis.
Menurut cara berfikir seperti ini, seolah-olah teks adalah segala-galanya termasuk dianggap sebagai sesuatu yang melahirkan realitas, sehingga realitas selalu dilihat dari bunyi teks. Padahal menurut Hassan Hanafi, ini adalah kekeliruan karena semestinya adalah realitaslah yang menjadi standar. Jadi, bukan wahyu yang menyebabkan lahirnya berbagai peristiwa empiric (realitas), tetapi sebaliknya, yaitu supremasi realitas atas wahyu (teks), karena realitas akan selalu menjadi acuan teks yang tanpa acuan ini, teks menjadi hampa.
Hanafi berpendapat bahwa setiap teks selalu merupakan refleksi realitas social tertentu, teks merupakan penulisan semangat zaman yang terungkap dalam oengalaman individu dan masyrakat pada banyak situasi. Teks bukan semata-mata sebagai gambaran internal gagasan penulisnya, tapi teks juga merupakan sarana pembentukan kesadaran akan realitas tertentu yang terefleksi dalam teks. Tidak ragu-ragu Hanafi mengatakan bahwa “teks sebagai praktik ideology”; bahwa penulisan teks senantiasa tunduk pada factor-faktor subyektif, perspektif tentang kenyataan, perspektif dalam membaca dan menentukan orientasi tertentu.
Selanjutnya, Hanafi berpandangan bahwa teks tidak mengandung makna objektif apapun. Sebaliknya, pembacaan yang tidak dikaitkan dengan kepentingan itulah yang justru ideologis, karena berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari teks yang objektif padahal ia sama sekali tidak mmberi tafsiran yang objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu. Penafsiran, singkatnya, pada gilirannya, tidak memiliki parameter benar salah, kecuali tafsir kepentingan (al-tafsir al-qasdi) itu sendiri, makna berkorelasi dengan teks. Bagi Hanafi, penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah.
Teks selalu merupakan praktik manusiawi semenjak penciptaan pertama hingga pembacaan terakhir. Meskipun terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang melahirkan teks, namun ia tetap bukan menjadi pendasaran bagi penafsiran masa kini, karena sumber-sumber sejarah tetap tidak akan relevan. Baginya, penafsiran adalah kegiatan produktif, berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam teks yang sama sekali belum ditemukan sebelumnya, bahkan yang dimaksudkan oleh makna awalnya. Hal ini terkait dengan akumulasi pengetahuan yang tidak pernah disadari sebelumnya. Di samping berkaitan juga dengan kesadarannya akan realitas social dan individu di mana ia hidup.
Sebagai kegiatan produktif dan untuk menemukan dimensi baru pembacaan terhadap teks, Hanafi merinci tiga prasyarat yang tidak mungkin diabaikan dalam suatu pembacaan teks. Yaitu:
1) Pijakan pada situasi tertentu yang dalam hermeneutika filosofis disebut sebagai prapaham atau kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (mengenai apa yang dibutuhkan dan dituju oleh penafsir). Tanpa dibekali kepentingan, penafsir tidak akan menemukan apa-apa. Makna bagi Hanafi, adalah tujuan yang telah ditentukan sebelum pembacaan dilakukan
2) Mengungkapkan kepentingan umum. Karena baginya, penafsiran adalah perjuangan antar kelas; yang menguasai dan yang dikuasai. Keberpihakan terhadap kepentingan public menolak pembacaan yang bertendensi ideologis dan teologis yang berpihak pada penguasa.
3) Penafsiran harus berpijak pada “bahasa realitas”. Jadi teks dalam pengertian “realitas”. Penafsiran mentransformasikan bahasa kepada masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi antara teks dan realitas. Boleh dikatakan bahwa pada tahap ini penafsiran dapat disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah yang menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.

E. TEORI PENAFSIRAN HASSAN HANAFI

a. Kritik Hermeneutika Tradisional
Menurut Hanafi, hermeneutika klasik Islam mengalami dua krisis akut yang kemudian menyebabkan kehilangan semangat dinamis dan progresifnya.
1. Krisis orientasi.
Disipliner-metodologis yang sarat dengan kepentingan
Bagi Hanafi, interpretasi adalah membaca. Membaca tidak hanya ungkapan vokal, tetapi merupakan sebuah proses pemahaman dengan mengubah seluruh teks menjadi realitas yang dimilikinya. Membaca berarti membawa teks kepada pusat hidup, dari masa lampau hingga masa kini, dari dunia eksternal dan objektif menuju dunia internal dan subjektif. Hermeneutik adalah ilmu interpretasi. Alat untuk menafsirkan, alat untuk memahami, dan alat untuk menjalankan. Hermeneutik adalah alat yang memainkan sebuah bagian perdamaian dari agama menuju revolusi, dan menyatukan legalitas agama dan revolusi menjadi satu. Hermeneutika pun merupakan kebenaran dalam menafsirkan masa lampau untuk kepentingan masa yang akan datang, dan alat untuk membaca tradisi dalam kepentingan revolusi. Untuk itu, sebuah aktifitas penafsiran mestilah mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat, mencerminkan kebutuhan kaum muslimin dan mencerap isu-isu kontemporer. Sebuah penafsiran mestilah punya tujuan, orientasi atau misi, yang menurutnya, untuk kepentingan transformasi sosial umat, pembelaan terhadap kondisinya dan memperjuangkan hak-haknya.
Orientasi-orientasi ini yang hilang dalam wacana hermeneutika klasik. Akibatnya, tafsir tradisional tidak otonom, melainkan terjebak pada orientasi yang lebih ‘metodologis’ dari berbagai disiplin keilmuan klasik Islam. Dalam konteks ini, penafsiran lebih banyak digunakan justifikasi bagi berbagai kepentingan. Tegasnya, hermeneutika klasik tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer. Di samping itu, Al-Qur’an lebih banyak digunakan sebagai justifikasi dalam menguatkan posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an menjadi alat yang berfungsi memapankan disiplin lain dan, baru setelah itu, digunakan kembali untuk menafsirkan Al-Qur’an. Padahal bagi Hanafi, AL-Qur’an sama sekali bukan buku panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, filsafat, mistik, atau buku pengetahuan, panduan sosila-politik, atau buku tentang metafor. Bagi Hanafi, AL-Qur’an lebih dilihat dan berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi bagi tindakan.
Komentar Membujur yang tercerabut dari Kebutuhan Jiwa dan Semangat Zaman
Di samping terjebak dalam corak penafsiran disipliner, tafsir-tafsir tradisional dari segi bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan al-tafsir al-tahliliy, sebuah penafsiran yang disebutnya kegiatan bertele-tele....................................
Di samping itu, dalam Tafsir tradisional, teks tidak mengarahkan kritik dan perubahan terhadap realitas, demi mempertahankan sistem yang ada. Untuk itu, Hanafi menawarkan tafsir sosial untuk mengkritik realitas sosial, menawarkan teks kepada masa kini bukan masa lalu dalam rangka perubahan kondisi sosial-politik masa kini, dan dalam rangka memberikan sumbangsih bagi gerak sosial-politik. Dengan kredo Kiri Islam-nya, Hanafi melampaui tafsir historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah Al-Qur’an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja karena hanya menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu.
”Kita membangun tafsir perspektif (al-syu’uriy) agar Al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial dan politik. Tafsir semacam ini telah dimulai oleh Sayyid Quthb dalam Fie zhilal al-Qur’an. Kita melampaui tafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang. Kita bangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia, dan sistem sosial. Kita tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan akidah ke dalam ideologi revolusi.”
2. Krisis epistemologis.
Bagi Hanafi, wacana klasik tak memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang terarah pada kepentingan tertentu. Tafsir klasik hanya berfungsi sebagai penjelasan tautologis dan repetitif tentang berbagai masalah yang tak berkaitan sama sekali dengan kepentingan dan realitas nyata masyarakat. Ciri tafsir seperti ini adalah kegemarannya mengulang-ulang pendapat klasik dan sifat apologetisnya dalam memformulasikan beragam argumen. Penafsiran dulu terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-Qur’an atau asfek linguistik dan sejarah turunnya Al-Qur’an. Padahal, keduanya mereduksi makna. Tafsir klasik juga membatasi pada kasus-kasus spesifik yang menjadi sebab turunnya ayat, sehingga terkesan ada ‘parsialitas’ makna dan relevansi. Padahal, semangat yang dikandung teks boleh jadi bersifat universal, tidak spesifik untuk satu komunitas atau satu sebab.
Pengujian yang Hanafi lakukan, sebagaimana diakuinya, benar-benar berpijak pada analisa sosial. Sehingga pemahaman seorang penafsir tidak tertutup kepekaannya untuk menangkap berbagai krisis sosial pada zamannya, serta menangkap trend peradaban. Menurut Hassan Hanafi, pemikiran tradisional Islam dalam rangka menganalisis masyarakat bertumpu pada metodologi baca teks semata, yakni model ”pengalihan” yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang bisa berbicara sendiri. Padahal metode demikian memiliki banyak kelemahan yang penting sebagaimana Hanafi ungkapkan sebagai berikut;
Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Dan karena setiap argumentasi haruslah otentik maka penggunaan teks sebagai argumentasi haruslah merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih dahulu sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya, dan ini elitis. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-kitab dan bukan otoritas rasio. Padahal otoritas seperti ini tidaklah argumentatif karena terdapat banyak sekali kitab suci, smentara realitas dan rasio hanya satu. Keempat, teks adalah pembuktian (al-burhan) asing karena ia datang dari luar dan tidak datang dari realitas. Padahal dalam pembuktiannya, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, teks selalu terkait dengan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, bahkan akan menyelewengkan maksud teks-teks yang sesungguhnya sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya, sehingga tidak mungkin untuk beriman pada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak pada penafsir ke dalam pola fikir yang parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentingannya, sebagaimana sang sosialis akan melakukan hal yang sama terhadap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks sehingga di dalam realitas, perbedaan dan pertikaian para mufassir akan menjadi sumber pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan, dan sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, namun tidak mengarah pada rasio dan kenyataan keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan tekstual bukan metode ilmiah untuk menganalisis realitas kaum muslim, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi lebih jauh rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip, namun tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir, kesebelas, kalaupun mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status dan tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan terhadap realitas sampai pada fakta ”siapa memiliki apa”.
Selanjutnya bagi Hassan Hanafi, metode ”kiri Islam” adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu pada konteksnya (asbab al-nuzul), dan Kiri Islam langsung merujuk secara objektif pada konteks tersebut dan mendefinisikannya secara kuantitatif. Dengan begitu, Hassan Hanafi ingin mengatakan bahwa yang mendasari penukilan suatu teks adalah menjadikan rasio dan persaksian sebagai aksioma (dalil) disertai penajaman eksperimentasi, realitas kuantitatif, dan penggunaan bahasa angka-angka.
Bagi Hanafi, setiap tafsir tradisional, baik yang disebut bi al-ma’tsur maupun bi al-ma’qul, pada dasarnya tidak dapat menghindarkan diri dari analisis nalar. Hal ini karena penafsir bagaimanapunnselalu menarik makna dengan pemikiran murni, baru setelah itu beralih pada pemberian justifikasi, baik berdasarkan riwayat maupun argumen fikiran. Kebenaran riwayat hadits shahih dalam tafsir riwayat, maknanya tetaplah hipotetis. Kebenaran riwayat tidak mempengaruhi makna-makna yang ditulis mufassir. Begitu pula yang ma’qul, sebab makna yang diperoleh secara hipotetis tidak mungkin menjadi positif hanya dengan argumen yang sama-sama hipotetisnya.
Bagi Hanafi, Metode linguistik mencerabut penafsir dari prinsip-prinsip metode pengalaman eksperimental (manhaj al-tajribiy al-istiqra’iy) yang tidak lain menjadi dasar penetapan hukum dalam Islam. Di samping itu, metode linguistik mengabaikan pemahaman komprehensif terhadap teks yang dapat diperoleh melalui persepsi langsung, tanpa harus melalui aturan-aturan struktural kebahasaan.
Untuk menanggulangi kekurangan itu, Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode analisis pengalaman (manhaj tahlil al-khubrat). Metode ini bersumber dari disiplin fenomenologi bagi teks-teks keagamaan. Menurut Hanafi, analisis bertumpu pada pengalaman hidup tidak saja membwa kepada makna teks, namun bahkan pada realitas itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang diungkap teks. Oleh Hanafi, inilah yang dimaksud al-ta’wil. Prosedur pendekatan ini adalah orang yang ingin menafsirkan teks terlebih dahulu menganalisis pengalamannya sendiri sebelum mulai menafsirkan teks atau menulisnya. Tujuannya adalah untuk memunculkan pada diri penafsir berbagai kepentingan, motivasi, dan imajinasi tertentu yang mendasari dan mengarahkan penafsiran. Setelah itu barulah hasil-hasilnya dikorelasikan dengan teks.

b. Teori Interpretasi
Menafsirkan dalam pandangan Hanafi tidak hanya dipahami sebagai tindakan analisis, tapi juga mensintesis; bukan hanya membagi suatu keutuhan ke dalam urain parsial, tetapi juga menyimpulkan begian-bagian teks ke dalam suatu pandangan global. Dengn kata lain menafsirkan adalah mencari inti sesuatu, focus dari objek. Menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks, menggeneralissikannya ke dalam suatu pengetahuan umum, suatu hal yang sebelumnya belum diketahui dan tidak terkatakan menuju level terdalam dari teks yang koresponden dengan kesadaran yang paling dalam. Menafsirkan hampir serupa dengan menulis teks baru, sebab merefleksikan Al-Qur’an di hadapan individu.
1. Prinsip-Prinsip Metodologis
Sebagai seorang pemikir yang serius komitmentnya terhadap pemikiran kondisi actual umat sehingga sampai menempatkan supremasi realitas sedemikian rupa, Hassan Hanafi tidak sepakat apabila tafsir hanya diidentifikasi sebagai sekedar teori memahami teks. Untuk itulah ia mengajukan tawaran metodologis yang disebut sebagai al-manhaj al-ijtima’ fi al-tafsir.
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dari metode ini, Hassan Hanafi mengusulkan beberapa kaidah dasar yang mesti difahami sebelum kegiatan penafsiran dimulai. Pertama, wahyu diletakkan dalam “tanda kurung” (ápoché), tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Bahwa dalam tafsir teks Al-Qur’an, tidak perlu dipertanyakan asal-usul maupun sifatnya. Ini mengingat tafsir tidak terkait dengan masalah kejadian teks melainkan berkait dengan isi.
Kedua, Al-Qur’an sebagai teks tidak dibedakan dari teks-teks kebahasaan lainnya. Artinya, penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak dibangun atas asumsi bahwa Al-Qur’an adalah teks sacral dengan segala keistimewaannya.
Ketiga, penafsiran tidak mengenal penilaian normative benar atau salah. Karena perbedaan pendekatan penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Akibatnya pluralitas penafsiran adalah kenyataan yang tidak bias dihindarkan, karena pada dasarnya setiap penafsiran merupakan salah satu ekspresi komitmen social-politik pelakunya.
Keempat, tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman para penafsir. Teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Teks hanyalah bentuk, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
Terakhir, kelima, konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis. Jadi, teori sebenarnya hanyalah kedok epistemologis. Setiap poenafsiran mengungkapkan komitmen sosio-politik penafsir. Penafsiran adalah senjata ideologis yang digunakan banyak kekuatan sosio-politik, baik dalam ragka mempertahankan kekuasan atau merubahnya. Penafsiran konservatif menciptakan status quo, sementara penafsiran revolusioner untuk mengubahnya.
Kaidah dasar ini sengaja dicanangkan untuk mem-back up komitmennya sendiri terhadap realitas yang sejak awal sudah disadarinya. Barangkali, dengan kesadarannya ini pula, dia menegaskan ketidaksepakatannya atas anggapan para mufassir modern tentang dapat ditemukannya makna objektif Al-Qur’an. Ketidakmungkinan ditemukannya makna sejati Al-Qur’an menurut Hassan hanafi tidak saja lantaran adanya jarak waktu yang begitu jauh antara sejarah teks Al-Qur’an dengan penafsirannya, tetapi seperti pengalamannya sendiri menunjukkan, pebafsiran selalu dibangkai oelh kepentingan penafsir, posisi sosialnya, juga kondisi cultural dimana teks Al-Qur’an ditafsirkan. Apalagi tafsir yang dimaksudkan oleh motif membaca teks, tetapi lebih sebagai upaya pemecahan problem social kemanusiaan tertentu.
2. Karakteristik Interpretasi
Sebagai hermeneutika bertujuan praksis, hermeneutika pembebasan berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, sekaligus mengarah perhatian pada tafsir tema-tema social Al-Qur’an. Untuk tujuan itu, Hassan Hanafi menggariskan beberapa karakteristik hermeneutika pembebesan sebagai berikut:
Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafsir al-juz’i). tafsir diarahkan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam Al-Qur’an dan bukan menafsirkannya secar keseluruhan.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik, mengingat tidak menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan sistematika konkordasinya. Tetapi lebih senang menafsirkan keseluruhan ayat Al-Qur’an dalam tema-tema tertentu.
Ketiga, hermeneutika Al-Qur’an bersifat temporal. Sebagai penafsiran yang berorientasi sosial, hermeneutika tidak diarahkan kepada proses pencarian makna universal, tetapi diarahkan untuk memberi gambaran tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa mendatang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer dimana ia muncul.
Keempat, realistic. Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraan mereka dan bukan tafsir yang tercerabut dari masyarakat.
Kelima, berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata. Karena wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi, dan kepentingan, yakni kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiawi, rasional, dan natural.
Keenam, tafsir eksperimental. Dengan kata lain, ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup penafsir.
Ketujuh, perhatian pada problem kontemporer. Upaya penafsiran dilakukan didahului oleh adanya perhatian atau penelitian akan masalah-masalah kehidupan.
Kedelepan, posisi social penafsir. Posisi seseorang dalam kapasitasnya sebagai mufassir ditentukan secara social sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran adalah bagian dari struktur social, apakah penafsir merupakan bagian golongan atas, menengah atu bawah.
3. Metode Sistematis
Untuk mendukung hermeneutika pembebesan dengan berbagai karakteristik dia atas, Hassan Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis atau prosedur interpretasi yang berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika penafsiran Al-Qur’an dilakukan. Aturan-aturan tersebut sebagaimana berikut:
Pertama, merumuskan komitmen social politik. Penafsir bukanlah seorang yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis pada masanya. Ia adalah seorang reformis, actor social, dan revolusioner.
Kedua, mencari sesuatu. Ia harus mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Ia bukan orang yang memiliki kesadaran netral, ia harus berpihak. Ia mencari solusi atas suatu masalah. Kesadaran itu adalah kepentingan.
Ketiga, berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Demi menemukan orientasi umumnya, melalui pengumpulan ayat-ayat yang concern dengan tema tertentu secara seksama, dibaca secara simultan, dan dipahami berulang-ulang.
Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistic. Demi menemukan makna melalui analisa linguistic. Bagi Hanafi bahasa sebagai bentuk pemikiran membawa penafsir ke dalam makna.
Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistic memberi orientasi makna, penafsir berusaha membangun suatu struktur, beranjak dari makna menuju suatu objek, dari noesis menuju noema. Makna dan objek adalah satu koin yang sama. Makna adalah objek yang bersifat subjektif, sementara objek adalah subjek yang objektif.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil. Setelah proses membangun struktur, memberikan tema kualitatif dan analisa fakta social member status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, penafsiran membandingkan struktur ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi factual yang diinduksi oleh statistic dalam ilmu-ilmu social.
Kedelapan, deskripsi model-model aksi. Sekali ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi social merupakan langkah berikutnya dari proses interpretasi (transformasi social). Namun bukan mengarah kepada kekerasan, dilakukan melalui tindakan gradual antara teks dan aksi.

F. SEBUAH CATATAN PENUTUP
Dengan karakternya yang realis, tematis, temporal, transformatif dan eksperimental, metodologi tafsir Hassan Hanafi disamping menunjukkan bingkai pembaruan pemikirannya juga sekaligus tampak digiring untuk melegitimasi proyek pembaharuannya yang bercorak kiri. Keberpihakan ini menjadikan Hassan Hanafi buru-buru menolak pretense objektivistik sebagaimana yang lazim ditemukan dalam hermeuneutika Al-Qur’an modern. Justru dengan karakter di atas, Hassan hanafi ingin menegaskan subjektifitas dan kepentingan (ideologis) yang menjadi tujuan penafsirannya.
Dampak dari bais kepentingannya ini adalah terjadinya kontradiksi dalam pemikiran hermeneutisnya. Di satu pihak, membalik paradigma tekstualis hermeneutika klasik menjadi paradigm realis. Sementara di pihak lain, orientasi ilmiah objektif hermeneutika Al-Qur’an modern dikembalikan pada orientasi subjektif seperti dalam hermeneutika klasik. Pada gilirannya dapat disimpulkan bahwa pendekatan fenomenologi dan marxis dengan cirri utama analisis konflik antar kelas dalam masyarakat, begitu menonjol walau dibalut dengan dalih teori asbab al-nuzul maupun masalih al-ummah.



DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1986.
Azyumardi Azra, Menggugat Tradisi, Menggapai Modernitas: Memahami Hassan Hanafi dalam Pengantar Buku Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, Jakarta: Paramadina, 2003
Cecep Sumarna, Rekonstruksi ilmu, Bandung: Pustaka pelajar, hlm. 55.
E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan: gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, Jakarta: Logos, 1999.
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Autopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
F. Budi Hardiman, melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Hassan Hanafi, Islamologi 3; Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,Yogyakarta: LKiS, 2004
Hassan Hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki (Lampiran Jurnal)
Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, dan Hermeneutik, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003
Hassan Hanafi, Humum Al-Fikr Al-Wathan (Opposisi Pasca Tradisi, Terj.)….,
Hassan hanafi, Islam Wahyu Sekuler, Jakarta: INSTAD, 2001.
Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi, Jakarta: Paramadina, 2003
Hassan Hanafi Dkk, Orientalisme vis a vis Oksidentalisme, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001.
J.B.A.F. Mayor Polak, Sosiologi; Suatu Buku Pengantar Ringkas (Jakarta: Penerbit dan Balai Buku “Ikhtiar”. 1960), Cet. ke-2,
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan…
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakrta: LKiS, 2007
Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Yogyakarta: Qirtas, 2004.
M. Mansur, Metodologi Tafsir “Realis”; Telaah Kritis terhadap Pemikiran Hassan Hanafi, sub judul dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir”, Yugyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002
Muqaddimah fie ‘Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Barat, Terj.), Jakarta Selatan: Paramadina, 2000
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas…., Yogyakarta: Belukar, 2008
Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1994
W. Poespoprodjo, Hermeneutika, Bandung Pustaka Setia, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar