Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM

Oleh: Deden Syarif Hidayat


A. PENDAHULUAN
Membicarakan kembali perkembangan pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam menarik untuk dicermati. Perkembangan ini sangat berpengaruh kepada tatanan peradaban pemikiran dan gerakan umat Islam yang senantiasa fluktuatif. Sehingga timbullah semacam pergeseran-pergeseran pemikiran dan gerakan di dunia Islam. Dari rentetan sejarah, kita mengenal beberapa fase perkembangan maju-mundurnya umat Islam. Nasution membagi sejarah Islam secara garis besar kepada tiga periode besar; klasik, pertengahan, dan modern.
Periode klasik (650-1250 M) merupakan zaman keemasan dan dibagi kepada dua fase. Pertama; fase ekspansi, integarasi, dan puncak kemajuan (650-1250 M). Di zaman inilah daerah-daerah meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncaknya ilmu pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang non-agama, dan kebudayaan Islam. kedua; fase disintegrasi (1000-1250 M). Di masa ini kebutuhan umat Islam, dalam bidang politik mulai pecah, kekusaan khalifah menurun dan akhirnya Bagdad dapat dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu di tahun 258 M. Khalifah, sebagai lambang kesatuan politik umat Islam, hilang.
Periode pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi kepada dua fase. Pertama; fase kemunduran (1250-1500 M), ditandai dengan desentralisasi dan disintegrasi yang kian bertambah, kebudayaan Persia mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab, dan pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu . Kedua; fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M), yaitu kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Zaman kemajuan ditandai dengan kejayaan-kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Kemajuannya lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik. Perhatian pada ilmu pengetahuan masih kurang sekali. Di zaman kemunduran, Kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Syafawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedang daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja india.
Periode Modern (1800-seterusnya) merupakan zaman kebangkitan Islam. Periode ini ditandai dengan semaraknya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Selanjutnya akan dikupas pada pembahasan selanjutnya; mulai dari awal kemunculannya, tokoh-tokoh dan daerah yang mempeloporinya, dasar-dasar-dasar pemikirannya, dan perkembangannya pada masa sekarang ini.
Untuk mengantarkan catatan ini, perlu kiranya difahami terlebih dahulu sebuah asumsi yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyyah tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban kultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu perubahan. Apalagi, dilihat dari pandangan ajaran Islam sendiri perubahan adalah sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasimanusia dan alam raya scara keseluruhan. Inilah yang memungkinkan dalam aktualisasinya, Islam selalu melakukan pembaruan-pembaruan. Jika pembaharuan difahami sebagai aktualisasi Islam baik dalam pemikiran maupun dalam perkembangan sosial, maka sesungguhnya ia telah hadir bersamaan dengan kelahiran Islam itu sendiri.

B. LAHIRNYA PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM
Jika dirunut dari sejarah, munculnya pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Sadjali menyebut tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran (politik) Islam kontemporer, yang mutlak muncul pada waktu menjelang akhir abad XIX M. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, dan berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau poenjajahan oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Pada abad XVIII kekuasaan, wibawa, dan kemakmuran tiga kerajaan besar, yakni kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Syafawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India berangsur mundur dan menurun, yang disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas masing-masing pemerintah pusat dan munculnya penguasa-penguasa semi otonom di berbagai daerah dan provinsi negara-negara tersebut, disertai dengan dislokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa, atau karena kalah perang, serta kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat, terutama para penguasa.
Selain itu, gerakan modern itu pun lahir dari pertemuan Islam dengan peradaban Barat yang sedang berlangsung . Sebab, baik faktor sejarah maupun geografis menunjukkan bahwa Islam dan barat senantiasa berhubungan erat, baik berupa hubungan persentuhan maupun konflik antar kedua peradaban.
Pengaruh Barat adalah gerakan dahsyat yang terjadi dalam proses transformasi modern dunia Timur . Kalangan muslim tertentu menganggap bahwa pengaruh Barat atau Eropa atas dunia Islam bermula dengan pecahnya perang Salib. Hingga taraf tertentu, pandangan ini dapat dibenarkan. Akan tetapi, pengaruh modern utama baru muncul setelah ekspansi Eropa melintasi samudera yang dimulai pada abad ke-15 dan didorong oleh faktor-faktor yang berbeda. Bagi dunia Islam, pengaruh Barat secara efektif bermula pada 1498 ketika Vasco Da Gama membuka jalan laut ke india melalui Tanjung Pengharapan, dan mulai melakukan perniagaan ke Afrika Timur, Anak Benua India, India Timur (Asia Tenggara, termasuk Indonesia), dan Timur Jauh . Perniagaan ini mengawali keterlibatan politik. Pertama-tama dilakukan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, kemudian bala tentara Eropa dikirim untuk melindungi pos-pos perniagaan, lalu campur tangan lebih jauh dilakukan, dan akhirnya merebaklah kolonialisme di berbagai kawasan. Salah satu akibat penting proses ini adalah kebanyakan bagian dunia Islam tergabung ke dalam sistem ekonomi global (Eropa atau Barat). Pada akhirnya hal tersebut, dalam kasus-kasus tertentu, bermakna bahwa kaum muslimin berfungsi sebagai penyandang bahan mentah untuk Eropa dan menerima barang-barang pabrik sebagai imbalannya.
Selanjutnya, Boisard menggambarkan bahwa dalam bidang sejarah politik, nasib Islam semenjak abad ke-16 ditentukan oleh sikap-sikap Eropa. Orang-orang Portugis dan Belanda telah membelokkannya dengan memakai jalan-jalan maritim baru. Inggris dan Prancis memasuki daerah-daerah Islam. Rusia memotong daerah-daerah Timur dari badannya. Di daerah Balkan, pada jalan menuju ke Asia dan tempat-tempat infiltrasi di Afrika, imperialisme Eropa berhadapan muka dengan Islam, dengan menundukkannya atau mengepungnya. Lalu, kehidupan beragama menderita karena keadaan tersebut. Jiwa keagamaan formalis yang condong kepada kefanatikkan dan, kehidupan mistik yang tidak sehat kemudian menyuburkan takhayul dan mencekik sifat original Islam yang kreatif. Orang lebih mengutamakan unsur-unsur kebudayaan tradisional lebih daripada mengadakan riset khususnya yang bersifat ilmiah. Iman menjadi terdesak dalam ortodoksi sempit yang dapat menjaga nilai-nilai agama tidak ternoda, akan tetapi ortodoksi ternyata kurang mampu untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dapat membawa Islam kepada zaman kemajuan yang aktif. Maka pandangan Islam tentang dunia menjadi sempit. Islam jatuh dalam stagnasi yang sangat tenang, sehingga serbuan-serbuan Barat pada abad ke-19 membawanya kepada keadaan morat-marit.
Sementara itu, sejak abad XIX M, dunia Islam harus mengakui bahwa dalam bidang ilmu, teknologi dan organisasi, negara-negara Barat lebih unggul daripada dunia Islam. Dan kalau dunia Islam ingin bangun kembali, harus belajar dari Barat. Jatuhnya Mesir dengan kedatangan Napoleon Bonaparte (Perancis) di lembah sungai Nil menginsafkan dunia Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka=pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Dengan ini, memaksa umat Islam untuk menentukan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa.
Penjajahan menimbulkan rasa harga diri yang diremehkan lalu menjelma menjadi usaha untuk kebangkitan keagamaan, kebudayaan dan politik. Suatu usaha yang diberi semangat oleh kenyataan bahwa ia menghadapi bentrokkan dengan kepentingan kaum penjajah dari Eropa. Dengan melakukan usaha-usaha anti kolonial, bangsa Arab muncul kembali dalam sejarah Islam.
Namun, di antara umat Islam memang berbeda pandangan dalam menyikapi Barat, ada yang menolak mentah-mentah pemikiran Barat, ada yang akomodatif dalam pengertian menyeleksi pemikiran Barat yang dapat diterima di lingkungan umat Islam, dan ada yang sama sekali menerima seutuhnya pemikiran Barat itu. Al-Jabiri membagi pandangan umat Islam terhadap modernitas Barat menjadi tiga kelompok, yaitu modernis (ashraniyyun, hadatsiyun), tradisionalis atau salafi, dan kaum elektis (tadzabdzub).
Yang pertama menganjurkan adopsi modernitas Barat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai model yang secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban modern untuk masa kini dan masa depan. Sikap kaum salafi sebaliknya berupaya mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang terakhir (kaum elektik) berupaya mengadopsi unsur-unsur yang terbaik, baik yang terdapat dalam model Barat modern maupun dalam Islam masa lau, serta mempersatukan diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut.

C. PEMIKIRAN DAN GERAKAN PRA-MODERN DI DUNIA ISLAM
Geliat pemikiran dan gerakan modern sudah dimulai pada periode pertengahan, sebagaimana dipetakan oleh Nasution. Ada tiga fenomena menarik yang terjadi sebagaimana di bawah ini.
Kerajaan Usmani (Turki)
Di abad ketujuh belas kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan dengan negara-negara Eropa. Diantaranya adalah kekelahan dalam upaya penguasaan Wina pada tahun 1683, dan perjanjian Carlowitz yang ditandatangani tahun 1699, membuat kerajaan Usmani terpaksa menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia dan Azov kepada Rusia.
Kekalahan-kekalahan serupa ini mendorong Raja-raja dan pemuka-pemuka kerajaan untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan mereka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan Eropa terutama kemajuan di Perancis, baik dalam hal pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi Perancis. Demikian pula dalam hal kemiliteran dan non-militer. Tersebutlah Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M) yang pertama menghasilkan pembukaan percetakan di Istambul, yang mencetak buku-buku yang sangat beragam termasuk tentnag kedokteran, astronomi, ilmu pasti, sejarah dan sebagainya. Ibrahim pun pandai mengarang berbagai buku cabang ilmu pengetahuan. Pada masa itupun dibentuklah suatu badan penterjemah untuk menerjemahkan buku-buku Barat ke dalam bahasa Turki.
Namun usaha ini tidak membuahkan hasil yang signifikan karena beberapa faktor. Diantaranya adalah munculnya sultan-sultan yang lemah, dan keuangan negara yang kian melemah sehingga belanja yang diperlukan untuk pembaharuan jauh dari cukup. Selain itu terdapat penentangan keras dari beberapa golongan yang terkenal di masyarakat. Diantaranya adalah Yeniseri (tentara baru) dan kaum ulama tradisional, terutama terkait ide demokrasi.
India
Diawali dengan pecahnya perang saudara pada kerajaan Mughal, lalu timbullah gerakan (Hindu) yang ingin memisahkan diri dari kerajaan. Demikian pula dimulainya upaya pihak inggris untuk memperbesar usaha demi memperoleh daerah-daerah kekuasaan. Dari sinilah munculnya kesadaran para pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam. Salah satunya adalah Syah Waliullah (1703-1762 M).
Beliau memandang bahwa diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Kemudian besarnya pajak yang dibebankan kepada rakyat jelata membuat umat Islam lemah, apalagi pajak yang terima tidak dipergunakan untuk kepentingan rakyatnya tetapi untuk membelanjai hidup mewah dari kaum bangsawan pengangguran. Untuk itu beliau berpendapat bahwa sistem pemerintahan pada zaman khulafa ar-Rasyidin perlu dihidupkan kembali.
Selain itu, kelemahan umat Islam disebabkab oleh perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam, sehingga perlu didamaikan. Juga, masuknya adat-istiadat dan ajaran-ajaran yang bukan Islam ke dalam keyakinan umat Islam, sehingga harus dibersihkan dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Demikian pula dengan taklid. Ia melihat bahwa masyarakat bersifat dinamis. Penafsiran yang sesuai untuk suatu zaman belum tentu sesuai dengan zaman sesudahnya. Oleh sebab itu, ia menentang taklid dan menganjurkan pengadaan ijtihad. Ia membedakan antara Islam universal dan Islam lokal. Dan berpegang kepada ajaran-ajaran yang universal-lah yang membuat Islam bersifat dinamis. Pada masa inipun dibuka kran penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia agar dapat difahami kandungan ayatnya.
Arabia
Pada saat itu, di Arabia timbul pula satu aliran, yaitu aliran Wahabiah yang mempunyai pengaruh pada pemikiran pembaharuan di abad kesembilanbelas. Pembinanya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) yang berasal dari Nejd di Arabia. Pemikiran yang dicetuskannya untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul bukan sebagai reaksi terhadap suasana politik seperti yang terdapat di kerajaan Usmani dan kerajaan Mughal, tetapi sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu. Kemurnian faham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ketigabelas memang tersebar luas di dunia Islam. Diantaranya adalah pemujaan atau naik di kuburan para wali, memohon di atas kuburannya, atau memuja dan memohon kepada bebatuan dan sebagainya. Menurut faham Abdul Wahhab, keyakinan seperti ini merupakan syirik atau politeisme.
Gerakan Wahhabi dikelompokkan sebagai pembaharuan revivalis pra-modern yang dipandang sebagai denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemerosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya. Ibnu Hambal dan Ibnu Taimiyah sangat berpengaruh terhadap orang-orang yang berusaha membangkitkan kembali Islam pada zaman modern. Walaupun, tidak sepenuhnya duplikat dari pemikiran ibnu Taimiyah.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abdul Wahhab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilabelas adalah:
1. Hanya Al-Qur’an dan hadits lah yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran Islam. Pendapat ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu ijtihad terbuka dan tidak tertutup.
Dalam aspek idealnya, dalam perlawanannya terhadap kerancuan monoteisme yang timbul karena masuknya ibadah-ibadah animistik dan ajaran ajaran panteistik, faham wahhabi berhasil menampilkan gagasan pembaharuan, yang sedikit demi sedikit tersebar ke seluruh dunia Islam. Selanjutnya, faham wahhabi ini bergeser oleh karena aspek teokratik revolusionernya. Ia menampilkan sebuah model pergolakan menentang pemerintah Islam ”murtad”, dan modelnya itu secara lebih hebat diikuti di negara-negara lain pada saat pemerintah-pemerintahnya semakin jatuh ke dalam pengaruh dan kekuasaan bangsa-bangsa Eropa.
Demikian gejolak awal pemikiran dan gerakan modern di dunia Islam. Menurut Nasution dan Azra , pada intinya semua gerakan pembaharuan pra-modernis memperlihatkan ciri-ciri umum berikut ini:
1. Suatu keprihatinan yang mendalam dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim;
2. Suatu himbauan untuk kembali ke Islam orsinil, menanggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas madzhab-madzhab humum tradisional, dan berusaha melaksanakan ijtihad, yaitu merenuingkan kembali bagi dirinya sendiri makna pesan orsinil itu;
3. Suatu himbauan untuk membuang beban yang menghancurkan, berupa pandangan tentang kodrat takdir yang dihasilkan agama rakyat, tetapi juga secara material disumbangkan oleh teologi asy’ariyah yang pengaruhnya ada di mana-mana;
4. Suatu himbauan untuk melaksanakan pembaharuan Revivalis ini melalui mkekuatan bersenjata (jihad) jika perlu.

D. DASAR-DASAR PEMiKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI DUNIA ISLAM
Kekecewaan terhadap dunia Barat melahirkan perubahan sikap yang cukup berarti bagi dunia Islam secara keseluruhan. Ketika pertama kali kaum muslimin mulai bereaksi terhadap dominasi Barat, selama zaman kolonial, timbul dua kecenderungan yang berbeda. Di beberapa kalangan terdapat keinginan untuk menyerap semua yang dianggap baik dari Barat, termasuk gagasan-gagasan politisnya, tatanan ekonominya, system pemdidikan, dan teknologinya, sambil tetap memelihara dan melestarikan Islam terutama dalam bentuk ritual dan kaidah-kaidah perilaku personal. Demikian juga ada yang bersikap bahwa gagasan-gagasan dan tradisi utama Barat memang telah dimiliki oleh Islam. Demokrasi, sains, sosalisme, dan penalaran merupakan bagian dar Islam. Oleh karena itu peniruan dari Barat tidak perlu dipermasalahkan Sehingga ada kecenderungan dari para intelektual Islam untuk mengambil kembali peradaban Islam yang dulu pernah berjaya yang telah diambil oleh Barat.
Inilah yang kemudian dikembangkan oleh Muhammad Abduh. Ia menegaskan bahwa akal budi dan rasionalitas yang dikenal dalam tradisi intelektual Barat sangat dihargai dalam Islam. Yang dibutuhkan adalah penafsiran mengenai Islam yang sesuai dengan gagasan dan cara hidup yang berasal dari Barat. Dengan begitu, umat Islam dapat bersaing melampaui gagasan-gagasan yang timbul dari Barat.
Bagaimanapun, respons umat Islam terhadap peradaban Barat menghasilkan pemikiran dan gagasan-gagasan pembaharuan. Sejak kahir abad ke-19 setelah wafatnya Jamaluddin Al-Afghani, pada masa giat-giatnya Muhammad Abduh melancarkan gerakan reformasinya, pemikiran Islam terbagi menjadi dua golongan yaitu:
Pertama, pemikiran yang cenderung kepada mobilisasi rohani dan reformasi keagamaan. Caranya, dengan menerangkan agama Islam sejelas-jelasnya dan berusaha menjadikan Islam sebagai dasar pendidikan Nasional. Jalan yang dipempuh yakni perbaikan Al-Azhar dan menghidupkan kembali buku-buku lama. Yang mawakili arah pemikiran ini justru sekolah salafiyyah yang menerbitkan majalah Al-Manar setelah meninggalnya Muhammad Abduh.
Kedua, pemikiran yang cenderung kepda mobilisasi persaaan Nasional pada jiwa generasi muda. Caranya melalui pers, perkumpulan umum, dan pendirian universitas Mesir yang diusahakan oleh Mustafa Kamil.
Dari lingkungan universitas itu, dan dari arah politik Nasional yang dianggap sama dengan arah reformasi keagamaan, karena sama-sama menentang imperialisme, lahirlah kelompok pembaharuan atu yang lebih tepat disebut pemikiran Islam yang kebarat-Baratan (westernized). Inilah mungkin yang dimaksudkan oleh Budi Hardiman bahwa modernisasi adalah westernisasi.
Gerakan-gerakan pembaharuan di lingkungan umat Islam, terutama sebelum abad ke-20, jika diamati memiliki kesamaan-kesamaan dasar, yakni:
Pertama, gerakan-gerakan itu datang dari masyarakat Islam dan terutama didorong oleh ajaran-ajaran Islam sendiri, jadi bukan karena sentuhan dan desakan Barat seperti dimengerti oleh sementara orang.
Kedua, gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas muslim dalam pergumulan social di dunia konkrit. Sufisme dianggap sebagai sebab terbesar mengapa masyarakat Islam menjadi mandeg, beku, statis, dan kehilangan kreatifitas.
Ketiga, hampir semua gerakan pembaharuan menekankan mutlak perlunya rekonstruksi sosio-moral dan sosio-etnik masyarakat Islam, agar sesuai atau paling tidak lebih mendekati Islam ideal. Islam histories, yakni Islam dalam praktik, harus ditransformasi menjadi Islam ideal.
Keempat, semua gerakan pembaharuan Islam mengobarkan semangat ijtihad, yaitu menggunakan akal fikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kelima, pada umumnya gerakan-gerakan pembaharuan itu juga menggarisbawahi pentingnya jihad untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.
Untuk pengkajian yang lebih mendalam, kita coba mendeskripsikan lebih lanjut perkembangan dan gerakan modern di tiga wilayah sentral pemikiran dan gerakan, yaitu Mesir, Turki, dan India-Pakistan.

E. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI MESIR
Sebagaimana telah disebutkan bahwa masuknya kekuasaan Perancis dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke lembah sungai Nil telah memaksa umat Islam untuk menetapkan sikapnya terhadap Barat yang jaya, mengadakan hubungan kebudayaan antara Timur yang tidur nyenyak dengan Barat yang datang bukan sebagai teman berunding tetapi sebagai penguasa. Kedatangan Bonaparte ke Mesir selain untuk kepentingan penguasaan atas negara Perancis, Mesir dianggap perlu untuk memasarkan produk perindustrian Perancis. Di samping itu, ekspedisipun dilakukan untuk keperluan ilmiah. Sehingga didirikanlah lembaga ilmiah yang dikenal dengan nama Institut de ’egypte.
Disamping kemajuan materi, Napoleon membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Perancis, diantaranya adalah sistem pemerintahan republik yang dalamnya kepoala negara dipilih ntuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dan dapat dijatuhkan oleh parlemen. Selain itu, tersosialisasikanlah ide persamaan dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam pemerintahan, dan ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang perancis merupakan suatu bangsa dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukus. Disini, dibedakan mana umat dengan bangsa.
Dengan begitu, bagaimanapun ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka. Dari situ muncullah pemikiran dan gerakan pembaharuan yang dimulai dari tokoh-tokoh utamanya, diantaranya adalah Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Dan Muhammad Rasyid Ridha, serta murid dan pengikut Muhammad Abduh lainnya.
Tahtawi berpandangan bahwa pemerintah yang baik lah yang dapat memajukan ekonomi. Dan salah satu jalan untuk kesejahteraan ialah berpegang teguh kepada agama dan budi pekerti yang baik. Mengenai fatalisme, ia mencela orang Paris karena mereka tidak percaya pada qadla dan qadar, padahal yang benar menurutnya adalah orang harus percaya pada qadla dan qadar Tuhan, tetapi disamping itu ia harus berusaha.
Dalam bidang pendidikan, Tahtawi sebagai salah satu syaikh Al-Azhar membuka alkademi bahasa-bahasa dan menterjemahkan konstitusi dan hukum perdata Perancis ke dalam bahasa Arab. Barangkali ia juga yang pertama kali mmenyatakan bahwa kaum muslimin mesti mempelajari semua sains-sains moder, karena orang Eropa telah mengembangkannya sesudah meminjam dari kaum muslimin sendiri.
Di samping itu muncul Jamaluddin Al-Afghani yang membawakan inspirasi dan dan program populer gerakan pan-Islamisme dengan menegaskan kembali landasan-landasan umat Islam dalam pengertian Nasionalisme. Dalam pengertian yang luas, pan-Islamisme adalah rasa solidaritas antara seluruh mukmin. Ia menyerang lembaga-lembaga yang ada, megnajurkan kembali kepada persaudaraan Islam orisinil serta melontarkan kritik pedas terhadap materialisme Barat dan apatis dari kaum Muslimin. Menurutnya, persatuan ideologi dan politik Dunia Islam adalah satu-satunya benteng yang dapat bertahan melawan imperialisme Eropa.
Pemikiran pembaharuannya berdasar atas keyakinan bahwa Islam adalah yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Untuk itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad baginya terbuka. Jadi kemunduran umat Islam disebabkan umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti ajaran-ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam.
Murid Al-Afghani yang paling menonjol adalah Muhammad Abduh yang mendasarkan pemiukirannya atas dua postulat pokok, yaitu pertama peran agama yang nperlu secara muthlak bagi mkehidupan manusia dan sebagai terusannya, keistimewaan yang tiodak dapat disangkal lagi tentang wahyu Al-Qur’an. Dan kedua perlunya menggunakan dan mengasimilasikan bagian yang terbaik dalam pengetahuan Barat. Karena Islam sesuai dengan akal, maka Islam tak akan mengahadapi konflik dengan kemajuan. Akan tetapi penggunaan akal dalam paparannya secara menyeluruh berada dalam tradisi Islam, bukan dari sumbangsih para pemikir Barat.
Dua hal yang menjadi prinsip pemikiran Abduh, pertama, pembebasan kaum muslimin dari akidah kaum jabariah; dan kedua, memunculkan peran akal dalam kehidupan manusia. Konsekuansinya, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatannya lah yang akan memunculkan dinamika umat Islam kembali. Paham jumud dapat diganti dengan paham dinamika. Sebab, paham jumud dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Untuk itu, pintu ijtihad harus dibuka.
Dalam hubungannya dengan masalaha ijtihad ini, ia lebih mempertegas pandangan Abdul Wahhab bahwa umat Islam tidak hanya cukup kembali kepada ajaran-ajaran asli itu, tetapi perlu ada penyesuaian itu adalah melalui intepretasi baru, dan hanya dilakukan melalui ijtihad, sekaligus pemberantasan terhadap sikap taklid dengan jalan kembali kepada Islam yang sudah dimurnikan itu, yang sanggup mengasimilasi kemajuan dari luar, dan menegakkan keadilan sosial dari dalam. Karena itu Muhammad Abduh dianggap oleh generasi sesudahnya sebagai pembaharu agama.
Namun disadari bahwa pasca Abduh ini selanjutnya melahirkan dua golongan, yaitu pertama, mujaddid merdeka yang menghendaki kemajuan secara evolutif dari Islam. Artinya, ia condong kepada perubahan-perubahan yang sehat, tetapi tetap mempertahankan perimbangan tradisi Islam. Mereka menganggap Islam sebagai kekuatan moral yang hidup, yang memberikan kekuatan batin kepada mereka. Di samping itu, kedua, ada golongan yang sangat dipengaruhi oleh Barat. Mereka menerima segala yang datang dari barat, sehingga mereka terlepas dari kebanggaan sejarah spiritual dan kebudayaan bangsanya sendiri.
Selanjutnya, murid dari Muhammad Abduh yang paling terdekat dan termasuk golongan pertama adalah Rasyid Ridha. Ia mengulangi ide-ide Abduh dalam menafsirkan agama atas sumber-sumbernya yang asli, akan tetapi memberikan pengaruh besar dari Al-Afghani, ia mencoba memberikan dimensi politik bahkan pan-Islamisme untuk memperbaharui Dunia Islam. Ia berpendirian untuk mendirikan khilafat baru yang dapat memainkan peran efektif dalam urusan spiritual dan mterial masyarakat muslim. Walaupun ia seorang yang berpegang keras kepada hukum, tetapi ia tidak membatasi diri untuk kembali kepsada peraturan-peraturan tradisional. Ia membedakan humum suci yang tidak berubah dan bersifat abadi, mengatur kehidupan pribadi dan hukum yang mengatur bidang politik dan yuridis, yang dapat dirubah, karena konsep keadilan sosial dan kebaikan masyarakat berkembang menurut waktu. Ia sebagaimana gurunya Abduh, mengakui faidahnya ide modern dan menganjurkan untuk memakainya. Namun ia melampau Abduh dengan menerjunkan diri dalam kegiatan politik.
Selain itu, Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlunya ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mat pelajaran berikut; teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kedokteran, bahasa asing, dan ilmu mengatur rumah tangga, di samping ilmu-ilmu madrsah biasanya.



F. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI TURKI
Pembaharuan di Kerajaan Turki Usmani abad ke-19, sama halnya dengan pembaharuan di Mesir, juga dipelopori oleh raja. Kalau di Mesir Muhammad Ali Pasya lah raja yang mempelopori pembaharuan, di Kerajaan Turki Usmani Raja yang emmpelopori pembaharuan adalah Sultan Mahmud II. Ia dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama.
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudianh mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di kerajaan Usmani adaalah perubahan dalam bidang pendidikan. Madrasah yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di kerajaan Usmani yang hanya mengajarkan pelajaran agama, dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19. Maka dilakukanlah perubahan kurikulum dengan penambahan pengetahuan-pengetahuan umum ke dalamnya. Setelah itu dibentuklah sekolah-sekolah umum dilengkapi dengan buku-buku yang beragam. Selain itu, Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswanya ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di kerajaan Usmani. Masih dalam hal keilmuan, buku-buku dalam bahasa Turki mengenai ide-ide modern Barat bermunculan melalui upaya penerjemahan serta penerbitan majalah yang berisikan ide-ide modern.
Pembaharuan-pembaharuan ini menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. pembaharuan lanjutan pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah tanzimat yang artinya mengatur, menyusun, dan memperbaiki, dan di zaman itu memang banyak diadakan peraturan dan undangh-undang.
Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya lalu Mustafa Sami. Lalu dilanjutkan oleh Usmani Muda, Tiga aliran Pembaharuan, Islam, dan Nasionalis, Mustefa Kemal.


G. PEMIKIRAN DAN GERAKAN MODERN DI INDIA-PAKISTAN
Sebagaimana telah dibahas, ide-ide pembaharuan di India ini awal mula dicetuskan oleh Syah Waliyullah di abad ke-18 yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1623 M) yang kemudian berpengaruh kepada Sayyid Ahmad Syahid (1786 M). Ide-ide pembaharuannya muncul dari pantauannya terhadap kemunduran umat islam di India yang lagi-lagi agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur dengan faham dan praktik yang berasal dari Persia dan India. Ia berpendapat bahwa pertama kali yang harus dibersihkan adalah tauhid. Gerakan mujahidin yang dijadikan sayap pergerakan Sayyid Ahmad Syahid ini dipandang oleh sebagian penulis Barat sebagai gerakan Wahabiah India. Perbedaannya terdapat pada sikap mereka terhadap sufi. Sebagaimana dikatahui, Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedang Mujahidin banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran sufi India. Syah waliyullah sendiri tidak menentang tasawwuf dan dapat menyetujui tasawwuf yang bersifat modern. Sehingga penulis-penulis Islam India-Pakistan menolak penyebutan gerakan wahabiah India itu.
Aliran reformis India nampak orisinil. Sebagaimana bangsa Arab, umat Islam India menghendaki reinterpretasi rasionalis tentang dogma-dogma, karena reinterpretasi tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau Hadits. Pada umumnya, orag-orang India bersikap kurang tradisionalis dari pengarang-pengarang Arab. Sir Sayyid Ahmad Khan menganjurkan dimasukkannya kemajuan-kemajuan ilmiah serta menerima lembaga-lembaga Barat dalam Islam modern. Untuk keperluan tersebut, ia mendirikan universitas yang akan menjadi tempat untuk mengajarkan pikiran Barat yang terbaik dalam suasana Islam.
Pengarang kedua adalah Amir Ali yang mengembangkan ajarannya atas dasar riwayat hidup Nabi Muhammad yang ditulisnya dengan nada apologetik; dalam karangannya itu, ia menceritakan bagaimana Nabi Muhammad berhasil memberantas kekacauan di Arabia dan membuka perspektif kepada kemajuan bagi umat manusia, dengan bersandar kepada akal. Menurut Amir Ali, kehidupan Muhammad menunjukkan bukti yang nyata tentang kemampuan Islam untuk adaptasi dengan zaman modern. Walaupun ia adalah seorang pengikit aliran Syi’ah, tetapi ia berhasil sangat baik, juga di negara-negara Arab. Tentu saja hanya sedikit sekali pembaca yang menyetujui pendapatnya bahwa Al_Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad.
Akhirnya Muhammad Iqbal merupakan penulis yang paling terkenal tentang gerakan reformasi di India, berkat pengetahuannya yang luas serta daya tarik sya’ir-sya’irnya. Karena yakin bahwa Islam memiliki keluwesan yang tak terbatas, ia menganjurkan untuk meninjau kembali keseluruhan sistem islam tanpa memutuskan hubungan dengan peninggalan masa lalu. Ia menuntut dibentuknya ”demokrasi spiritual dengan aspirasi Islam” dengan mengadakan konsensus masyarakat dan usaha pemikiran perorangan. Bertentangan dengan Rasyid Ridha, ia menolak mendierikan khilafat kemabali dengan mengatakan bahwa Islam adalah kesetiaan kepada Tuhan dan hukumnyadan bukan suatu petunjuk politik untuk mendirikan pemerintahan. Dengan mengasosiasikan doktrin dalan lembaga-lembaga Islam tradisional yang kadang-kadang ia tafsirkan secara ellegoris (kiasan) dengan rasionalisme Barat, prinsip=prinsip yuridis dan pengetahuan teknik. Iqbal berpendapat bahwa reform dapat m,enghasilkan suatu kompromi tanpa bentrokkan.

Daftar Pustaka
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Bandung: PT Bulan Bintang, 1992)
Jaih Mubarak, Sejarah Perdaban Islam (Bandung: CV. Pustaka Islamika. 2008).
Adeng Muchtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005).
Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI-PRESS, 1993).
Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (Jakrata: 1966).William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997).
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang. 1980).
Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam.
H.A.R. Gibb, Hlm. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996).
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas; Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisus, 2003).
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka. 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar