Ahlaan...

Selamat berjumpa dengan saya... Semoga jalinan komuni-dialogisasi ini dapat memperpanjang tali silaturrahmi dan silatulfikri kita antar blogger dan pembaca pada umumnya...

AKU

AKU
Penjelajahan Intelektual...

Rabu, 06 Januari 2010

ULUL ALBAB; JATI DIRI KADER HIMA PERSIS (Mengurai Sejarah, Meanstream, Paradigma Gerakan, Falsafah Perjuangan, Dan Trias Politika Hima Persis)

Oleh; Deden Syarif Hidayat

PENGANTAR
Dalam membaca sejarah, selain objek materil yang dibahas, tidak sempurna kiranya jika setting sosio-historis (kondisi lingkungan sosio-politik-keagamaan) yang melingkupi objek sejarah tersebut, diabaikan. Begitu juga dengan sejarah organisasi kader-otonom Persatuan Islam; Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (selanjutnya disebut Hima Persis). Kajian sosio-historis ini sangat kontributif dalam upaya memahami substansi perjalanan sejarah yang dikaji. Sehingga kita tidak terjebak oleh angka-angka periodisasi dan hitung-hitungan waktu semata. Tapi dapat diketahui setting historis objek yang dikaji, motif-motif yang melingkupi, dan gejala-gejala yang melatarbelakangi kemunjulan dan perkembangannya. Namun perlu diakui di sini, bahwa karena minimnya sumber data tertulis nan komprehensif, pembahasan ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut. Untuk memudahkan pemetaan, kita akan bahas sejarah Hima Persis ini mulai dari kemunculan, kelahiran, dan perkembangannya. Selanjutnya, untuk menghayati eksistensi, akan kita bongkar bersama konsep ulul albab dalam konteks gerakan Hima Persis.

SELAYANG PANDANG HIMA PERSIS
Fase Kelahiran
Tahun 1990 kita kenal sebagai era kebangkitan kembali gerakan mahasiswa pasca pemberlakuan NKK/BKK. Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus, mulai diramaikan kembali. Sehingga akhirnya demonstari bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus. Meski saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk longmarch ke instansi-instansi pemerintahan tetap dilarang. Dengan semakin menguatnya dorongan demokratisasi, sampailah pada puncaknya, yaitu penggulingan rezim Soeharto di tahun 1998. Gelagat terbukanya partisipasi masyarakat, arus demokratisasi, kebebasan berpendapat, serta terpetakannya ”musuh bersama” pada saat itu, memunculkan idealisme mahasiswa yang semakin menggurita. Situasi seperti ini, setidaknya membawa semangat baru dan kesadaran internal mahasiswa untuk terus melaju melakukan perubahan; dalam aspek apapun. Di tengah kesadaran inilah, meski secara tidak langsung, Hima Persis terlahir.
Di samping itu, secara paradigmatik prinsipil, lahirnya organisasi Hima Persis terlahir tidak untuk menambah deretan panjang daftar Ormawa (Organisasi Mahasiswa) di Indonesia. Namun karena kita masih punya harapan besar tentang masa depan Islam, masa depan pemikiran Islam, dan masa depan mahasiswa Islam. Kita masih punya cita-cita luhur untuk meresfon persoalan-persoalan pemikiran Islam, kerakyatan, keumatan maupun kebangsaan. Bahwa hari ini kita menyaksikan “kerumunan” mahasiswa yang jauh atau menjauhkan diri dari persoalan pemikiran Islam, sengaja menjaga jarak dengan persoalan masyarakat. Bahkan lebih ekstrimnya, tidak punya kepekaan sama sekali dengan agenda-agenda nasional yang perlu diperbaiki dengan kontribusi dan distribusi pemikiran dan gerakan mahasiswa. Lebih parahnya lagi, gerakan mahasiswa sudah menjadi barang dagangan (komoditi) kalangan tertentu, sehingga idealisme dan cita-cita gerakannya mengalami kebuntuan saluran. Fenomena ini sudah menjadi rahasia umum. Dalam situasi seperti ini, posisi Hima Persis mulai membaca membangun paradigma. Point-point inilah yang kita namakan faktor eksternal kemunculan Hima Persis.
Demikian pula, faktor internal kelahiran Hima Persis didasari oleh semangat pembaharuan dan perubahan pada jiwa-jiwa mahasiswa Persis yang tersebar di berbagai kawasan, seiring dengan derasnya isu-isu pemikiran baru demi menjawab tantangan zaman dan bergelindingnya bola modernisme di tengah-tengah kehidupan ummat. Selain itu, terdapat kesadaran kaum muda Persis akan pentingnya akselerasi penyiapan pemimpin dan figur masa depan di internal ormas-ormas Islam. Termasuk Persis di dalamnya.
Dalam manuskrif salah seorang founding father Hima Persis generasi awal , setidaknya dapat dicerna faktor-faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya Hima Persis. Pertama, mengingat kepada pandangan bahwa komunitas kaum terpelajar merupakan kelompok yang layak dan memenuhi persyaratan untuk menjadi penggagas dan pelopor sebuah cita-cita luhur pembangunan di lingkungannya. Ini dimungkinkan karena kelompok ini dianggap dapat memahami realitas secara objektif dan dapat menatap masa depan secara optimistik. Dengan kesadaran ilmiah ini diharap dapat menjauhkan gejala shock ketika menghadapi perubahan zaman sehingga bisa mengarah kepada suatu fungsi yang over depensif atau sebaliknya tenggelam dalam arus perubahan dan kehilangan jati dirinya. Untuk itu, organisasi Islam dan lembaga-lembaga modern lainnya dianjurkan untuk memprioritaskan usaha pendidikan kader.
Kedua, Kesinambungan tradisi dalam konteks perubahan zaman, keberadaan kaum terpelajar dituntut agar berkelanjutan secara alamiah dan tidak pernah termakan usia. Sehingga, mengingat keterbatasan usia manusia, pergantian tokoh atau pergeseran figur harus akseleratif sedemikian rupa tanpa menyisakan efek ketegangan antar generasi dan tidak menimbulkan perubahan situasi drastis di masyarakat awam, walau memang diakui bahwa cita ideal ini sangat sulit ditemukan dalam sejarah. Rupanya penulis ingin mengatakan bahwa setiap perubahan, ada saja barisan yang pro dan kontra. Konsekuensinya, organisasi kader ini harus mewarisi tradisi vis a vis mempunyai tuntutan lain sebagai amanat khusus organisasi kader; yaitu usaha untuk memahami dan memenangkan masa depan. Dengan kata lain, kesadaran akan sense terhadap tradisi harus berbanding lurus dengan me-review masa lalu untuk memenangkan pergulatan kompetisi untuk masa depan yang lebih prospektif dan survival.
Ketiga, secara organisatoris, dipisahkannya Hima Persis dengan organisasi kader muda lainnya disebabkan oleh signifikansi-signifikansi tertentu yang tidak bisa dihindarkan. Diantaranya adalah karakter dan kultur yang dimiliki oleh mahasiswa dipandang lebih khas, apalagi ditambah dengan persoalan limit waktu dan penyebaran kader yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu saja. Jadi sifatnya temporal dan sektoral. Demikian pula dengan potensi ilmiah akademisnya yang relatif merata dan berkualitas. Maka perlakuan khusus demi pengembangan basis intelektualnya, sangat dibutuhkan.
Keempat, Meski secara organisatoris berbeda kamar, namun untuk sinergitas gerakan pengabdian keummatan, bisa disiasati dalam upaya-upaya koordinasi, konsolidasi dan kerja sama antar komponen Persis.
HIMA PERSIS didirikan pada fase kepemimpinan Ustadz Latif Mukhtar, M.A yang pada saat itu memangku amanat Ketua Umum PP Persis. Pada awalnya, organisasi otonom Persis di lingkungan mahasiswa ini dapat menjadi media transfomatif gagasan-gagasan Persatuan Islam di kampus-kampus serta dapat mengembangkan produk-poduk intelektual kampus dalam upaya menunjang perjuangan Persis di masa yang akan datang sesuai dengan tantangan pemikiran yang lebih bersifat ”ilmiah” dan ”intelektualis”. Selain faktor kultur akademik yang kental pada diri ust. Latief Mukhtar, hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga identitas dan keterikatan kader/alumni-alumni Pesantren Persis yang mulai banyak tersebar di kampus-kampus. Berbeda dengan fase Ust. Abdurrahman yang memang kader-kadernya belum begitu gebyar ter(mem)promosikan di Perguruan-Perguruan Tinggi.
Untuk mempertegas faktor-faktor di atas, ada beberapa potensi besar Hima Persis untuk memperkuat eksistensinya dan dianggap potensial. Diantaranya adalah alasan realistik-strategis; mengingat potensi kader dan persebaran kader di kampus-kampus strategis sesuai dengan disiplin keilmuan yang digeluti. Sehingga secara tidak langsung bisa simbiosim mutualisme terhadap perkembangan dakwah Persis. Alasan kesadaran sejarah; kedigdayaan A. Hassan yang kemudian melahirkan M, Natsir, Isa Anshari, Rusyad Nurdin DLL seharusnya ditransformasikan melalui ideologisasi dan indoktrinisasi ke kader-keder intelektualnya. Terakhir adalah alasan sosio-politik-kultural; mahasiswa Persis seyogyanya tampil sebagai duta-duta perubahan, juru-juru penyelamat, dan pioneer-pioneer pencerdasan serta pencerahan di tengah ketimpangan, keterbelakangan dan inferioritas umat Islam di mata modernisasi.
Kesadaran ke arah pembentukan organisasi yang menghimpun kader-kader mahasiswa Persis sudah teropinikan jauh-jauh hari, tepatnya era ’90-an. Meskipun masih bersifat sektoral. Mengingat persebaran awal dominan di Bandung, wacana ke arah itu bermula dengan inisiasi pembentukan Himmatul ‘Alimin yang berarti “semangat/girah kaum pendidik” dan juga merupakan akronim dari Himpunan Mahasiswa dan Alumni Mu’allimin’ yang berotasi di IAIN (sekarang UIN) SGD Bandung. Selanjutnya, mahasiswa Persis yang sedang studi di Jakarta membentuk Hima Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) yang berotasi di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta. Sementara itu di Jogja membentuk pula HIMAPI (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Semua elemen ini mengalir dan bertemu di hulu kongres Cianjur, 24 maret 1996. Jakarta dengan terma Hima Persisnya, Bandung dengan terma Himatul’aliminnya dan Jogja dengan terma HIMAPI-nya juga para mahasiswa (termasuk mahasiswinya) Islam yang mempunyai keterikatan sejarah dan emosional dengan Persis, berkumpul dan terlibat diskusi mengenai identitas dan masa depan mahasiswa Persatuan Islam. Tentunya mereka datang dengan memboyong segudang argumentasi dan sejuta gagasan besar, baik yang pro maupun yang kontra pembentukan. Setelah melalui diskusi yang keras dan dialog yang alot, mengkristal pada sebuah nama Hima Persis. Sejak itu tertanggal 24 Maret 1996 sebuah keputusan bersama menetapkan bahwa nama Hima Persis merupakan identitas resmi bagi perkumpulan Mahasiswa Persis. Dengan demikian, baik Himmatul ’alimin maupun HIMAPI secara otomatis melebur dan terangkat (aufgehoben) mensintesis diri dalam Hima Persis. Simpelnya, Hima Persis adalah nama yang lahir dari komitmen bersama, semangat dialog dan cita-cita kolektif dengan mengintegrasikan diri dalam satu wadah; Hima Persis.
Fase Perkembangan (1996-2009)
Dalam perjalanan sejarah awal berdirinya, Rakanda Ihsan Setiadi Latif terpilih sebagai ketua umum (1996-2000, pembentukan awal kita anggap sebagai Muktamar ke-1). Masa ini penuh diisi dengan sosialisasi dan internalisasi Hima Persis ke dalam tubuh Persis. Gerakan ke dalam lebih kental ketimbang gerakan keluar. Sampai tahun 2000, tercatat telah memiliki 8 (delapan) komisariat yang tersebar di wilayah Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta serta 2 (dua) komisariat rontisan. Dikatakan, telah bergabung sekitar 500 orang anggota dengan seperangkat kantor sekretariat, yaitu di Pesantren Persis no. 1 Pajagalan Bandung yang sampai saat ini masih menjadi domisi PP Hima Persis. Walau dalam persebaran dan publishistiknya masih terkesan kurang, namun setidaknya ini menjadi sumbangan dan pijakan awal Hima Persis di masa selanjutnya. Pada periode ini, memang telah terumuskan upaya pembenahan struktur dan pola kaderisasi, meskipun dirasa kurang optimal dan transformatif kepada kepemimpinan selanjutnya, baik secara konsepan maupun praktiknya. Namun pada periode ini telah terangkat wacana ”Ulul Albab” sebagai kerangka dasar pergerakan Hima Persis yang diwujudkan dalam terma ”intelektual theorist dan moralis”. Demikian pula, kedaulatan dan kepemimpinan pada periode ini dikatakan cukup efektif. pada fase inipun internalisasi ke pra-kader mulai dilakukan melalui pelatihan-pelatihan kepemimpinan santri.
Dalam Muktamar ke-2 (2000), sempat muncul ke permukaan wacana integrasi Hima dengan Himi dan juga periodisasi kepemimpinan. Persoalan ini memang tidak relevan untuk diungkapkan, karena bisa jadi persoalannya terdapat pada perbedaan pola fikir semata. Meski pada akhirnya PP Persis saat itu mengeluarkan hak veto untuk tidak adanya integrasi Hima-Himi. Dari sinilah terbelahnya barisan organisasi yang pro tetap melanjutkan dan bersikap untuk keluar dari barisan. Persoalan paradigmatik inipun malah merembet kepada proses pembenahan dan pengembangan sebagaimana layaknya organisasi yang baru berdiri.
Pro kontra mengenai integrasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap keselamatan dan perjalanan Hima Persis. Diametralisme pandangan seperti itu, mesti di tolerir (dimaafkan) dalam sketsa gerakan mahasiswa. Dan baiknya kita berdamai dengan masa lalu. Sangat adil apabila kita melihat spectrum sejarah Hima Persis dengan lensa positif mengenai apa yang diusung organisasi muda ini. Tidak kemudian berfikir mundur ke belakang, agar pesan sejarah berdirinya Hima Persis mampu dimaknai secara akademik, dengan paradigma membangun masa depan Hima Persis yang mapan, mandiri dan mampu bersejajar dengan Ormawa yang lain.
Angkatan kedua, era Rakanda Khairudin Amin (2000-2003) merupakan fase publikasi keluar dan pembangunan jaringan organisasi ke lintas Ormawa, OKP, Ormas, Orpol dan lain sebagainya. Ditandai dengan santernya Hima Persis dalam upaya penyikapan isu-isu sosial-politik. Kaki kekuasaan hima Persis, baik di tingkat komisariat, Jaringan Madinah, maupun Wilayah, belum terkondisikan secara establish. Namun patut di apresiasi, era ini PP Hima Persis melakukan perumusan lanjutan doktrin Ulul Albab yang terumuskan dalam falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progressif dan revolusioner yang merupakan formulasi doktri ayat-ayat Al-Qur’an tentang konsep Ulul Albab. Di era ini juga, mampu memfasilitasi dan ikut menentukan arah pendeklarasikannya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPNI) Jawa Barat.
Kemudian fase sdr. Latif Awaludin (2003-2005) fase ini kembali melingkar dalam bingkai internalisasi ulang ke dalam, membuka kran komunikasi gerakan di publikasikan ke luar dan penyikapan-penyikapan isu sosial-politik yang cukup massif, membuka jaringan-jaringan eksternal penunjang eksistensi Hima Persis, juga menjaga hubungan baik dengan PWK Persis Singapura. Dengan maksud agar eksistensi Hima di akui.
Selanjutnya sampai tulisan ini dibuat adalah fase sdr. LamLam pahala (2005-2008 dan 2008-2010). Pada fase 2005-2008, dioptimalkan dalam dimensi internal eksternal. Internal meliputi pembenahan administrasi organisasi dan pola kaderisasi, pemompaan intelektualitas kader, fungsionalisasi pimpinan, pembinaan pra-kader, pengembangan dan pelebaran sayap, pemanfaatan media teknologi informasi, dan menjaga hubungan baik dengan otonom lain dan induk Persis. Secara eksternal, penyikapan isu sosial-politik tetap dijalankan, hubungan baik dengan ormawa ektra lain bertaraf Nasional dibangun, dan menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak dan tokoh-tokoh Nasional dalam upaya kelangsungan eksistensi organisasi. Pada fase ini pun mulai dibuka komunikasi dan kerja sama dengan organisasi muda Islam taraf luar negeri, dalam hal ini adalah Malaysia.

DARI ULUL ALBAB KE TRIAS POLITIKA HIMA PERSIS
Pendahuluan
Dalam visi besarnya, sebagaimana tercantum dalam Muqaddimah QA QD, Hima Persis memproklamirkan diri “sebagai wadah pembentuk kader Ulul Albab” yang dirumuskan dalam tujuan ideal organisasi “membentuk insan akademis, pembaharu yang progresif-revolusioner”. Dari visi besar ini, lahirlah falsafah perjuangan Hima Persis, yaitu ilmiah, progresif dan revolusioner. Dan dari semangat ini muncul langkah-langkah strategis yang mesti diambil yang kemudian terumuskan dalam Trias Politika Hima Persis, yaitu intelektualitas (sebagai kesadaran gerakan Intelektual), transformasi sosial (sebagai kesadaran gerakan sosial), dan perubahan iklim politik (sebagai kesadaran gerakan politik etik).
Ulul albab adalah “harga diri”, “ruh”, “jiwa”, dan “darah” yang melekat tak terpisahkan dalam diri kader Hima Persis, Ulul Albab-lah adalah meanstream (arus utama) gerakan yang mengalir dalam nadi kader. Ke muara ulul albab ini-lah kita menuju dan lalu bertumpu darinya. Dengan kesadaran inilah kita lahir, kita berkembang, dan kita mengabdi tanpa batas henti. Dengan begitu, kita akan gapai cita-cita peradaban yang lebih “waras”. Untuk itu, penting untuk memahami landasan dan menifestasi kita sebagai kader ulul Albab. Dan yang menjadi pertanyaan krusial adalah; kenapa mesti ulul albab yang menjadi pilihan jati diri kader kita?!
Selain kesadaran normatif (teks Al-Qur’an), kesadaran realitas (sosio-historis) pula lah yang mendorong kita untuk “menjadi” kader ulul albab. Sehingga pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan normatif terhadap terma ulul albab, dan pendekatan realis yang menjadi pendorong bagi kita untuk memahami terma ulul albab.

Memaknai Ulul Albab
Perhatian Al-Qur’an terkait terma ulul Albab ini, cukup signifikan. Terdapat 16 ayat yang yang tersebar dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an membahas dan mengakomodasi terma ini. Semua terdaftar dalam bentuk Jamak (plural) dan selalu saja terkait dengan konteks penggunaan dalam kalimat. Selain Albab, terma lain yang “mirip” adalah terma shadr, qalb, fu’ad, dan juga a\’aql (selalu saja menggunakan bentuk fi’il).
Lokus memuat terma ini berkaitan dengan “orang yang di beri hikmah (QS. Al-Baqarah: 269), orang yang sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf: 111), kritis dalam mendengarkan pembicaraan/pandangan/pemikiran orang lain, tidak taklid (QS. Az-Zumar: 18), bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu (QS. Ali-Imran: 7), senantiasa merenungkan ciptaan Allah di langit dan bumi (QS. Ali-Imran: 190), sanggup mengambil pelajaran dari kitab yang di wahyukan oleh Allah (QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54), senantiasa konsisten –walau sendirian- dalam mempertahankan keyakinan dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (QS. Al-Maidah: 100). Selain itu, indicator-indikator lain Ulul Albab ialah berusaha menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip tauhid (QS. Ibrahim: 52), memenuhi janji kepada Allah, menyambungkan apa yang diperintahkan oleh Allah, bersabar, memberi infaq, dan menolak kejelekan dengan kebaikan (QS. Ar-Ra’d: 19-22), bangun tengah malam dan mengisinya dengan ruku dan sujud ke hadapan Allah (QS. Az-Zumar: 9), banyak berdzikir (QS. Ali-Imran: 190-191), dan terakhir, ia tidak takut pada siapa pun, ia hanya takut pada Allah saja (QS. At-thalaq: 10; QS. Ar-Ra’d: 21).
Secara terminologis, kata Ulu adalah bentukan dari jamak yang punya arti “si pemilik” (hanya laki-laki). Dan uulaatu (shohibaatu) teruntuk hanya perempuan. Albab adalah bentuk jamak (plural) dari Lubb, yang bermakna inti, isi, sari, terpenting atau terbaik. Bisa juga mempunyai pengertian akal atau hati . Lubab adalah intisari dari segala sesuatu, murni bersih atau pilihan. Definisi ini di rasionalisasikan dengan umpama bahwa ketika kita akan memakan buah kelapa, kita membuang, mengeluarkan atau mengupas bagian luarnya, sehingga isi kelapa atau isi buahnya terambil. Isi kelapa tersebut dinamakan Lubb. Jadi Lubb terkandung makna aktif; mengeluarkan isi, bagian dalam dari sesuatu. Bisa juga bermakna dinamis; menyaring atau proses memiliki (mendapatkan) sesuatu hal .
Lubb juga bermakna pemikiran jernih yang terbebas dari kekeliruan atau kecacatan dalam berpikir. Pemikiran jenis inilah yang mampu menyingkap rahasia-rahasia dan hikmah dibalik hukum yang diturunkan Allah. Berpikir murni inilah yang melatarbelakangi firman Allah (QS. Al-baqarah: 269) mengaitkan kata hikmah dengan Ulul Albab . Keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab melingkar dalam kepemilikan hikmah, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan . Berangkat dari pengertian bahwa Lubb merupakan saripati sesuatu, semisal kacang yang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai Lubb. Jadi Ulul Albab ialah orang-orang yang memiliki akal murni yang tidak di selubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir . Seiring dengan itu, Prof. Wahbah Juhaili memaknai Ulul Albab dengan Ashab al-’Uqul (komunitas orang-orang cerdas)
Dalam terminologi tasawuf, mengenal istilah Shadr, Qalb, Fu’ad, dan Lub. Keempat istilah ini, dijadikan beberapa tingkatan hati, hati yang paling luar adalah Shadr; lebih dekat hubungannya dengan otak, metabolisme fisik, dan mekanisme hormonal lainnya. Dan Lubb adalah tingkatan paling dalam, tingkatan yang paling luar biasa karena kalau perjalanan sudah sampai pada hati yang paling dalam, kita menemukan sirul asrar, rahasia dari segala rahasia. Oleh karena itu, Ulul Albab adalah orang yang perjalanannya hampir ke hati yang paling bawah, yang dapat menangkap cahaya Allah SWT. Lubb adalah gunung yang paling agung dan lapisan yang paling selamat. Ia seperti sumbu yang tidak bergeser dan bergerak. Ia menjadi sumber tegaknya agama. Seluruh cahaya kembali kepadanya dan memagari sekitarnya. Cahaya-cahaya tersbut tidak sempurna dan kekuasaannya tidak terwujud kecuali dengan tegaknya lubb. Cahaya tersebut hanya bisa kokoh dan hanya ada bila lubb ada. Ia merupakan sumber cahaya tauhid dan cahaya penyaksian keesaan-Nya. Dengannya hakikat penghambaan yang murni dan cahaya pengagungan menjadi nyata. Lubb adalah cahaya yang bersambung, tumbuhan yang tertanam, dan akal yang terbentuk. Ia buka seperti berbagai bentuk susunan di tubuh yang berada di dalam. Tetapi ia adalah cahaya yang tersebar seperti sesuatu yang orisinil. Lubb, yang merupakan akal, tertanam di ladang tauhid .
Ilustrasi yang menghubungkan antara shadr, qalb, fuad, dan, lubb, adalah lingkaran stasiun berlapis bertingkat sebagai suatu kesatuan utuh. Tiap-tiap stasiun mewadahi cahaya sendiri. Dada (shadr), sebagai lingakaran terluarnya, mewadahi cahaya Islam (praktik ibadah dana amal shaleh). Ia adalah inti dari tindakan. Sebagai bagian terluar, seperti halnya halaman rumah, telaga, tidak terbebas dari aman, bersih, dan kenyamanan, selalu saja ada gangguan. Melalui tingkatan inilah tempat masuk dan keluarnya kebaikan dan keburukan. Ia akan datang dan pergi. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya mengandalkan shadr. Lapisan kedua, qalb, adalah tempat tempat pengetahuan yang lebih mendalam dan keimanan terhadap ajaran spritual dan keagamaan yang murni. Di sinilah letaknya cahaya iman. Ia juga tempat kesadaran kita akan kehadiran Tuhan; sebuah keadaran yang mengarahkan kita pada transformasi pemikiran dan tindakan.
Namun keimanan dalam hati (qalb), kadang bisa saja meningkat dan melemah. Maka disinilah pentingnya fuad sebagai lapisan ketiga. Fuad sebagai hati-lebih-dalam mewadahi cahaya makrifat ayau pengetahuan akan kebenaran spiritual. Seakan merasakan kehadiran Tuhan dengan sangat jelas, seakan-akan kita melihat Tuhan berada di hadapan kita. Dan inti dari lapisan itu adalah lubb. Lubb adalah tempat cahaya tauhid dan cahaya pengesaan. Ia adalah cahaya yang paling sempurna dan penguasa yang paling agung. Ia berada di luar kata-kata, teori-teori (meta-teori), dan pemikiran-pemikiran. Ia tak terhingga. Dari lubb inilah terpancar kebaikan, kebajikan, dan kebijakan. Yang kemudian ditransformasikan melalui lapisan-lapisan lain di atasnya.
Dari pemaparan di atas, asumsi awal mengatakan bahwa albab hanya digunakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan kepada intisari yang berkumpul dari beberapa satua; semua berkumpul dalam muara lubb, tidak bisa dipisahkan. Dan tiap satuan-satua-satuan itu memiliki satauan-satuan turunan lainnya. Demikian seterusnya. Seperti halnya penggunaan kata ‘alamin (alam semesta) yang meliputi padanya bumi, langit, beserta isinya meliputi benda-benda angkasa. Demikian pula dengan terma ulul albab. Di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai manifestasi (perwujudan) ulul albab, sebagaimana disebutkan dalam 16 ayat Al-Qur’an di atas.

Paradigma gerakan
Sebagaimana disebutkan bahwa muara lubb itu adalah tempat cahaya tauhid dan pengesaan. Maka puncak dari kesadaran ulul albab adalah TAUHIDULLAH. Sehingga inilah yang menjadi paradigma dan sekaligus ideologi gerakan Hima Persis. Paradigma tauhid ini-lah yang secara prinsip menggerakkan potensi kader. Tauhid selayaknya tidak difahami secara parsial; hanya bersifat transendent “keesaan Tuhan”. Keesaan Tuhan pun harus difahami sebagai keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisahan antara spiritualitas dan materialitas, keagamaan dan keduaniawian, sosial dan individual. Tauhid seharusnya dipandang sebagai jaringan relasional antara Islam sebagai spiritual dan Islam sebagai sosial. Atau yang sering kita kenal dengan istilah “tauhid sosial”. Hassan Hanafi pernah mengatakan, ketika ada kerusakan atau diskontinuitas fungsi jaringan, maka keseluruhan fungsi itu tidak berjalan, kemudian manusia tidak bisa menghadirkan pandangan dunia tauhid, keadilan sosial, dengan demikian berkurang.
Hampir semua ayat tentang ulul albab ini mencerminkan semangat tauhid yang terpancar/ditransformasikan dalam gerakan sosial dan keilmuan (qauliyah-kauniyah). Singkat kata semangat tauhid harus meng-idolog. Di sinilah konsep Islam sebagai ideologi. Sepakat dengan Hassan Hanafi bahwa term aslama (Islam) memeiliki dua arti yaitu menyerahkan diri kepada Allah, dan bukan menyerahkan diri pada kekuasaan lain. Ini berarti pertama, sebuah penolakan terhadap segala penindasan yang tidak pasti. Kedua, sebuah penerimaan kekuasaan yang transendental, Allah SWT.


Falsafah perjuangan dan Trias Politika Hima Persis
Dalam mengklasifikasi perwujudan jati diri kader Hima Persis yang terkandung dalam jargon Ulul Albab, kita dapat mengambil 3 (tiga) pelajaran penting yang kita kukuhkan sebagai falsafah perjuangan kita. Lalu kita aplikasikan dalam Trias Politika Hima Persis.
Ilmiah >> Intelektualitas
1. Kader ulul Albab adalah kader yang terus berupaya mumpuni dalam keilmuan; mendalam ilmunya; kritis dalam memahami pendapat dan pemikiran orang lain. Baik dengan cara mendengarkan, menganalisa, bersikap kritis dan mengkritisi, berdiskusi. Sebagaimana tertera dalam QS. Ali-Imran: 7,
              •                        •            
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat . adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

QS. Az-Zumar: 18
               
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya mereka . Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.

2. Dia tidak tabu dengan pemikiran pemikiran turats/klasik, tidak a-historis, namun tetap terbuka dengan pemikiran-pemikiran dan inovasi yang datang kemudian dengan tetap kritis menghadapi persoalan.
QS. Yusuf: 111
                        
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

3. Melakukan riset keilmuan terhadap ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah. Artinya tidak tabu dengan disiplin keilmuan yang akan diterima. Dengan begitu, ia mampu bersaing dan menumbuhkan jiwa keilmuan dalam dirinya, tidak inferior di hadapan orang lain, serta mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru baik dalam riset dan teknologi.
QS. Shad: 29; QS. Gafir: 54
         
Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

    
Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir.

QS. Ali-Imran: 190
       •    
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

QS. Ali-Imran: 190-191],
       •                         • 
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Tipikal kader Hima Persis adalah orang yang senantiasa tidak merasa cukup dengan keilmuan yang ada. Prinsip belajar seumur hidup bukan hanya di lidah, tapi desakan sejarah, fakta keterbelakangan umat Islam dan keilmuan dan riset, dan tantangan masa depan yang penuh dengan dinamika intelektualis. Dengan kesadaran inilah, komitmen intelektual menjadi tidak terbantahkan. Sehingga menjadi watak/karakter kader yang ILMIAH melalui kerja-kerja INTELEKTUALITAS.
Untuk itu, missi pertama Hima Persis adalah “membentuk kader-kader ulama intelektual”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERDISKUSI.
Progresif – Revolusioner >> Transformasi Sosial - Perubahan Iklim Politik
1. Dengan keilmuan yang dimiliki, keyakinan, dan pengalaman, Kader ulul albab selalu tegak berdiri di tengah-tengah umat mengasah kepekaan sosial, memperbaiki ketimpangan sosial dengan melakukan pendampingan, pembinaan, advokasi, melakukan kerja-kerja sosial, investasi sosial, dan melakukan pengabdian sosial. Demi tegaknya keadilan di tengah-tengah umat serta persatuan ummat.

[QS. Ar-Ra’d: 19-22],

                                                           
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Dan orang-orang yang sabar Karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),

             
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.

2. Teguh dengan prinsip keyakinan, berpandangan jauh ke depan, visioner, disiplin dan memiliki kemampuan manajerial.
QS. Al-Baqarah: 197
  •                      •   •   •   
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
[QS. Az-Zumar: 9],
•                          
9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

3. Berani mengusung kebenaran sebagai prinsip amar ma’ruf nahyi munkar dan dakwah ilallah baik di tataran masyarakat, maupun di hadapan penguasa demi sebuah perubahan.

[QS. Ibrahim: 52],
  ••           
52. (Al Quran) Ini adalah penjelasan yang Sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.

QS. Ar-Ra’d: 21]
             
21. Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.

[QS. Al-Maidah: 100].
          •      
100. Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

Dengan demikian, kader Hima Persis adalah kader sosial yang teguh dengan pendirian keyakinanannya, konsisten dengan kemampuan manajerialnya untuk memimpin masyarakat di manapun ia berada, melakukan pengabdian, dan melakukan pencerdasan yang massif di tengah-tengah masyarakat. Dengan kesadaran sosial inilah, komitmen sosial harus digelindingkan. Sehingga dapat menjadi watak kader yang PROGRESIF berfikir maju dan berwawasan masa depan melalui kerja-kerja TRANSFORMASI SOSIAL.
Untuk itu, missi kedua Hima Persis adalah “Membentuk kader-kadernya sebagai agen pembaharu”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA BERORGANISASI.
Di samping itu, di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kader Hima Persis harus peka menyoal persoalan kebangsaan. Gelisah dengan moralitas bangsa yang bobrok, kritis terhadap kebijakan negara yang cenderung memarjinalkan dan merugikan ummat, dan melakukan kerja-kerja politik etik di hadapan penguasa. Dengan meningkatnya kesadaran politik inilah, harus ada jiwa-jiwa REVOLUSIONER demi tegaknya kehidupan bernegara yang adil, makmur, dan terhndar jauh dari imperialisme-imperialisme baru. PERUBAHAN IKLIM POLITIK harus lebih mensejahterakan dan tidak memasung hak-hak warga.
Untuk itu, missi ketiga Hima Persis adalah “Melakukan amar ma’ruf nahyi munkar”. Maka bagi kita; TIADA HARI TANPA MENGABDI.
Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas, bahwa keistimewaan-keistimewaan Ulul Albab bermuara dan melingkar dalam ”hikmah” (kebijaksanaan). Inilah puncak tertinggi tertinggi gelar kita.
Kata al-Hikmah dalam al-Quran disebutkan 20 kali di tempat yang berbeda. Diantaranya QS. al-Baqarah:269, QS. an-Nahl:125, QS. al-Ahzab:34, QS. Shad:20, QS. Ali Imran:164, dan QS. an-Nisa:54. Makna al-Hikmah dalam bahasa Arab berarti besi kekang atau besi pengekang, yaitu pengendali. Hikmah dalam pengertian bahasa (etimologis) ini kemudian digunakan sehingga hikmah diartikan sebagai “sesuatu yang dapat mengendalikan manusia agar tidak bertindak dan melakukan perbuatan, perilaku, dan budi pekerti yang rendah, tercela, dan tidak terpuji”. Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab , menjelaskan bahwa dalam istilah hikmah terkandung makna ketelitian dan kecermatan dalam ilmu dan amal. Orang yang memiliki hikmah dalam arti tersebut akan terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan bermanfaat. Al-Bazdawi pun mengatakan demikian, begitu pula dengan pendapat Malik dalam kitabnya, Mukhtashar Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlih .
Hikmah juga dapat bermakna filosofis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridha. Menurutnya, hikmah adalah pengetahuan mengenai akibat, hakikat, manfaat, dan faidah dari sesuatu. Pengetahuan tersebut mendorong atau memotivasi pemiliknya untuk melakukan sesuatu yang baik dan terpuji secara baik dan benar. Ibnu Sina (w. 328 H/1078 M) mengungkapkan pula, bahwa hikmah adalah usaha untuk menyempurnakan diri manusia dengan bentuk konsep-konsep tentang segala sesuatu serta pengujian hakikatnya, baik secara teoritis maupun praktis-empiris sesuai dengan kemampuan manusia.
Ahli tafsir pun mengemukakan tentang Hikmah, seperti al-Raghib al-Isfahani bahwa hikmah adalah perolehan kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal yang berasal dari Allah dan manusia. Jika berasal dari Allah, ia adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada dan kebenarannya itu benar. Jika berasal dari manusia, ia merupakan pengetahuan tentang segala yang ada serta pengamalannya dalam berbagai kebajikan. Sebagaimana tersirat dalam QS. Shad : 20. Imam al-Maraghi -pun berkata tentang hikmah, bahwa ia adalah ilmu yang bermanfaat, yang membekas dalam diri yang bersangkutan. Sehingga ilmu tersebut mengarahkan kehendak untuk mengamalkan apa yang telah dianjurkan, yang hal ini akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas adalah orang yang diberi ilmu (pengetahuan) dan berusaha mencapai kesempurnaan diri dengan mengamalkannya sehingga ia memperoleh faedah dan manfaat di dunia dan akhirat; UNTUK ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM SEMESTA. Sehingga sampailah kepada tujuan kiprah Hima Persis, yaitu membentuk insan akademis pembaharu yang progresif-revolusioner sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan diridlai Allah SWT.
Penutup
Kehadiran Hima Persis sebagai organisasi kader-otonom Persatuan Islam adalah jiwa-jiwa baru yang terlahir atas kesadaran sejarah. Keberadaannya di tengah-tengah umat berefek double; di satu sisi ia berproses menjadi dirinya sendiri, di sisi lain ia berperan aktif dalam menyikapi persoalan keumatan-kebangsaan. Ia melihat, ia mendengar, mendiskusikan, berimajinasi, lalu bergerak di tengah-tengah kemandegan berfikir, keterbelakangan keilmuan, ketidakadilan, kebodohan, inferiorisme, bobroknya moral bangsa, kemiskinan, penjajahan, dan ketertuduhan. Karena Islam adalah penyelamat zaman untuk dapat lebih ”waras”. Islam hadir di tengah-tengah umat untuk menyinari, memancarkan cahaya ketenangan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kemenangan; tidak hanya di akhirat, namun mulai saat ini, di sini, di dunia ini. Dan kader Hima Persis (harus) menyadari dan siap untuk menampilkan semua itu. Bagi kita, hidup adalah berdiskusi, berorganisasi dan mengabdi. Selamat berdiskusi...

1 komentar: